Istiqomah ada tiga tingkatan: at-Taqwîm, al-Iqâmah, dan al-Istiqâmah. 

At-Taqwîm adalah mendidik diri supaya anggota tubuh stabil dengan pondasi khauf dan raja’ agar terlepas dari larangan, dan mendirikan segala ketaatan. Al-Iqâmah adalah mendidik hati supaya bersih dari akhlak yang tercela. Sedangankan al-Istiqâmah adalah mendekatkan sirr hati supaya setiap perbuatan hamba sesuai dengan standar syari`at dengan tanpa paksaan pada level at-Taqwîm dan al-Iqâmah. 

Makna level pertaman adalah tamhîsh (pengujian), level kedua tahqîq, dan level ketiga taufîq.

Dilihat dari tempatnya, istiqomah dalam suluk ada lima macam:

  1. Istiqomah lisan, dengan ucapan-ucapan hikmah.
  2. Istiqomah hati, dengan kebenaran niat.
  3. Istiqomah diri, dengan khidmat yang baik.
  4. Istiqomah ruh, dengan penghormatan yang agung.
  5. Istiqomah sirr, dengan sibuk terhadap Sang Pemberi Nikmat, bukan terhadap nikmat itu sendiri.

Ucapan seseorang dinilai dari hasil dakwaannya, jika tampak maka benarlah, jika tidak maka ia berdusta. 

Taubat yang tidak diiringi dengan takwa adalah batil. Takwa yang tidak tampak padanya istiqomah adalah cacat. Istiqomah yang tidak diiringi dengan wara` adalah tidak sempurna. Wara` yang tidak berbuah zuhud adalah kurang. Zuhud yang tidak diiringi dengan tawakkal adalah kering. Tawakkal yang tidak ada buahnya, yakni hanya bersandar dan berlindung kepada Allah, adalah bentuk yang tidak memiliki hakikat/esensi. 

Kebenaran taubat seseorang adalah dengan mencampakkan yang haram. Kesempurnaan takwa bersumber dari Allah. Adanya istiqomah dengan menjaga wirid/kebiasaan baik yang tidak bid`ah. Adanya wara` pada syahwat ketika bimbang, jika ditinggalkan maka wara` akan muncul, jika tidak maka wara` pun akan hilang. 

Hening (al-Wuqûf)

Pada tahap ini, salik sudah benar-benar menarik diri dari penilaian makhluk. Ia bersandar dan berserah sepenuhnya pada penilaian Khalik. Ia berhenti dari kesibukan melakukan perhitungan amalnya. Ia mulai benar-benar memahami kewenangan Allah untuk menghadapkan perhitungan sesungguhnya. 

Salik di tahapan ini seperti orang yang sedang berwukuf di padang ‘Arafah. Ia mendekati puncak istiqamah dan mulai menyaksikan berbagai keindahan. Ia berhenti dari ikut campur atas urusan Allah terhadap dirinya. Ia hanya pasrah dan berserah, sembari menyerahkan keputusannya kepada Allah atas semua amalnya.

Itu bukan karena ia tidak mampu mengawasi amalnya, tapi justru sebab Salik sudah benar-benar mengenali semua amal lahir dan amal batin yang ia lakukan. Ia tahu persis di mana kelebihan dan kekurangannya, ia juga menikmati kebaikan dan keburukan yang beriringan dengan amal-amalnya. Ia sadar bahwa pada setiap keadaan dirinya saat menjalankan amalan itu, selalu ada kebaikan-Nya. 

Dalam hal ini ia sudah melewati tahap selamat dari kemusyrikan, baik yang terang (jaliy) maupun yang tersembunyi (khafiy). Ini karena kerinduannya untuk segera bertemu dengan Allah begitu menggebu. Diilustrasikan dalam al-Qur’an:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Artinya:

“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya” (Qs. al-Kahfi [18]: 110)

Godaan dalam tahapan ini adalah, seringkali timbul kebimbangan yang disebabkan perasaan waswas tidak sampai atau juga sebab takut dirinya teperdaya oleh anggapannya sendiri. 

Sebagaimana orang yang telah wukuf di ‘Arafah, Salik yang sampai pada tahapan ini masih mungkin tergoda oleh keinginan lembut untuk “membawa sedikit buah tangan” agar orang mengetahui bahwa ia telah sampai.

Zikir yang dianjurkan dalam tahap al-wuquf ini adalah, “hasbunallaah wa ni’mal wakil, ni’mal mawla wa ni’man nashir”. Sedangkan zikir asma al-husna yang dianjurkan yaitu, “Yâ Qawiy Yâ ‘Aziz”.

Sedangkan doa yang dianjurkan:

اللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ فِيْ عَيْنِيْ صَغِيْرًا وَفِيْ أَعْيُنِ النَّاسِ كَبِيْرًا

Ya Allah, Jadikanlah aku kecil dalam pandanganku, namun besar dalam pandangan orang lain (HR. al-Bazzar dan al-Dailami)

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ، وَقَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ، وَدُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ، وَنَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, doa yang tidak didengar, dan nafsu yang tak kunjung puas (HR. al-Nasa’i, Ahmad, Ibu Majah dan Abi Syaibah). 

اَللّهُمَّ يَا مَنْ أَظْهَرَ الْجَمِيْلَ وَسَتَرَ الْقَبِيْحَ، يَا مَنْ لاَ يُؤَاخِذُ بِالْجَرِيْرَةِ وَلاَ يَهْتِكُ السِّتْرَ، يَا عَظِيْمَ الْعَفْوِ ياَ حُسْنَ التَّجَاوُزِ، يَاوَاسِعَ الْمَغْفِرَةِ يَا بَاسِطَ الْيَدَيْنِ بِالرَّحْمَةِ، يَاصَاحِبَ كُلِّ نَجْوَى يَامُنْتَهَى كُلِّ شَكْوَى، يَاكَرِيْمَ الصَّفْحِ يَاعَظِيْمَ الْمَنِّ، يَامُبْتَدِئَ النِّعَمِ قَبْلَ اسْتِحْقَاقِهَا، يَارَبَّنَا وَيَا سَيِّدَنَا وَيَامَوْلاَنَا وَيَاغَايَةَ رُغْبَتِنَا، أَسْأَلُكَ يَاللهَ أَلاَّ تَشْوِيَ خَلْقِيْ بِالنَّارِ

Ya Allah, wahai Zat Yang menampakkan kebaikan dan menutupi keburukan, Yang tidak menyiksa karena dosa dan tidak menyingkap tirai penutup, Yang mahabesar pemaafan-Nya, Yang mahabaik pengabaian-Nya atas dosa, Yang Mahaluas pengampunan-Nya, Yang mengulurkan tangan-Nya dengan penuh kasih sayang, Yang menjadi tempat bagi semua bisikan dan curahan segala pengaduan, Yang Maha Pemaaf, Yang Mahaagung anugerah-Nya, Yang memulai nikmat sebelum sampainya nikmat ke penerimanya. Wahai Tuhan kami, wahai Junjungan kami, wahai Tuan hamba, tujuan akhir semua harapan kami, kami memohon kepada-Mu, ya Allah, jangan engkau bakar diri kami dengan api neraka (HR. Hakim).

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *