Kenangan indah 

Tiba-tiba aku teringat suatu moment indah bersama Gus Mus beberapa waktu lampau di sebuah pesantren terkenal di Jombang, Jawa Timur. Kebersamaan itu begitu mengesankan. Kami berdua diminta bicara soal pesantren hari ini. Gus Mus bicara lebih dulu. Aku senang. 

Sebagaimana biasa orasi beliau selalu memukau dan membahagiakan publik. Audiens acap tegelak-gelak jika Gus Mus bercanda tetapi serius. Menyaksikan itu, aku begitu rendah diri. Aku harus bicara apa dan bagaimana?. Bagaimana jika mereka kemudian satu persatu meninggalkan kursinya?, kata hatiku. Aku berpikir mencari cara agar mereka juga terkesan, terhibur dan tak bubar. Nah, ketemu. Aku akan menyanyi dulu sebelum memberikan pandangan. Kata teman-teman suaraku cukup bagus, merdu dan tidak false. Maka manakala Gus Mus selesai bicara dan MC mempersilakan aku bicara, aku segera memulai dengan menyenandungkan Nyanyian untuk Gus Dur, “Guru Bangsa”, karya Krishna. Ada tepuk tangan hadirin yang meriah usai aku menyanyi. Alhamdulillah. Aku jadi mulai percaya diri dan melanjutkan bicara soal karakter pesantren. 

Pada sesi terakhir, usai tanya jawab, panitia meminta kami berdua membaca puisi. Maka manakala kemudian panitia meminta Gus Mus membacakan puisi lebih dulu, beliau mengawali dengan bilang kira-kira begini : “Siapa bilang suaraku lebih jelek dari suara kiyai Husein?, he he”. Aku dan hadirin tak mengerti maksud Gus Mus bicara begitu. Apa mau menyanyi seperti aku?. Hadiri menunggu apa yang akan terjadi. Lalu beliau membacakan puisi yang ditulisnya beberapa tahun lalu. Puisi itu berdjudul  “Aku Masih Ingat Nyanyian itu”. Di dalam puisi itu Gus Mus menyelipkan nyanyian : “Indonesia Pusaka”, karya komponis legendaris Indonesia terkemuka, Ismail Marzuki. Gus Mus menyanyikannya : 

Indonesia tanah air beta

Pusaka abadi nan jaya

Indonesia sejak dulu kala

Slalu dipuja-puja bangsa

Di sana tempat lahir beta

Dibuai dibesarkan bunda

Tempat berlindung di hari tua

Sampai akhir menutup mata

Lalu Gus Mus menambahkan syair kritikal : 

Indonesia air mata kita 

bahagia menjadi nestapa 

Indonesia kini tiba – tiba 

Slalu di hina – hina bangsa 

Disana banyak orang lupa 

Dibuai kepentingan dunia 

Tempat bertarung berebut kuasa 

Sampai entah kapan akhirnya

Aku bilang dalam hati: ”wow, suara Gus Mus, boleh juga nih. Ini saingan berat”. Puisi nya hebat. Tepuktanganpun membahana. 

Aku ingat, lagu di atas sering dinyanyikan Gus Mus di sejumlah moment yang relevan. Rupanya begitu mengesankannya lagu itu di hatinya. Indonesia tanah air beta, yang indah, subur makmur, aman, damai, gemah ripah loh jinawi. Akan tetapi belakang situasi indah itu terganggu berat. Tanah air itu tengah dihancurkan oleh banyak penghuninya sendiri yang rakus dan dipermalukan di hadapan dunia oleh sebagian rakyatnya sendiri. Dan Gus Mus tampak geram. Beliau melancarkan kritiknya yang tajam melalui lirik yang diciptakannya sendiri dengan tetap dalam nada nyanyian itu.  

Kata seorang teman, rupanya acara ini bukan sekedar bicara tentang pesantren dan masa depan bangsa, tetapi juga menjadi ajang “audisi”, sekaligus ruang menggugat konservatisme, kemapanan dan kerakusan manusia-manusia Indonesia.  he he.   

Cirebon, 05.08.17

HM

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *