Ada kalimat indah nan luhur, yaitu Pujian manusia itu semu. Ingatlah, ada pepatah yg menyebutkan bahwa “Bila mereka cinta, mereka akan menghiasi dirimu dgn sejuta sanjungan. Namun bila mereka benci, mereka akan membuatmu lebih buruk dari apa yg ada dalam benakmu”.

Orang yg hidupnya nampak berjuang dan beramal, hanya mendapatkan rasa lelah dan selalu berujung duka. Hal ini bisa nyata terjadi, jika ada orang yg menjadikan keridhoan manusia sbg obsesi dalam hidupnya. Jangan masuk dalam kategori para tertipu yg membanggakan sempurnanya bahasan amalnya di dunia. Keinginan yg selalu ingin menampilkan diri pada insan itu hasilnya pasti melelahkan. Padahal sejatinya, menunaikan amal dgn disaksikan Allahbsubhanahu wa ta’ala, itu melegakan. Memang ada manusia yg mengalami keterbatasan yg bisa menghadang amalnya sbg seorang mukmin. Tetapi ingatlah, tidak pada niatnya, karena ruang niat itu sangat luas, yg bisa menjadikan diterimanya amal dan bisa menembus ridhanya Allah subhanahu wa ta’ala.

Satu hal lagi yg harus kita ingat, bahwa bentuk penafsiran atau penilaian apapun dari orang lain tentang diri kita, sebenarnya tidak akan pernah memberi pengaruh apapun, tentang siapa diri kita disisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Khususnya, bagi orang yg memiliki Ilmu dan prestasi, bisa menggelincirkan manusia,  manakala ia mengabaikan faktor keikhlasan dalam amal, sehingga merasa lebih baik, lebih utama, dan tenar dari orang lain. Porosnya di hati, yakni niat, meskipun orang lain memandangnya memiliki kelebihan, namun hatinya rendah hati, dan hanya Allah subhanahu wa ta’ala  lah yg mengetahui isi hati, apakah ia sombong atau benar2 niatnya ikhlas, ia tidak begitu peduli dgn pujian manusia. Karena, sanjungan dan pujian seringkali membuat orang terlena, hingga benih2 kesombongan dan bangga diri pelan2 mengusik hatinya dan akhirnya bisa menodai amalannya. Allah berfirman :

قُلْ إِنْ تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ وَيَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Katakanlah: Jika kamu menyembunyikan apa yg ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui.”(QS. Ali-Imran : 29)

Menata niat dalam beramal

Imam Al-Fadhl bin Ziyad rahimahullah berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abu Abdullah (Ahmad Bin Hambal) tentang niat dalam beramal. Aku bertanya, ‘Apakah niat itu ?’ Beliau menjawab, ‘Seseorang mengendalikan dirinya ketika hendak beramal, agar tidak menginginkan pujian manusia.’” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam I/26, karya Abdurahman ibn Syihab al Din Ahmad ibn Rajab ibn Abd al Rahman ibn Hasan ibn Muhammad ibn Abi al Barakat Mas’ud al Hafidz Zain al Din Abu al Faraj al Baghdadiy al Dimasyqiy al Hanbali atau Imam Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah, 4 November 1335 M, Bagdad, Irak – 14 Juli 1393 M, Damaskus, Suriah)

Ikhlas dan Pujian

Seperti kita ketahui bahwa air dan api tidak mungkin saling bersatu, bahkan keduanya pasti akan saling membinasakan.Demikianlah ikhlas dan pujian, sama sekali tidak akan menyatu. Mengharapkan pujian dari manusia dalam amalan pertanda tidak ikhlas.

“Tak mungkin menyatu dalam hati seseorang antara ikhlas dan mengharap pujian serta tamak terhadap sanjungan manusia, kecuali bagaikan air dan api” (Maqalah Abu Abdullah Syamsuddin Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’d al-Zar’i al-Dimashqi Al-Hambali atau Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah, 28 Januari 1292 – 15 September 1350 M Damaskus, Suriah)

Kapan Disebut Ikhlas

Ada yg menanyakan pada Abu Zakariya Yahya bin Mu’adh al-Razi atau Imam Yahya bin Mu’adz rahimahullah (830 – 871 M, Naisabur, Iran), “Kapan seorang hamba disebut berbuat ikhlas?” “Jika keadaanya mirip dgn anak yg menyusui. Cobalah lihat anak tsb dia tidak lagi peduli jika ada yg memuji atau mencelanya”, jawab Yahya.

Abu Muhammad Fadhl bin Syadzan bin Khalil al-Azdi atau Muhammad bin Syadzan atau Fadhl bin Syadzan rahimahullah (wafat 260 H / 873 M di Naisabur Iran) berkata, “Hati2lah ketamakan ingin mencari kedudukan mulia di sisi Allah, namun di sisi lain masih mencari pujian dari manusia”. Maksud beliau adalah ikhlas tidaklah bisa digabungkan, dgn selalu mengharap pujian manusia dalam beramal.

Ada yg berkata pada Dzun Nuun Abul Faidh Thauban bim Ibrahim al-Mishri atau Imam Dzun Nuun Al Mishri rahimahullah ( 796 – 859 M, Kairo, Mesir). , “Kapan seorang hamba bisa mengetahui dirinya itu ikhlas?” “Jika ia telah mencurahkan segala usahanya untuk melakukan ketaatan dan ia tidak gila pujian manusia”, jawab Dzun Nuun.

Sebab Pujian Bodoh

Coba pula lihat perkataan Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari Asy-Syadzili atau Imam Ibnu ‘Atho’illah rahimahullah (1260 – 1309 M di Kairo, Mesir) dalam kitab hikam-nya. Beliau berkata : “Ketahuilah, bahwa manusia biasa memujimu, karena itulah yg mereka lihat secara lahir darimu. Seharusnya, engkau menjadikan dirimu itu cambuk dari pujian tsb. Karena itu, ingatlah orang yg paling bodoh adalah yg dirinya itu yakin akan pujian manusia padahal ia yakin akan kekurangan dirinya.”

Ikhlas Amalan Hati

Ikhlas, merupakan amalan hati yg perlu mendapatkan perhatian khusus secara mendalam dan dilakukan secara terus-menerus. Baik ketika hendak beramal, sedang beramal, maupun ketika sudah beramal. Hal ini dilakukan agar amalan yg dilakukan bernilai di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala.

Hal ini perlu dilakukan, agar hati kita tertata untuk terus menumbuhkan rasa ikhlas di hati. Sehingga, apabila mendapatkan cacian, makian atau hinaan dari orang lain, kita tidak akan merasa sedih. Begitupun sebaliknya, ketika dipuji, disanjung tidak akan merasa gembira Karena pada hakikatnya, kita melakukan itu hanyalah untuk Allah subhanahu wa ta’ala.

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memberikan peringatan kepada mereka yg tidak ikhlas, dalam hadits yg diriwayatkan oleh Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu (619 M, Mekkah – 687 M, Tha’if)

مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللهُ بِهِ وَمَنْ رَاءَى رَاءَى اللهُ بِهِ 

“Barangsiapa yg melakukan perbuatan sum’ah (ingin didengar oleh orang lain), niscaya Allah akan menyebarkan aibnya, dan barangsiapa melakukan perbuatan riya’, niscaya Allah akan menyebarkan aibnya”.(HR. Imam Muslim rahimahullah, wafat 5 Mei 875 M, Naisabur, Iran)

Faktor Memuji dan Pujian

Ingatlah bahwa, faktor yg mendorong seorang manusia memuji orang lain, adalah karena mereka melihat kebaikan dan keistimewaan yg ada pada diri orang yg dipuji. Namun adanya pujian, tidaklah menunjukkan bahwa seseorang yg dipuji memang benar2 berhak atas pujian itu.

Semua orang, tanpa kecuali, hampir pernah mendapat pujian. Dalam posisi ini, malah manusia sering mudah terkecoh, bahwa sebenarnya pujian tsb juga milik Allah subhanahu wa ta’ala. Seperti dikatakan pada kita “Kamu memang anak cerdas.” Sepintas, dgn logika yg sederhana, pujian tsb adalah teruntuk kita. Tapi tidakkah kita sadari, siapakah yg menciptakan diri kita? Siapa pula yg meletakkan kecerdasan pada diri kita? Inilah yg disebut dgn pujian semu, karena pada dasarnya pujian tsb, mutlak milik Allah Sang Maha Pencipta.

Pujian Itu Ujian

Hakikat pujian adalah ujian, karena fitnah (ujian) itu bisa berupa ujian kebaikan maupun keburukan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

ﻭَﻧَﺒْﻠُﻮﻛُﻢ ﺑِﺎﻟﺸَّﺮِّ ﻭَﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻓِﺘْﻨَﺔً ﻭَﺇِﻟَﻴْﻨَﺎ ﺗُﺮْﺟَﻌُﻮﻥَ

“Kami akan menguji kamu dgn keburukan dan kebaikan sbg cobaan (yg sebenar2nya), dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan” (QS. Al-Anbiya’: 35).

Pujian adalah ujian berupa kebaikan, karena ketika kita dipuji, bisa jadi kita akan merasa sombong dan merasa takjub pada diri sendiri, bahkan kita lupa bahwa semua nikmat ini adalah dari Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian kita merasa hebat dan sombong, serta lupa bersyukur kepada-Nya. Akhirnya, muncul rasa kekaguman terhadap diri sendiri, padahal itu merupakan suatu sifat yg bisa membinasakan, secara jangka pendek maupun jangka panjang.

Pujian Itu Kebinasaan

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

ﺛَﻠَﺎﺙٌ ﻣُﻬْﻠِﻜَﺎﺕٌ : ﺷُﺢٌّ ﻣُﻄَﺎﻉٌ ﻭَﻫَﻮًﻯ ﻣُﺘَّﺒَﻊٌ ﻭَﺇِﻋْﺠَﺎﺏُ ﺍﻟْﻤَﺮْﺀِ ﺑِﻨَﻔْﺴِﻪِ

“Tiga hal yg membawa pada jurang kebinasaan: (1) tamak lagi kikir, (2) mengikuti hawa nafsu (yg selalu mengajak pada kejelekan) dan (3) ujub (takjub pada diri sendiri).” (HR. Imam Abdurrazaq Ash-Shan’ani atau Abu Bakar Abdurrazzaq bin Hammam bin Nafi’ al-Humairi al-Yamani Ash-Shan’ani rahimahullah, 744 – 827 M).

Tiga Perkara

Lebih detail, dalam kitabnya yg berjudul “Nashaih al-‘Ibâd syarah al-Manbahatu ‘ala al-Isti’dad li yaum al-Mi’ad”, Syekh Nawawi Al-Bantani rahimahullah (1813 M Tanara – 1897 M di Jannatul Mualla Mekkah), menjelaskan, riwayat dari Sahabat Abu Hurairah (Abdurrahman ibn Shakhr Al-Azdi) Radhiyallahu Anhu (603 – 678 M, Jannatul Baqi’  Madinah) berkata bahwa Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam bersabda : 

عَنْ عبد الله بْنِ عُمَرَ رضي الله -عنهما- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: “ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ، وَثَلَاثٌ مُنَجِّيَاتٍ، وَثَلَاثٌ كَفَّارَاتٌ، وَثَلَاثٌ دَرَجَاتٌ، فَأَمَّا الْمُهْلِكَاتُ: فَشُحٌّ مُطَاعٌ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ، وَأَمَّا الْمُنَجِّيَاتُ: فَالْعَدْلُ فِي الرِّضَى وَالْغَضَبِ، وَالْقَصْدُ فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى، وَخَشْيَةُ اللَّهِ فِي السِّرِّ وَالْعَلَانِيَةِ، وَأَمَّا الْكَفَّارَاتُ: فَانْتِظَارُ الصَلَاةِ بَعْدَ الصَلَاةِ، وَإِسْبَاغُ الْوُضُوءِ فِي السَّبَرَاتِ، وَنَقْلُ الْأَقْدَامِ إِلَى الْجَمَاعَاتِ، وَأَمَّا الدَّرَجَاتُ: فَإِطْعَامُ الطَّعَامِ، وَإِفْشَاءُ السَّلامِ، وَالصَلَاةُ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ”

“Ada tiga perkata yg menyelamatkan (penyelamat manusia dari siksa Allah), ada tiga perkara yg dapat membinasakan (mengantarkan manusia pada kebinasaan), ada tiga perkara yg dapat meninggikan derajat (derajat manusia di akhirat), dan ada tiga perkara yg dapat menghapus dosa. Tiga hal yg dapat menyelamatkan manusia dari siksa Allah itu yg pertama adalah takut kepada Allah, baik ketika berada di tempat sepi maupun ketika berada di tempat ramai. 

Menurut Syekh Nawawi, takwa kepada Allah di tempat sepi adalah paling tingginya derajat. Kedua, berpola hidup hemat dan sederhana, baik saat tidak berkecukupan maupun saat berkecukupan. Artinya, menurut Syekh Nawawi, sederhana dalam hidup dgn tidak berfoya2 dan ridha dgn hal itu. Sedangkan perkara yg ketiga, selalu berlaku adi, baik saat rela maupun di saat marah. Arti dari marah dan rela tsb, menurut Syekh Nawawi, bersikap marah kepada hal yg dimurkai Allah dan bersikap rela dgn apa yg diridhai Allah. 

Sementara itu, tiga hal yg dapat membinasakan adalah sangat kikir, senantiasa menuruti hawa nafsunya, dan membanggakan diri sendiri. Kemudian, tiga hal yg dapat meninggikan derajat manusia di akhirat, yaitu membudayakan ucapan salam, suka memberikan makanan kepada tamu dan orang yg lapar, dan sholat malam.

Adapun tiga hal yg dapat menghapus dosa, yg pertama adalah menyempurnakan wudhu di pagi hari yg dingin. Kedua, melangkahkan kaki untuk melaksanakan sholat berjamaah. Ketiga, menunggu tibanya waktu sholat yg kedua usai mengerjakan sholat yg pertama, sehingga ada hubungan emosial juga dgn masjid.

Pujian Itu Menipu dan dusta

Imam Abu Muhammad Al-Hilali Al-Kufi Al-Makki Sufyan bin Uyainah rahimahullah (wafat 25 Februari 815 M, Mekkah) berkata : 

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ : ﻻ ﻳَﻐُﺮُّ ﺍﻟﻤَﺪﺡُ ﻣَﻦ ﻋَﺮَﻑَ ﻧﻔﺴَﻪُ

“Para ulama mengatakan, bahwa pujian orang tidak akan menipu orang yg tahu diri (tahu bahwa ia tidak sebaik itu dan banyak aib serta dosa). Termaktub dalam kitab Hilyatul Auliya’ wa thabaqatul ashfiya’, 7/332, karya Ahmad ibn `Abdullah ibn Ahmad ibn Ishaq ibn Musa ibn Mahran al-Mihrani al-Asbahani al-Ahwal al-Asy’ari asy- Syafi’i atau Imam Abu Nuaim Al-Isfahani rahimahullah (947 – 1038 M Isfahan, Iran).

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا

“Janganlah sekali2 kamu menyangka,” wahai Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang2 yg beriman, “bahwa orang2 yg gembira dgn apa yg telah mereka kerjakan”. (QS. Ali Imran : 188).

Terkait penggalan ayat ini, Imaduddin Abul Fida Al-Hafidh Al-Muhaddits Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri Ad-Dimasyqi Asy-Syafi’i atau Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah (wafat 18 Februari 1373 M di Damaskus, Suriah), dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-Adzim atau Tafsir Ibnu Katsir (II/181) juga menafsirkan, ayat ini ditujukan kepada orang2 yg suka pamer  dan merasa banyak memberi padahal tidak banyak memberi. Ini sesuai dgn hadits yg diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim rahimahumallah, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

مَنِ ادَّعَى دَعْوى كَاذِبَةً لِيتَكَثَّر بِهَا لَمْ يَزِدْه اللَّهُ إِلَّا قِلَّة

“Barang siapa mengaku pengakuan dusta untuk memperoleh banyak penilaian lebih yg tidak ada pada dirinya, maka Allah tidak menambah baginya kecuali kekurangan.”

Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam, juga memerintahkan kita untuk menjauhi ketenaran dan pujian2, karena pujian itu fitnah. Beliau bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ

“Jauhilah sifat suka dipuji, karena dgn dipuji2 itu seakan2 engkau disembelih.” (HR. Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi atau Ahmad bin Muhammad bin Hanbal dikenal juga sbg Imam Hambali atau Imam Ahmad Bin Hambal atau Imam Ahmad rahimahullah, wafat  2 Agustus 855 M, Bagdad, Irak)

Ulama tabi’in senior murid Sahabat Anas bin Malik, Abu Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah (66 – 131 H / 685 – 748 M) mengatakan: “Seorang hamba sama sekali tidaklah jujur jika keinginannya hanya ingin mencari ketenaran.” (Ta’thiru al-Anfas min Haditsil Ikhlas hlm 27, karya Sayyid bin Husain Al ‘Afaniy)

