“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. … Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik,” (Al-Baqarah: 26).
*^^^*
Semua Nabi bekerja sebagai gembala. Hampir semua nabi pula diragukan kenabiannya bahkan diragukan oleh isteri dan anak-anaknya. Sebut saja Nuh as, Luth as. Bukankah Abu Lahab, dan Abu Jahal juga meragukan Nubuwah Muhammad saw. Semua nabi membuktian risalah kenabiannya dengan sabar dan akhlak baik.
Seorang yang merasa suci selalu berharap yang bertamu hanyalah orang-orang yang baik atau yang sepadan. Temannya adalah para malaikat dan orang-orang saleh calon penghuni surga. Hanya para malaikat yang berhak memberinya nasehat. Bila perlu Allah langsung.
Tapi bagaimana jika Allah tak berkenan, kemudian meminjam mulut seorang lonte untuk memberi nasehat kepada seorang yang disucikan atau dikeramatkan ?
Saya hanya hendak mengatakan bahawa seorang yang dianggap ngalim atau suci punya peluang masuk neraka, meskipun peluang itu sangat tipis. Pun sebaliknya seorang yang dianggap fasekk ahli munkar sekalipun juga masih punya peluang atau harapan masuk surga meski sangat tipis.
*^^^*
Skema dialektik ini sangat mungkin, sebab selain Nabi saw dan beberapa (70 ribu orang) yang sudah ditetapkan masuk surga tanpa dihisab, sudah pasti bakal masuk neraka terlebih dahulu tanpa kecuali siapapun itu. Bukankan Nabi Daud as juga pernah khilaf — dan yang menasehatkan hanyalah seorang gembala domba.
Nasihat yang keluar dari mulut seorang lonte, pemabuk, penjudi kadang lebih polos jujur tanpa basa basi untuk menerabas tabu—sebab biasanya sesama orang saleh tak cukup kuasa mengingatkan apalagi memberi nasehat karena batasan adab yang tinggi, maka Allah meminjam mulut seorang lonte untuk menasehati.
Menerima nasehat itu memang pahit, apalagi jika nasehat itu keluar dari mulut lonte atau siapapun dari status atau kasta sudra. Terlebih bila selama ini ia disucikan, dikeramatkan dan kata-katanya dianggap bertuah, selalu dianggap benar tak bisa salah. Betapa sudah lazim siapa diantara kita berani menasehati seorang ulama, rahib, pendeta dan orang-orang suci lainnya ?
Kelas sosial keagamaan demikian dominan, jadi tak mungkin seorang marbot diperbolehkan menegur seorang imam. Seorang santri menegur kyai atau awam menegur wali. Tapi jika Allah sudah Ijinkan, siapa bisa cegah seorang lonte menasehati habib?
*^^^*
‘Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (Albaqarah : 216).
‘Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.(Annisa: 19)
Rasulullah saw, “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan fisik kalian. Allah hanya melihat hati dan amal perbuatan kalian.” (HR Muslim).
Ibnu Hadjar al Haitami rahimahullah berkata : ‘Janganlah meremehkan orang lain. Barangkali disisi Allah dia lebih baik darimu, lebih utama dan lebih dekat—Az Zawajir 2:8
*^^^*
Julaibib si buruk rupa tak ada secuil yang bisa dibanggakan. Lahir dari nashab yang buruk. Itupun begitu dihargai Rasulullah saw. Ia dipinangkan terhadap gadis tetua kaum Anshar yang bermartabat tinggi.
Julaibib yang sering mendapat cibiran di muka bumi, ternyata menjadi sosok yang dirindukan oleh penghuni langit. Julaibib syahid di medan pertempuran dan meraih gelar syuhada. Rasulullah saw mengafani Julaibib dengan tangannya sendiri. Ia dishalatkan Rasulullah saw secara pribadi. Rasulullah saw pun mendoakan Julaibib, “Ya Allah, dia adalah bagian dari diriku dan aku adalah bagian dari dirinya.”
Nasihat cucu Rasulullah saw dari jalur ahlu bait Sayyid Ruhullah Imam Khomaini barangkali bisa direnungkan : jangan sampai terjadi di mana seseorang belum memperbaiki dirinya, sementara masyarakat berduyun-duyun menggemarinya dan dia menjadi orang terpercaya di tengah-tengah masyarakat—
Wallahu taala a’lam
No responses yet