Categories:

Ketika membaca Kitab Majmuat karya Kiai Soleh Darat, saya dihadapkan pada satu hal yang menarik. Beliau memberikan satu pandangan hukum (fatwa) yang mengharamkan membaca dua kitab yang beliau sebut secara eksplisit. Mereka adalah Tuhfah al-Mursalah dan Al-Insan al-Kamil.

Tentu saja al-Insan al-Kamil adalah karya Abdul Karim al-Jili yang mengajarkan 40 Martabah Tauhid. Sedangkan Tuhfah al-Mursalah belum saya ketahui waktu itu. Beliau menyebutnya sebagai kitab yang mengajarkan wahdatul wujud. Dan setelah membaca kesana kemari saya temukan itu adalah kitab tasawuf karya al-Burhanpuri (1545–1620) yang mengajarkan martabat tujuh yang begitu terkenal dalam tasawuf Jawa dan konsep manunggaling kawula lan Gusti.

Tentu ada kepentingan khusus mengapa Kiai Sholeh menyebutkannya secara khusus. Alasan pertama jelas dalam teks majmuat bahwa keduanya mengandung ajaran bukan untuk orang awam. Alasan kedua yang tersirat adalah kedua kitab adalah sumber ajaran yang tersebar luas di masyarakat Jawa.

Pergumulan dengan manuskrip di Leiden waktu itu membawa saya menemukan beberapa terjemahan atas Tuhfah dan Insan. Pertama adalah terjemahan antar baris (makna ala pesantren) atas kitab tuhfah pada Or. 5690. Sedangkan yang kedua adalah gubahan yang berisi ajaran kitab tersebut dalam bentuk tembang macapat pada Or. 5594. Terakhir kitab insan kamil yang terkandung pada manuskrip Or. 5609. Ini adalah manuskrip yang merujuk langsung terhadap kitab-kitab tersebut.

Sedangkan yang merujuk pada ajarannya, terutama martabat tujuh, tanpa menyebutkan kitabnya dapat dilihat dalam hampir setiap kitab tasawuf Jawa (Sunda dan Madura) pada masanya. Dari tinjauan singkat ini bisa dilihat bagaimana lahirnya konsep manunggaling kawulo lan gusti dari teks-teks tasawuf wujudiah. Hal ini lah yang saya sampaikan sebagai pemakalah dalam Festival Naskah Nusantara beberapa waktu lalu di Surakarta. Dengan begini, melihat konsep “manunggaling” semata-mata bukan berasal dari Islam, baik disebut abangan atau yang lainnya, secara mudah saja dianggap tidak benar. Meskipun, tentu saja ia berasal dari madzhab pemikiran yang berbeda dari yang dipeluk oleh masyarakat dewasa ini.
Tapi, melihat yang bukan kita secara wajar dan apa adanya hal yang memang sulit, bukan?

One response

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *