Istilah Ngrowot merupakan sesuatu yang tidak asing bagi para kaum santri generasi terdahulu. Dibanyak pesantren salaf kini masih mudah menjumpai santri-santri yang menjalani laku demikian, Ngrowot’. Bisa jadi di pesantren modern juga ditemukan santri yang Ngrowot. Bisa mengecek sendiri. Belajar laku hidup prihatin benar-benar ada didunia pesantren.
Memangnya, Ngrowot itu apa? Koq para santri dahulu dan mungkin sekarang di pesantren tertentu yang kental nuansa salafnya ada yang masih lestari dan mungkin wajib dilakukan sungguh-sungguh dengan batas waktu tertentu. Ngrowot adalah tidak makan selain nasi putih. Terus, makan apa? Bisa nasi jagung, nasi oyek, dan lainnya, terpenting bukan terbuat dari beras. Kemudian santri Ngrowot juga ada yang diiringi dengan puasa sunnah. Selama Ngorowot ia makin menjaga kedekatan dengan sang kuasa.
Chairiyah(2014), Ngrowot berasal dari kata wod/wot yang berarti akar, penjabarannya adalah sebuah tindakan memakan krowodan (buah-buahan, umbi atau sayuran). Artinya Ngrowot merupakan upaya menahan diri dari segala macam bahan makanan yang berbahan dasar beras, dan diganti dalam bentuk umbi-umbian (wod), jagung, terigu dan sebagainya.
Apa sih, sebenarnya tujuan dari santri bahkan kiai Ngrowot? Ngrowot tak mesti karena kebetulan tidak ada nasi, atau lagi kekurangan. Salah satu tujuan Ngrowot adalah untuk diberi kemampuan mengelola hawa nafsu yang jika tidak dikelola sungguh sangat melelahkan bagi yang menurutinya. Jelas, menuruti kehendak nafsu, tidak akan pernah selesai dan plong. Kepingin, sate, susu, daging kuda onta, sayur, dan seterusnya.
Dengan Ngrowot juga jadi ajang meningkatkan spiritualitas bagi pelakunya. Bukan spiritual tanpa spiritual ‘kalau ngomong jian, agamis banget, tapi tidak diringi perbuatan nyata.’ Mereka yang Ngrowot menjaga betul ucapan dan tindakan tidak patut. Yang jelas, terus berusaha meraih ridho Allah.
Ya, santri yang sedang berburu ilmu di pesantren harus mau pedekate dengan Allah dengan segala cara. Ilmu adalah cahaya. Cahaya Tuhan sulit merasuk kalau pencarinya suka bermaksiat. Para santri yang Ngrowot jelas punya niat suci dan mulia. Ngrowot secara tak langsung juga mengandung pelajaran penting. Pertama, ajang mendekatkan diri kepada Allah secara maksimal. Dengan demikian, apa saja hajatnya dapat lekas terkabul. Kedua, sebuah strategi mengelola nafsu dalam diri. Dengan mengendalikan nafsu dalam diri membuat kita menjadi ringan, murah, dan tentram hatinya. Ketiga, menjaga ketahanan pangan. Kalau musim panen lagi kurang beruntung entah karena persoalan apa, ia tidak kelabakan mengganti makanan pokoknya. Dan lain sebagainya.
Sebenarnya kita sebagai orang Indonesia beruntung sekali, harus bersyukur. Banyak aneka makanan pengganti nasi. Misalnya, jagung, ketela, ubi-ubian, dll. Jadi, kalau lagi paceklik maka bisa dijadikan pengganti. Ketergantungan kepada beras sangat tinggi. Kalau harga beras mahal, karena mungkin gagal panen, kelabakan. Padahal yang habis nanam kepingin menjual hargannya seringkali kurang memuaskan. Ini seringkali, bahkan berulang-ulang terjadi. Padahal kalau petani, petani apapun sejahtera aman dan tentram. Sisa uang lebih bisa buat menyekolahkan putra-putrinya menjadi sarjana kedokteran, pertanian, dan lain sebagainnya.
Sayangnya, ya petani kita masih terlihat nelangsa. Entah karena sawahnya kurang lancar airnya, pupuk kimia semakian mahal, kalau panen hasilnya poll murahnya. Wajar, jika generasinya pak tani tidak melirik dan ingin menjadi petani seumur hidup. Meskipun demikian, hasil pertanian yang berupa jagung, ketela, dan lainnya bisa jadi makanan alternatif saat terjadi paceklik.
Ngrowot sejatinya juga menarik perhatian bersama dalam kehidupan sekarang ini. Ajaran laku hidup yang mengajarkan bertahan diri. Ditengah banyak makanan yang kelihatannya nikmat, enak pol, dan mengenyangkan tapi sesungguhnya itu jenis makanan dalam kategori kurang sehat.
Kiainya kiai kita, Syaikhona Kholil Bangkalan, semasa menyantri kepada ulama besar di Tanah Suci juga Ngrowot, beliau vegetarian. Beliau menjalani hidup prihatin sejak muda bukan karena tidak punya uang namun untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selanjutnya sosok KH. Marzuqi Dahlan, tokoh dari Pesantren Lirboyo. Semasa menyantri di Pesantren Tebuireng lama beliau memakan daun ketela kering dari Kebun Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Dan banyak cerita dari para guru santri lainnya. Yang bisa digali dari sejumlah pesantren utamanya yang ada di Jawa ini.
Ngrowot berat tidak? Silahkan saja, dicoba kalau mau. Tapi, jujur kalau sudah tidak tinggal di komplek pesantren sangat berat. Semua tergantung, kemauan diri sich. Apalagi santri, model seperti saya. Makan nasi jagung dan nasi oyep di pagi hari, meski sudah kenyang masih saja berkata belum sarapan.
Makan nasi oyek bukan barang asing dan masih sangat istimewa, mengingat saat masih dikampung halaman sampai mblenger. Saat masih menyantri di Jember, nasi jagung pun juga demikian.”Kang, iku panganan doro?” “Haha”..”Tapi, wuenak, kan nasi jagung sama oseng kangkung plus tempe?”. “Ia, g keroso, ikut makan lahap, sampai kenyang.” Makan enak memang saat lapar, bagi santri semua makanan terasa enak. Penting, halal.
No responses yet