1. R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo
Banyak yang mungkin belum tau Koesoemo Oetoyo sebagai salah satu tokoh Pergerakan Nasional yang berasal dari Kutoarjo-Purworejo.
Beliau adalah salah satu tokoh Boedi Oetomo yang melalui kedudukannya sebagai wakil ketua Volksraad secara resmi berani mengajukan berbagai gagasannya membela kaum pribumi, bahkan juga mendukung petisi Soetardjo.
Beliau Cucu Bupati Kutoarjo R.M.T. Soerokusumo yang lahir di kebumen karena ibunya adalah putri aroembinang IV .
Koesoemo Oetoyo sekolah di ELS (Europeesche Lagere School) Purworejo pada tahun 1878, ELS adalah sekolah khusus untuk orang Belanda dan hanya orang tertentu yang bisa masuk sekolah elit itu, dan tidak semua kota kabupaten memiliki sekolah ELS, karena sekolah ini di dirikan untuk melayani komonitas Belanda dan jarang anak pribumi yang bisa masuk sekolah elit itu, masa kecil Koesoema Oetoyo ada di kutoarjo juga di daerah Bedog purworejo karena ayahnya menjadi assisten wedono Bedog daerah purworejo.
Koesoemo Oetoyo lulus dari ELS Purworejo pada tahun 1885, tepat sesuai jadwal waktu 7 tahun (1878 – 1885)
Raden Mas Adipati Ario disingkat R.M.A.A Koesoemo Oetoyo bin R.M. Soejoedi Soetodikoesoemo (yang dulu pernah menjadi assisten wedono Bedog setelah itu menjadi Patih Pekalongan) Bin R.M.T. Soerokusumo (Bupati Koetoardjo).
Koesumo Oetoyo adalah cucu dari bupati kutoarjo R.M.T. Soerokusumo.
R.M.A.A Koesoemo Oetoyo pernah menjabat Bupati Ngawi ( dari tahun. 1902 – 1905) dan Bupati Jepara (dari tahun 1905 – 1927) menggantikan Ayahnya R.A. Kartini yang bernama R.M.A.A. Sosroningrat yang wafat di tahun 1905 lalu Koesoemo Oetoyo ditunjuk untuk menggantikannya, Koesoemo Oetoyo waktu itu berusia 34 Tahun dan dianggap sepadan untuk menggantikan nama besar Sosroningrat ayahanda R.A. Kartini. Koesoemo Oetoyo meraih jabatan bergengsi sebagai Bupati Jepara.
Menurut Koesoemo Oetoyo berjuang melalui diplomasi seringkali membawa hasil yang lebih bermakna, padahal sejak kecil ia selalu diceritakan tentang kakek dan kakek buyutnya Yaitu R.M.T. Soerokusumo dan Pangeran Balitar yang ikut mengangkat senjata membantu pangeran Diponegoro melawan Belanda.
R.A.Kartini Secara khusus menulis tentang Koesoemo Oetoyo dalam korespondensinya yang dibukukan di buku dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”
Koesoema Oetoyo berupa meningkatkan kesejahteraan dan martabat bangsanya. Dalam tulisannya di media cetak Hindia Belanda dan pidato-pidatonya di rapat-rapat “Boedi Oetomo”, pidato-pidatonya di sidang Bupati se-Jawa maupun Dewan Rakyat (Volksraad) istilah “Anak Bumi” digunakan Koesoema Oetoyo untuk mengembalikan kepercayaan diri kaum pribumi, semua disiplin ilmu juga ilmu-ilmu barat harus dikuasi oleh anak bumi.
Pangeran Diponegoro menjadi epos di kalangan masyarakat Jawa ia adalah simbol jiwa kepahlawanan, keperkasaan, penjaga kebenaran, serta menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsanya. Sebagai pemimpin Pangeran Diponegoro mempunyai kepribadian dan karakter yang kuat serta legimitasi yang tinggi karena mendapatkan amanah dari rakyatnya, barang siapa ada di seberang sang pangeran Diponegoro, ialah sang Angkara murka. Nilai-nilai tersebut berkembang dan dipertahankan masyarakat Jawa, termasuk Trah Bupati Kutoarjo yang Ke-6 K.R.A.A. Soerokusumo. Koesoemo Oetoyo tumbuh dalam epos Pangeran Diponegoro, ia bangga menjadi cucu Soerokusumo yang ikut mendampingi Pangeran Diponegoro berperang membela rakyatnya, Kesadaran itu membentuk karakter, mental, jiwa dan kepribadian Koesoemo Oetoyo.
Seperti umumnya Trah pengikut2 pangeran Diponegoro, Koesoemo Oetoyo merasa menerima wasiat dan tali estafet juga informasi DNA agar menjadikan keluarganya sebagai generasi penerus dan pewaris sejarah semangat perjuangan pangeran Diponegoro untuk membela Kawulo alit dan kaum lemah juga mengangkat harkat dan martabat bangsanya..
2. Gagak Pranolo II alias Basah Purwonegoro keturunan Amngkurat I seorang ulama dan hafidz Qur’an yang menurunkan banyak Ulama-ulama. Beliau adalah Bupati Tanggung (Purworejo) Dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Gagak Pranolo II sekaligus Panglima perang Pangeran Diponegoro di Bagelen sebelah timur bergelar Basah Purwonegoro.
Basah Purwonegoro Gugur sabil
3. R.M.T. Soerokusumo Bin Pangeran Balitar bin HB I, Bupati Kutoarjo, pengikut pangeran Diponegoro yang banyak menurunkan orang besar dan Jenderal-jenderal salah satunya adalah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo.
4. Basah Djojo Sundargo bin Adipati Sawunggaling II, beliau adalah putra Bupati Semawung (Kutoarjo) Adipati Sawunggaling II dengan B.R.A. Notto Negoro binti Hamengkubuwono II. R.M. Djojo Sundargo adalah panglima perang pangeran Diponegoro bergelar “Basah” yang punya pasukan 1000 Prajurit. yang makamnya ada di Lengis Grabag
5. Tumenggung Bantjik Kertonegoro Sawunggaling I Adipati Semawung Kutoarjo yang berperan membela Pangeran Mangkubumi alias Hamengkubuwono I di perang Mangkubumen melawan Belanda.
6. Waliyullah R.M. Mansyur alias KH. Muhyiddin Arrofingi alias Tuan Guru Loning ulama besar pada masanya putra kyai nur iman Mlangi bin amngkurat IV Jawa. Beliau adalah Guru, penasehat sekaligus mertua pangeran Diponegoro, beliau juga Guru Mbah Imam Puro.
7. Waliyullah K. H. Kastubo bin kyai nur Muhammad alang-alang Ombo perintis pengadilan Agama.
8. Pangeran Purboatmodjo Bupati Kutoarjo, seorang ahli bendungan, drainase dan irigasi yang sangat berjasa bagi kabupaten kutoarjo dan kabupaten Purworejo sampai mendapatkan penghargaan pangeran dari pemerintah kolonial Belanda.
9. Wage Rudolf Soepratman, Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
10. Jenderal Urip Sumoharjo Pendiri BKR, cikal bakal ABRI / TNI
11. Mr.Dr.Kasman Singodimejo (Kalirejo), Ketua BPUPKI (Badan Usaha Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia) Jaksa Agung dan Ketua BKR, tokoh Muhammadiyah.Ketua DPR (KNIP) Pertama.
12. Jenderal Ahmad Yani, TNI. Pahlawan Revolusi.
13. Mr. Wilopo,Mantan Perdana Menteri ke-7 dan Menteri kabinet Sukiman – Suwirjo , dan Kabinet Amir Syarifuddin I dan II
14. Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, TNI
15. Ibu Negara Kristiani Herawati Susilo Bambang Yudhoyono
16. Jenderal TNI (Purn.) Pramono Edhie Wibowo. Karier Edhie terbilang cemerlang setelah lulus pendidikan Akademi Militer 1980.
Pramono Edhie merupakan adik dari Almarhumah Ibu Ani Yudhoyono istri mantan Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Putra Letjen TNI (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo.
Beliau adik ipar Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono.
Sebelum menjadi Kasad, Pramono pernah menjabat sebagai Panglima Kostrad dan pada tahun 2009 juga pernah menjabat sebagai Pangdam III Siliwangi. Saat pensiun Mei 2013 lalu posisinya digantikan Letjen TNI Moeldoko.
Perjalanan karier militer Edhie terbilang moncer. Usai lulus Pramono ditunjuk sebagai Komandan Pleton Grup I Kopassandha. Pramono banyak bertugas di Korps Baret Merah atau Kopassus. Dia sempat menjabat Wakil Danjen Kopassus (2005-2007), lalu menjadi Danjen Kopassus (2008-2009).
Setelah pensiun dari dunia militer, ia masuk ke dunia politik dengan Partai Demokrat. Pramono Edhie Wibowo juga menjadi salah satu kandidat peserta Konvensi Capres Partai Demokrat bersama 10 orang kandidat lainnya.
Di Demokrat, Pramono menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Organisasi, Kaderisasi dan Keanggotaan (BPOKK).
Riwayat Jabatan :
Komandan Pleton Grup I Kopassandha (1980-1981)
Perwira Operasi Grup I Kopassandha (1981)
Komandan Kompi 112/11 grup I Kopassandha (1984)
Dik Seskoad (1995)
Kasi Ops Grup 1 Kopassus (1994-1996)
Perwira Intel Operasi grup I Kopassus (1996)
Wakil komandan Grup 1/Kopassus (1996-1998)
Komandan Grup 1/Kopassus (1998-2001)
Ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001)
Dikreg Sesko TNI (2001)
Perwira Tinggi Staf Ahli Bidang Ekonomi Sesko TNI (2004-2005)
Wakil Danjen Kopassus (2005-2007)
Kasdam IV/Diponegoro (2007-2008)
Danjen Kopassus (2008-2009)
Pangdam III/Siliwangi (2009-2010)
Panglima Kostrad (2010-2011)
Kepala Staf Angkatan Darat (2011-2013)
17. Raden Ngabehi Dr. Tjitrowardojo. Dokter pertama di Indonesia dan meraih gelar dokter pada usia 19 tahun.Lahir 14 Januari 1847.Meraih Bintang Tanjung perak dengan nama samaran M. Radiman.
18. Prof Dr Ing BJ Habibie anak dari Ibu R. Nganten Toeti Saptorini binti R. Poespowardojo bin R. Ng. Dr Tjitrowardojo
19. Jenderal Endriartono Sutarto, kelahiran purworejo Mantan Panglima TNI.
20. Ny Nani Soedarsono (Kutoarjo)mantan Menteri Sosial
21. Mardiyanto, TNI, Gubernur Jawa Tengah kelahiran Surakarta masih ada darah purworejo (kini Menteri Dalam Negeri RI)
22. Hindarto , mantan Kapolda Metro Jaya
23. Pelukis Semboja (saat ini tinggal Pondok Kelapa Jakarta)
24. Pelukis Widayat (Tinggal di Muntilan Magelang)
25. Pelukis The Tjong King, di Belanda
26. H.M Marsaid, SH Msi mantan Bupati Purworejo (mantan wakil Walikota Jakarta Utarr)
27. Soeparjo Roestam, TNI Mantan gubernur Jawa Tengah dan Menteri Dalam Negeri RI. Kelahiran Sokaraja Banyumas keturunan bupati kutoarjo R.M.T. Soerokoesomo
28. Wardiman Djojonegoro, Mantan Menteri Pendidikan & Kebudayaan RI masih ads darah purworejo.
29. Mr Dr. Buntaran Martoatmojo, (Loano) Menteri Kesehatan RI I
30. Soewardi , TNI, Mantan Gubernur Jawa Tengah.
31. Ki Sutarko Hadiwacono Katerban kutoarjo dalang wayang Ringgit Purwo gaya (style) Kaligesingan (bagelenan)
32. Ki Timbul Hadiprayitno, dalang wayang kulit kelahiran jenar
33. Penyanyi Gito Rolies, ayahnya TNI asal Purworejo lahir di Biak Papua.
34. Erman Suparno menteri Tenaga Kerja dari desa Dudu kulon Grabag Kutoarjo
35. Danurwindo mantan pemain Nasional dan Pelatih PSSI kelahiran Kutoarjo
36. Slamet Kirbiantoro, Mantan Pangdam Jaya kelahiran kutoarjo
37. Endriartono Sutarto, Mantan Panglima TNI.
38. Bustanul Arifin, Mantan Menteri Koperasi dan Kepala Bulog
39. Jan Toorop pelukis Belanda.
40. A.J.G.H. Kostermans, pakar botani Indonesia.
41. Johan Hendrik Caspar Kern, ahli bahasa dan orientalis.
42. Mbah Kyai Imam Puro, Ulama Purworejo.
43. Tjakrajaya atau Sunan Geseng murid Sunan Kalijaga.
44. Nyi Bagelen.
45. Sri Maharaja Dyah Balitung Watukura, seorang maharaja terbesar pada masa Mataram Kuno. Tahun 901 M. Dengan wilayah kekuasaan (Jawa Tengah, Jawa timur hingga Bali)
46. Ratu Bajra atau Rakryan Mahamantri atau Maha Patih Hino, Sri Daksottama Bahunbajra Pratipaksaya atau Daksa.Ratu kedua setelah Sri Maharaja Dyah Balitung.
47. R. Semono Herucokro Sastrodiharjo. Rohaniwan alias Sprituallis dengan ajaran Kapitayan (masih Keturunan Sri Sultan HB ) lahir Jumat Kliwon tahun 1900. Meninggal Dunia tahun 1981 di Sejiwan Loano. Pernah menjadi Kapten marinir di Angkatan Laut dan Sri Sultan HB IX sangat menghormati beliau dengan mendatangi R. Semono di sebuah desa Kalinongko tempat tinggal Romo Semono.
48. Kyai Sadrach, penginjil Jawa dan perintis Gereja Kristen Jawa tinggal di desa Langen Rejo kecamatan Butuh Kutoarjo.
49. Ganjar Pranowo, dua kali menjadi anggota DPR-RI dan dua kali menjabat Gubernur Jawa tengah.
55. Karel Heijting, pemain sepakbola Dunia
Peraih medali perunggu di turnamen sepakbola Olimpiade Musim Panas 1908.
Lahir di Koetoardjo, Jawa Tengah, Hindia Belanda.
56. Kanjeng Raden Adipati “Notto Negoro” Sawunggaling II Bupati Sewawung (Kutoarjo). Menantu Hamengkubuwono II, Adipati Sawunggaling II menikahi putri Hamengkubuwono II yang bernama B.R.A. Notto Negoro. Sebelum dan saat Perang Diponegoro Sawunggaling II menjabat Bupati Semawung dengan gelar Kyai Adipati Sawunggaling. Setelah kekalahan Pangeran Diponegoro di bulan Maret tahun 1830 beliau tetap menjadi Bupati Semawung dengan gelar Kanjeng Raden Adipati Notto Negoro, dalam catatan almanak Van Nederlandsch indie 1832 nama kabupaten semawung sudah di ubah menjadi kutoarjo sekalipun pusat pemerintahan masih di semawung Daleman.
Arti nama Sawunggaling adalah “Ayam Jago Laga Emas” yang dulu Sejarah selalu menang dalam pertempuran. Nama Sawunggaling/Sawunggalih diabadikan menjadi Nama rangkain gerbong kereta api, sekolah, hotel dan sebagainya
57. Waliyullah K.H. Nur Muhammad Alang-alang Ombo bin K.H. Zamzani Ponorogo, beliau ulama besar pada masanya keturunan sunan Ampel sekaligus menantu K.G.P.A.A Mangkunegaran I alias Pangeran Samber Nyowo pahlawan Nasional.
Silsilah Kyai Nur Muhammad Alang-Alang Ambo penyebar agama Islam di Bagelen bagian tengah khususnya alang-alang Ombo pituruh dan sekitarnya adalah sebagai berikut :
R. Rahmat/Sunan Ampel
I
R. Qosim/Sunan Drajat
I
Kyai Agung Lamongan
I
Kyai Agung Suryo Ngalam
I
Kyai Agung Muhammad Ilyas
I
Kyai Zamzani Ponorogo
I
Kyai Nur Muhammad alang-alang Ombo
58. Tumenggung Djumantoko alias Mbah Giri imantoko. Penguasa/Adipati Semawung (kutoarjo) pertama beliau adalah Putra Adipati Pragolo I Pati, Sepupu Susuhunan Hanyokrokusumo Raja Mataram kedua.
63. Ki Kartoguno alias Mbah Gethok Pacoran alias Ki Darmo sentiko , Dalang Wayang Ringgit Purwo Gagrak Kaligesingan
64. KH. M. Maftuh Basthul Birri, Sang Pendekar Al-Qur’an Lirboyo kelahiran desa karangwuluh kutoarjo. KH. Muhammad Maftuh Basthul Birri adalah pendiri sekaligus pengasuh Madrasah Murottilil Qur’an (MMQ) Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri Jawa Timur. Kiai Maftuh, biasa dipanggil Gus Maftuh atau Gus Tuh, adalah kiai kelahiran Kutoarjo, Jawa Tengah, tepatnya di Desa Karangwuluh, Kecamatan Kutoarjo pada tahun 1948 M. Kedua orang tua Kiai Maftuh bernama Basthul Birri dan Muslimah. Beliau merupakan anak pertama dari lima bersaudara, semua adiknya laki-laki kecuali yang nomor empat
65. KH Nawawi Abdul Aziz. Pada 1925, atau setahun sebelum Nahdlatul Ulama’ (NU) lahir (1926), seorang bayi laki-laki bernama Nawawi lahir di desa Tulusrejo Grabag Kutoarjo Purworejo Jawa Tengah. Ayahnya, KH Abdul Aziz adalah seorang kiai dan petani. Bayi kecil bernama Nawawi itu akhirnya menjadi seorang kiai ahli al-Quran yang mendirikan pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi. Nawawi itu juga pernah menjadi hakim Pengadilan Agama Bantul dan menjadi Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta pada 1984-1991.
66. KH A. Maisur Sindi, Pengarang Kitab Tanbihul Muta’alim. ( Ayahanda KH. Munshif Maisur & KH. Irfan Hamid Maisur, Pengasuh PP. Arriyadl Darun Najah Ringinagung ) KH. Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi dilahirkan di eks Kabupaten Kutoarjo pada tanggal 18 juni 1925 M tepatnya di desa Tersidi, kawedanan pituruh Kabupaten Kutoarjo yang sekarang menjadi Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Nama al-Thursidi diambil dari nama desa beliau yaitu Tursidi. Ayahnya, KH. Sarbani adalah seorang yang dikenal oleh masyarakat sebagai ulama’ yang teguh dalam memperjuangkan agama dan bangsa terbukti dengan semangat beliau melawan penjajah. KH. Maisur Sindi wafat dalam usia 72 tahun pada bulan shafar tepatnya bulan Agustus tahun 1997 M di Kediri, Jawa Timur.
Beliau dimakamkan di Pondok Pesantren Mahir Arriyadl Ringinagung, Pare, Jawa Timur, sebuah pesantren yang didirikan oleh Syekh Imam Nawawi. KH. Maisur Sindi mendapat pendidikan di tingkat ibtida’ (pendidikan awal setingkat sekolah dasar) oleh ayahnya sendiri yaitu KH. Sarbani mulai pada tahun 1931 M. Semenjak kecil beliau sangat cerdas jadi selama menerima pelajaran selalu mudah untuk memahaminya.
Ketika sudah cukup dewasa, pada tahun 1937 M KH. Sarbani mengantarkan putranya, KH. Ahmad Maisur Sindi ke Pondok Pesantren di Pondok Lirab, Kab. Kebumen, Jawa Tengah, yang mana pondok tersebut khusus mengkaji ilmu alat yang meliputi Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf, Ilmu Mantiq, Ilmu Bayan, dan lain-lain. Setelah beliau menyelesaikan pendidikan dari pondok pesantren Lirab, KH. Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Tebuireng yang diasuh oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1940. Setelah itu, pada tahun 1941 M beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Jampes, Kediri, Jawa Timur, kemudian di sinilah beliau mendirikan Madrasah Mafatihul Huda.
Setelah mendirikan dan merintis Madrasah Mafatihul Huda, Kemudian pada tahun 1942 M beliau melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur. Kemudian, beliau pulang ke kampungnya di desa Tersidi karena pada waktu itu terjadi penjajahan Jepang. KH. Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi yang lahir di kutoarjo dan dibesarkan dalam lingkungan yang agamis. Beliau sangat tekun beribadah dan mengamalkan ilmunya dengan niat tulus dan ikhlas.
Sebagai seorang pendidik di Madrasah, Pondok Pesantren dan masyarakat, beliau sangat memperhatikan masa depan anak didiknya dan masa depan umatnya, karena masa depan umat atau bangsa terletak pada pemuda. Bangsa kita, sepertinya saat ini kehilangan kearifan lokal yang menjadi karakter budaya bangsa sejak berabad-abad lalu. Seperti maraknya kasus tawuran antar pelajar, antar mahasiswa dan antar kampung. Tindak korupsi di semua lini kehidupan dan institusi. Kebohongan publik yang telah menjadi bahasa sehari-hari. Tidak ada kepastian hukum, karena pada praktiknya hukum kita bisa diperjualbelikan. Parahnya lagi, bangsa ini miskin figur yang bisa jadi contoh kongkret, serta ditauladani oleh masyarakat. Maka tidak heran jika pembentukan dan pembinaan karakter bangsa menuju masyarakat yang bermoral, berbudi pekerti luhur dan menjunjung tinggi semangat nasionalisme laksana kapal tanpa pedoman di tengah luasnya samudra.
Menurunnya moral bangsa bukan hanya karena disebabkan minimnya figur panutan namun juga kelemahan generasi muda seperti kami ini yang tak banyak menguasai bahasa Arab. Sehingga tidak mampu membaca teks klasik yang sebenarnya terdapat banyak poin akhlak dalam kehidupan. KH. Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi melakukan aktivitas mengajar sudah dimulai sejak berada di Pondok Pesantren hingga sampai akhir hidupnya, Bermula ketika di Tersidi, KH. Ahmad Maisur Sindi sering mengalami sakit-sakitan terutama sakit mata, akhirnya sang bapak yaitu KH. Sarbani menganjurkan untuk Tirah atau pindah tempat ke desa Ringin Agung (Pondok Pesantren ayahnya dahulu yang didirikan oleh Syekh Imam Nawawi ) di samping untuk kesehatan juga di sini beliau belajar dan mengajar.
Kedatangan KH. Ahmad Maisur Sindi menjadi keberkahan tersendiri, di samping mengajar, yang mana beliau dijadikan menantu oleh keluarga Pondok Pesantren Ringinagung. Akhlak dan Ibadah Kyai Ahmad Maisur Sindi Al-Thursidi Ketulusan niat disertai rasa ikhlas dalam segala amal, beliau buktikan pada saat mencari ilmu yang mana, Beliau berjalan kaki dari rumahnya desa Tersidi, Kec. Pituruh, Kab. Purworejo menuju Ponpes Tebu Ireng, Kediri, Jawa Timur. Pada waktu itu beliau tidak membawa bekal apapun kecuali uang benggol dari orang tuanya. Selama berminggu-minggu dalam perjalanan menuju Ponpes Tebuireng, beliau hanya makan 1 – 2 kali, bahkan hanya minum saja, Demikian itu berlanjut hingga beliau sering tirakat dan puasa selama bermukim di Pondok Pesantren.
One response
mas..apakah ada buku geger Lengis..ditulis sekitar tahun 1978. dulu di rumah saya ada, saya belum sempat baca. karena masih kecil.
kalau ada boleh di share . terima kasih