Tradisi literasi yang tinggi di peradaban Islam menghasilkan warisan literatur yang melimpah, warisan itu dalam bentuk karya-karya manuskrip yang kini tersebar di seantero dunia. Kekayaan literatur nan agung ini menggugah Barat untuk menelaah dan mengkajinya. Untuk itu, Barat pertama kali menyusun metodologi sistematis bagaimana menelaah (baca: tahqiq) naskah-naskah manuskrip Arab.
Diawali tahun 1931-1932, orientalis Jerman R. Bergstraesser menulis sebuah buku berjudul “Ushul Naqd an-Nushus wa Nasyr al-Kutub”, yang berisi pengantar dasar dan metode penelitian naskah dan penerbitannya. Buku ini pada awalnya juga merupakan materi yang disampaikan Bergstraesser untuk mahasiswa program Pascasarjana Fakultas Adab Universitas Fuad Awwal (sekarang Universitas Cairo).
Selanjutnya pada tahun 1945, dua orientalis asal Prancis, R. Balachere dan J. Sauvaget, menyusun sebuah buku pedoman teori dan praktik (dalam bahasa Prancis) tentang penelitian naskah dengan judul “Regles pour editions et. traductions des textes arabes”. Selanjutnya buku ini diterjemah ke bahasa Arab dengan judul “Qawā’id Tahqīq al-Makhthūthāt al-‘Arabiyyah wa Tarjamatuhā” (Kaidah-Kaidah Penelitian Manuskrip Arab dan Penerjemahannya) yang diterjemahkan oleh Dr. Mahmud al-Miqdad.
Di awal kehadirannya, dua buku ini sangat membantu para penelaah naskah dan ia ibarat guider sebuah perjalanan. Di titik ini, sumbangan Barat terkait metodologi tahkik adalah nyata dan tidak bisa dipungkiri. Sebuah ‘quote’ Arab bijak menyebutkan, “al-‘ilm turats musytarik”, ‘ilmu adalah warisan bersama’. Artinya, sebesar apapun capaian keilmuan sebuah peradaban, ia tidak bisa disematkan kepada satu kelompok, apatah lagi individu. Ilmu adalah sesuatu yang universal, turun-temurun, dan milik semua umat.
Alhamdulillah, pernah menelaah secara khusus dua karya metodologi tahkik di atas, dan juga karya-karya metodologi tahkik lainnya, di kampus tercinta “Institute of Arab Reserach and Studies” (Ma’had al-Buhuts wa ad-Dirasat al-‘Arabiyyah), Cairo.
No responses yet