“Menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan”. Demikian ungkapan yang biasa kita dengar ketika melihat seseorang yang secara usia sudah dianggap tua, tetapi secara sikap masih kekanak-kanakan (childish).

Tampaknya, gejala seperti ini tidak hanya berlaku dalam sikap keseharian saja,  tetapi juga berlaku dalam cara dan sikap keberagamaan seseorang.

Fenomena keberagamaan masyarakat muslim Indonesia akhir-akhir ini menunjukkan kondisi tersebut. Ya, jika kita cermati, belakangan muncul sikap keberagamaan yang bisa dikategorikan sebagai cara kekanak-kanakan. Merasa paling benar sendiri, mudah mengafir-sesatkan orang lain, tidak mau menerima perbedaan, cenderung eksklusif, hanya mau bergaul dengan kelompoknya saja, dan abai terhadap etika kesantunan dalam berdakwah di tengah masyarakat yang heterogen, adalah beberapa fenomena yang berkembang akhir-akhir ini.

Hemat penulis, sikap keberagamaan seperti ini menunjukkan belum dewasanya seseorang dalam beragama. Sikap seperti ini lahir karena semangat (ghirah) keagamaan seseorang yang sangat tinggi tetapi tidak diimbangi oleh keilmuan yang memadai. Walhasil, apa yang dia ketahui dari sumber bacaan yang terbatas, membuatnya berpikir picik dan merasa paling benar sendiri.

Padahal, jika seseorang mau lebih sabar belajar tentang agama, akan dia jumpai beragam pandangan, aneka mazhab, dan bermacam tafsir atas teks keagamaan. Kekayaan khazanah intelektual yang dimiliki seseorang akan menjadikannya lebih siap menerima perbedaan, tidak mudah mengafir-sesatkan, cenderung toleran, santun dalam beragama, dan tentunya beragama secara dewasa.

Mungkin pepatah yang paling tepat menggambarkan sikap orang –orang yang belum dewasa dalam beragama adalah “bagaikan katak di dalam tempurung”. Ya, seekor katak yang hidup di dalam tempurung tidak pernah melihat dunia luar. Jadi, apa yang dia ketahui hanya seputar tempurung yang membatasinya saja. Padahal, kalau dia dilepaskan ke dunia luar, pasti dia akan takjub dan terheran-heran, bahkan mungkin shock karena ternyata dunia itu begitu luas.

Demikian halnya, seseorang yang beragama dan dibatasi oleh lingkup bacaan, guru (ustadz), serta mazhab tertetntu tanpa pernah mau belajar melihat ‘dunia luar’, yaitu bacaan, ustadz, serta mazhab yang berbeda, akan merasa apa yang dipahami dari bacaan, ustadz, serta mazhabnyalah yang paling benar.

Padahal, sesungguhnya jika seseorang semakin belajar banyak tentang suatu hal, maka ia akan lebih terbuka cara pandangnya, toleran sikapnya, serta santun akhlaknya.

Sebaliknya, jika seseorang belajar sedikit tentang suatu hal, maka ia cenderung bersikap eksklusif, sempit cara berpikirnya, picik cara pandangnya, tidak bisa menerima perbedaan, serta cenderung mengabaikan kesantunan dalam beragama.

Beragama secara dewasa akan membuat seseorang mudah bergaul dengan siapa saja, mendapat ilmu dan pengetahuan tentang agama tanpa batas, selalu menenggang beda, tidak merasa paling benar sendiri—karena sesungguhnya kebenaran hakiki-sejati itu milik Allah— dan bisa hidup damai berdampingan dengan ragam madzhab dan pemikiran keagamaan yang berbeda, bahkan harmoni dalam hidup bersama dengan lintas agama yang berbeda.

Singkatnya, beragama secara dewasa akan menghadirkan semangat Islam Rahmatan Lil ‘Alamin….

* Ruang Inspirasi, Senin, 23 November 2020.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *