Pertanyaan di atas tidak jarang dilontarkan oleh beberapa kalangan dar sebagian generasi muda yang mendalami agama dari segi kemanfaatan sosial. Pun dalam Islam, persoalan ini dapat membingungkan bagi mereka yang melihat keimanan dari segi humanis (manfaat sosial). Kemanfaatan seakan tidak disadari sebagian dari mereka ‘sedang’ mereka timbang dengan keimanan; wilayah yang tidak lepas dari ihwal trasendental.

Untuk itu, maka menjadi penting kajian ini dilakukan. Sebab, ada paradigma besar dibalik pertanyaan di atas. Tentunya mengenai kemantapan beragama dan pemahaman atas ketuhanan dalam ranah antroposentrisme.

Adalah penting menjelajahi agama dengan nalar kritis. Ruang penalaran yang aktif diberdayakan secara maksimal dalam menemukan bukti (argumentasi) merupakan cara efektif dalam berdialektika ‘sehat’, khususnya ihwal ketuhanan; eskatologis yakni tentang ‘ganjaran/pahala’ Ilahi. Sehingga, dapat mendudukan objek kajian secara objektif dan mengupasnya menggunakan nalar kritis.

Kemanfaatan Bagi Manusia

Saat ini, mayoritas orang telah menjadi saksi atas kebermanfaatan temuan-temuan para pemikir. Sebab, sejak pendidikan dasar hingga menengah pertama peserta didik umumnya di ajak untuk menelaah sejarah dalam ilmu pengetahuan. Salah satu yang menjadi bahasan menarik ialah inovasi-inovasi kreatif dalam penemuan.

Tidak dipungkiri, dunia dihebohkan dengan beberapa penemuan hebat para ilmuwan. Dilain hal, ada paradigma besar yang mendaging dalam pikiran. Hal ini dikarenakan temuan-temuan yang difungsikan hingga saat ini bukanlah penemuan yang mudah dan singkat, melainkan sesuatu yang sulit dan lama. Tentunya, para penemu menghabiskan waktu lama untuk mengabdikan diri pada tujuan pencariannya. Jerih payah yang ditanggungnya dilakukan bertahun-tahun lamanya hingga berhasil dan mengurangi beban yang dipikul sesama manusia.

Salah satu diantara penemu ialah Thomas Alfa Edison; penemu listrik. Betapa hebat upayanya yang kemungkinan memberatkan dirinya, bahkan boleh jadi untuk menemukan produknya ia perlu merelakan jiwanya menjadi tebusan bertahun-tahun lamanya. Tentu tidak singkat. Berkat kerja kerasnya, ia berhasil menerangi dunia. Melalui temuannya pabrik-pabrik dapat aktif dan menghasilkan. Hal tersebut secara tidak langsung juga melestarikan kehijauan pada pepohonan juga ladang-ladang garapan yang menjadi wilayah pertanian olahan pabrik.

Lazimnya, temuan-temuan ini merupakan langkah mencapai tujuan. Tujuannya pun bermacam-macam; ada yang untuk kemanusiaan, popularitas, jabatan kekuasaan ataupun uang banyak. Meski tidak sedikit yang murni untuk kebermanfaatan dirinya kepada orang banyak kedepan. Betapa arifnya tujuan yang hendak dicapai jika humanisme yang dijadikan dasar pencariannya.

Tidak hanya Thomas, melainkan juga penemu-penemu lain, khususnya pada bidang kesehatan yang ikut serta berupaya menemukan penyakit dan obat penyembuhnya secara teliti juga beberapa kali eksperiman. Oleh sebab itu, tidak sedikit orang yang kebingungan menjawabi pertanyaan di atas dengan argumen dasar bahwa orang-orang (penemu) yang telah berupaya memaksimalkan kemanusiaanya dan hasilnya bermanfaat bagi umat manusia bisa dilontarkan ke jurang siksa (neraka), sedangkan sebagian yang lain tidak memiliki manfaat layaknya para penemu bisa masuk surga bermodalkan iman; meski tidak bermanfaat banyak.

Kebingungan adalah fakta ketika menjawab polemik demikian. Iman disejajarkan dengan kemanfaatan. Bahkan tidak sedikit meyakini bahwa kemanfaatan terhadap orang banyak adalah keimanan yang sesungguhnya, meskipun (mereka; para penemu) tidak pernah menemukan dalil kebertuhanan atau berikrar bertuhan justeru menyembunyikan kebertuhanannya dihadapan orang, meskipun tidak sedikit yang percaya.

Seputar Ganjaran Ilahi; Ruang Iman

Kajian keimanan merupakan kajian pokok dalam agama. Dalam Islam ruang iman terpaku pada ihwal tauhid, meskipun tidak dapat menafikan bahwa terdapat ruang adat dan ruang syariat yang menjadi tempat untuk memanifestasikan hasilnya. Tauhid menjadi esensi dari rumah Islam. Pun ihwal ganjaran atau pahala juga termasuk pembahasan di dalamnya.

Ganjaran merupakan pembahasan yang biasanya dikaitkan dengan perkara amal baik. Pun dalam Islam juga demikian. Tentunya, dalam ruang ini aspek kebaikan menjadi tolak ukur mendapat pahala atau tidaknya suatu pekerjaan. Umumnya demikian dipahami secara global. Sehingga, bagi yang demikian, praktik keberagamaan yang baik adalah cara mendapat pahala efektif dan efisien; salah satunya dengan bermanfaat kepada orang lain.

Wilayah ganjaran merupakan wilayah gaib (yang belum terjadi; belum dapat dipastikan kapan waktunya). Sebab, ganjaran menurut hemat saya adalah bonus dari amal baik yang bertujuan. Tujuannya pun tidak semata-mata hanya kebermanfaatan, melainkan keikhlasan dalam bertuhan. Artinya Tuhan menjadi wilayah prioritas dalam melakukan sesuatu termasuk menentukan tujuan. Oleh sebab itu, maka ruang keimanan adalah ruang yang tidak terhindar dari pendalaman atas Tuhan melalui dalil pembuktian.

Dalam hal ini, manusia tidak bisa menjadikan Tuhan sebagai sesuatu yang tidak penting, melainkan sebagai sesuatu yang sangat penting. Tuhan selain menjadi semangat bertindak juga menjadi semangat bertujuan. Penetapan tindakan dan tujuan idealnya menuju pada Tuhan yang diyakini, bukan selainnya.

Dalam Islam, pahala dikategorikan dengan ruang akhirat. Sehingga, pembahasannya termasuk dalam iman kepada kegaiban; pahala dan akhirat. Meski demikian, tidak bisa dipungkiri secara nalar, terapat keharusan penetapan keesaan Tuhan dalam segala tindakan dan tujuan. Alhasil, segala perkara dilalui dengan kesadaran bertuhan dan kesadaran bersosial. Tuhan menjadi tujuan prioritas yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk kemanusiaan; manfaat dan guna.

Polemik ganjaran pun tidak menjadi penting karena tidak ada kewajiban bagi Tuhan memasukan setiap yang berpahala ke surga. Apalagi manusia tidak benar-benar tahu ihwal pahala dan dosa. Manusia hanya bermodalkan keyakinan; keyakinan adalah alat untuk mencapainya. Maka, sudah sepatutnya dipahami secara kritis bahwa ganjaran ialah murni kerahmatan Tuhan; bukan sebab kita melakukan sesuatu. Karena pada dasarnya setiap gerak telah ditakdirkan olehNya, termasuk niat dan tujuan. Maka, memikirkan ketuhanan melalui dalil pembuktian adalah cara ampuh melemahkan daya kuat mutlak pada diri dan kepantasan atas tindakan baik mendapat pahala.

Jika yang berpahala pun belum tentu mendapat rahim Tuhan, maka apalah jadinya jika kebermanfaatan tindakan yang digapai tanpa tujuan prioritas yakni menafikan Tuhan dan menduakannya dengan tujuan lain, kecuali jika telah menggali dua kalimat syahadat dan memanifestasikannya ke dalam bentuk tindakan yang fungsional manfaat; humanis, atas dasar kesadaran kelemahan dan ketidakmampuan. Bahkan hal tersebut pun tidak menjadikan wajib bagi Tuhan untuk melontarkan ke Surga atau mendapat pahala. Sehingga, perlu di dalami bahwa Tuhan adalah Yang Kuasa memberikan pahala dan melontarkan setiap orang ke surga berdasar rahimNya, tidak dapat diganggu gugat.

Dari sini, dapat dipahami bahwa ihwal pahala dan surga tidak ada kaitannya dengan kebermanfaatan. Tapi perlu digarisbawahi bahwa kebermanfaatan dengan berlandaskan ketuhanan dengan kesadaran kritis akan kebutuhan merupakan jalan efektif mendapatkan rahimNya, meskipun hal tersebut mungkin saja terjadi pun mungkin saja tidak terjadi. Oleh sebab itu, tulisan ini mengajak siapapun pembaca, khususnya penulis untuk meninjau kembali kebertuhanan diri selama ini melalui cara kritis. Salah satunya dengan berguru pada yang mumpuni tidak sebatas doktrin semata, melainkan terdapat ruang diskusi bebas untuk menguji kebenaran dan berproses menuju arif dalam kemanfaatan yang humanis sebagai bentuk manifestasi kebertuhanan.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *