Tan Ing Hwat saudagar cina dari Semawung Kutoarjo adalah salah satu menantu Adipati terakhir Loano Gagak Handoko.
Tan ing hwat adalah suami dari salah satu putri Gagak Handoko yang bernama Rr. Sindip.
Kisah cinta mereka yang cukup Dramatis yang menjadikan mereka harus terpisah karena situasi ekonomi, kemanan, dan politik perang Diponegoro atau perang jawa yang terjadi tahun 1825 – 1830.
Fitnah dan sumpah serapah yang akhirnya memisahkan cinta kasih mereka, drama cinta yang tragis mengakhiri hubungan kasih sayang itu.
Jika Romeo dan juliet dipisah akibat egoisme orang tuanya sebelum mereka menikah sedangkan Tan Ing Hwat dan Rr. Sindip dipaksa berpisah seusai mereka menikah.
Makam Tan Ing Hwat kini dibangun oleh para keturunannya setelah mereka mencari identitas dan personalitas sejarah leluhurnya selama hampir 188 tahun.
Dahulu kala sampai sekarang perkawinan campuran antara keturunan Jawa dengan keturunan Tionghoa adalah wajar karena suasana pergaulan antar golongan etnik itu.
Tan Ing Hwat memiliki keahlian khusus bidang kuliner yang kemudian ditularkan kepada istrinya, yaitu membuat kue kompyang.
Rr. Sindip dulu sejarahnya berjualan kue Kompyang di sekitar pasar semawung (kutoarjo), Dan nama Mak Kempiang besar kemungkinan adalah sebutan bagi Sindip yang mahir membuat kompyang ini,” ujar Yemima Tuk Maryati, 79 tahun, salah satu keturunan keenam pasangan Tan Ing Hwat dan Sindip. Kue kompyang merupakan makanan khas dari daratan Tiongkok yang bertekstur keras dan biasanya dikonsumsi saat perang atau ketika berkelana.
Pada 1813, dua tahun sebelum pernikahan Sindip dan Tan Ing Hwat, situasi politik di kadipaten Loano menjadi dinamis.
Pada tahun itu, Tan Jin Sing yang sebelumnya kapitan Cina di Magelang diangkat Sultan Hamengkubuwana III sebagai bupati Yogya dan bergelar Raden Tumenggung Secodiningrat. Atas pengangkatan ini, seperti tersua dalam Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa,Tan Jin Sing mendapat tanah warisan dengan 1000 cacah atau kepala keluarga. Cacah bawahan Tan Jin Sing itu sebagian besar berada di bekas perkebunan merica dan nila milik VOC dahulu di Loano, sisi timur Bagelen. Sejak itu, situasi politik di Loano pun menghangat.
Situasi ini berkembang menjadi memanas saat permulaan perang Jawa meletus. Saat itu, Gagak Handoko Adipati Loano berada di seberang Diponegoro dan bersama Reksodiworyo alias tumenggung Tjokrojoyo alias cokronegoro I melawan pengikut pangeran Diponegoro di Bagelen sebelah timur.
“Dalam Buku Kedung Kebo (tekst Leiden – LOr 2163, hlm. 297-99) dan ternyata hanya ada dua referensi kepada Gagak Handoko di teks – yang keduanyanya menegaskan bahwa Gagak Handoko sebagai sekutu komandan hulptroepen (pasukan bantuan -red) Belanda, Ngabehi Resodiwirio (pasca-1830, Raden Tumenggung Cokronegoro; kelak Raden Adipati Cokronegoro, menjabat 1830-62),” (by. Peter Carey)
Meski semula melawan Diponegoro, menurut penggiat Sejarah Loano Mas Erwan Wilodilogo, Gagak Handoko kemudian menyeberang ke kubu Diponegoro. Bahkan kemudian dia membantu logistik bagi pasukan Diponegoro. Namun sejak Diponegoro kalah pada 1830, nasib Gagak Handoko sudah ditentukan. kadipatennya dihapus, dimasukkan dalam wilayah Purworejo yang dipimpin mantan sekutunya yaitu Reksodiworyo alias tumenggung Tjokrojoyo alias Cokronegoro I.
Nasib pasangan Tan Ing Hwat dan Rr. Sindip, Setelah perang Jawa berakhir, kedua sejoli ini berpisah. Tan Ing Hwat diusir keluar dari Loano, sementara Sindip masih didalam kadipaten Loano. Tan Ing Hwat pun berkelana. Sindip pun hidup merana di dalam Kadipaten, juga ayahnya Adipati Loano Gagak Handoko lebih dulu meninggal pada 1835.
Rr. Sindip akhirnya kembali ke kutoarjo dan bertahan hidup dengan keahlian yang dimilikinya, berjualan kue kompyang di Kutoarjo. Kesepian ditinggal suami membuatnya meninggal dengan merana pula pada 1836.
Tan Ing Hwat sudah tidak tahu kabar istrinya. Ia berkelana dari satu desa ke desa lainnya. Hingga dalam satu saat, sekitar tahun1838, menantu Gagak Handoko itu diculik segerombolan Kraman alias begal, dan dibawa ke desa Kalinongko. Disitu, Tan Ing Hwat menemui ajal dan mayatnya dibuang ke sungai.
Rombongan Kraman itu sempet dikejar oleh pasukan cokronegoro I.
Kraman adalah istilah untuk pengikut pangeran Diponegoro setelah pangeran Diponegoro ditangkap, pengikut pangeran Diponegoro yang suka melakukan Kraman atau melakukan kekacauan, pembegalan, pencurian dan sebagainya untuk mengganggu stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan Belanda.
Penduduk Kalinongko mengetahui pembunuhan itu. Mereka mengenali mayat Tan Ing Hwat lalu membawanya kembali ke Loano dan dikuburkan di sana.
Kisah Rr. Sindip bersama Tan Ing Hwat memberikan contoh bahwa perang dan dinamika situasi ekonomi, politik, dan keamanan dapat meluluhlantakkan segalanya, termasuk urusan cinta.
Sumber Referensi :
1. Mas Carik Loano sekaligus penggiat Sejarah Loano Erwan Wilodilogo
2. Buku “Sebuah Sejarah yang tersembunyi LOWANO The Hidden History”
No responses yet