Hari ini mari kita renungkan bersama 3 ayat dala surat Fathir, yakni ayat 19 sampai 21. Ayatnya pendek-pendek, cenderung dipahami secara tekstual saja tanpa perenungan yang mendalam. Bisa jadi kita tak mampu menangkap pesan-pesan berharga yang terkadung dalam ayat ini. Al-Qur’an sungguh sangat kaya akan makna dan pesan.
Ayat yang saya maksud adalah sebagai beriķut:
وَمَا يَسْتَوِى الْاَ عْمٰى وَا لْبَصِيْرُ ۙ
“Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat,”
وَلَا الظُّلُمٰتُ وَلَا النُّوْرُ ۙ
“dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya,”
وَلَا الظِّلُّ وَلَا الْحَـرُوْرُ ۚ
“dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yang panas,”
Sebagian ahli tafsir mengomentari ayat itu dengan menyatakan bahwa kebanyakakan masalah dalam kehidupan kita itu lahir dari kebiasaan kita menganggap sama sesuatu yang berbeda dan akhirnya memperlakukan hal yang berbeda itu secara sama. Memperlakukan orang yang buta tentu saja tak boleh disamakan dengan memperlakukan orang yang melihat. Kita perlu menuntun yang buta itu dan mengantarkanya pada zona keselamatan, bukan hanya menunjukkan jalan tanpa menuntun atau bahkan hanya menilai dengan sinis dan mencemooh.
Jangan samakan tindakan kita menyikapi gelap dan terang. Dalam gelap kita hidupkan lampu, dalam terang tentu saja tak butuh lagi penerang. Tindakan kita berbeda walau tujuannya adalah satu yakni menemukan kebenaran dan kedamaian. Ada prinsip, etika dan seni yang perlu kita perhatikan agar hidup ini terasa lebih nyaman dan indah.
Berikut pula kita harus bisa membedakan mana tempat yang teduh dan mana tempat yang panas. Kita harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Menyamakan cara dan gaya kita jika ke pasar sapi dan ke mall akan menjadi tertawaan banyak orang. Di pasar sapi keadaan panas tidak berpendingin udara dan bergaul dengan para api, wajar kalau pakaiannya dan cara berbuat di pasar sapi adalah seperti yang biasa kita saksikan. Tak ada pedagang sapi bersolek dan berparfum. Bandingkan dengan mereka yang datang ke mall atau pertokoan besar modern. Berbuatlah sesuai keadaan demi menjadi bijak nan mulia.
Kita sedang ada di mana dan berhadapan dengan siapa harusnya menjadi pertimbangan kita untuk berbuat yang sesuai. Jangan bergaya yang sama. Bukankah tak elok mengangkat kaki ke atas meja saat kita bertamu ke rumah orang walau mungkin itu adalah biasa kita lakukan di rumah sendiri? Kita akan kehilangan separuh nilai kita sebagai manusia waras.
Nah, tafsir yang seperti ini menjadi terasa baru pada kita, bukan? Iya, minimum bagi saya yang bodoh ini. Biasanya kita “hanya” mendapatkan penjelasan ayat 19 itu dengan kesimpulan bahwa orang bodoh dan orang berilmu itu beda. Ini tidak salah, ini benar dan mendasar. Lalu apa yang harus dilakukan? Belajarlah dan menjadilah orang berilmu. Namun, dengan uraian yang di atas itu ada tambahan pesan: “Menjadilah orang berilmu sehingga mampu menempatkan diri dan merespon sesuatu dengan cara yang benar, baik dan indah.”
No responses yet