Dari al-Husain bin al-Hasan al-Marwazi rahimahullah (wafat 1052 M) diriwayatkan bahwa ia berkata: “Abdullah ibnu Mubarok rahimahullah (726 M Turkmenistan – 797 M, Hit, Irak) pernah berkata: “Jadilah orang yg menyukai status khumul (status tersembunyi dan tidak dikenal) dan membenci popularitas. Namun, jangan engkau tampakkan bahwa engkau menyukai status rendah itu, sehingga menjadi tinggi hati. Sesungguhnya, mengklaim diri sendiri sbg orang zuhud, justru mengeluarkan dirimu dari kezuhudan karena cara itu, kamu telah menarik pujian dan sanjungan untuk dirimu.” (Shifatu ash-Shafwah, 2/325)

Penyakit Karena Pujian

Lantas, penyakit apa saja yg ditimbulkan dari bahaya pujian ini ? Menurut Al-Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i atau Imam Ghazali rahimahullah  (18 Desember 1111 M Thus, Iran) pujian itu bisa mendatangkan enam penyakit yaitu : empat kepada pemujinya, dan dua kepada yg dipuji.

1. Bahaya bagi yg memberi pujian

– Orang yg memberi pujian cenderung berlebihan dalam memuji, hingga berbohong. Apalagi jika ada maunya.

– Sering terjadi, orang yg memuji tidak tahu betul tentang orang2 yg dipujinya sehingga timbul pujian pujian semu.

– Orang yg memuji, belum tentu menyenangi orang yg dipujinya. Dia hanya menunjukkan senang sesaat dan ada maksud atau harapan tertentu. Akibatnya bisa jatuh pada kemunafikan.

– Bisa jadi yg dipuji itu sebenarnya adalah orang zalim atau orang fasik dan ini dilarang. Sebab, jika orang zhalim atau orang fasik dipuji, maka yg memuji telah ikut mendorongnya untuk meneruskan kezhaliman dan kefasikannya.

2. Bahaya bagi yg menerima pujian

– Bisa mendatangkan ujub dan sombong bagi yg dipuji.

Ujub dan sombong adalah dua penyakit hati yg berbahaya. Salah satu pemicu penyakit ujub dan sombong ini salah satunya, pujian yg tidak disikapi secara baik. Seseorang yg memiliki dua jenis penyakit ini, maka pada gilirannya akan sulit menerima kebenaran, dan akhirnya meremehkan orang lain.

– Bisa menimbulkan sikap lemah.

Seseorang yg dipuji, umumnya akan berbesar hati dan merasa sudah lebih dari orang lain. Akibatnya, bisa melemahkan semangatnya untuk memperbaiki diri. Padahal, yg dipujikan kepadanya belum tentu benar semua.

Karena itu, ketika kita dipuji atau mendapat pujian, hendaknya langsung berdoa. Seperti yg selalu dilakukan Sayyidina Amirul Mukminin Abu Bakar Ash-Shidiq (Abdullah bin Abu Quhafah) radhiyallahu ‘anhu (27 Oktober 573 M, Mekkah – 23 Agustus 634 M, Madinah), tatkala beliau dipuji oleh orang lain. Doa yg selalu dipanjatkan Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, diriwayatkan oleh Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari Asy-Syafi’i atau Imam Bukhari rahimahullah (20 Juli 810 M – 1 September 870 M, Uzbekistan) dalam kitab Al-Adabul Mufrad : 

اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ

Allahumma anta a’lamu minni bi nafsiy, wa anaa a’lamu bi nafsii minhum. Allahummaj ‘alniy khoirom mimmaa yazhunnuun, wagh-firliy maa laa ya’lamuun, wa laa tu-akhidzniy bimaa yaquuluun.

“Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yg memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yg mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yg mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka”. (Diriwayatkan juga oleh Abubakar Ahmad bin Husain bin Ali bin Abdullah al-Baihaqi Asy-Syafi’i atau Imam Al Baihaqi rahimahullah dalam kitab Syu’abul Iman, 994 – 1066 M Naisabur, Iran).

Penutup

Jadi, jika kita sedang melakukan suatu amalan maka hendaklah kita tidak bercita2 ingin mendapatkan pujian makhluk. Cukuplah Allah subhanahu wa ta’ala saja yg memuji amalan kebajikan kita. Dan seharusnya yg dicari adalah ridho Allah subhanahu wa ta’ala, bukan sandaran, komentar dan pujian manusia.

Mengharap ridho Allah, tentu lebih nikmat dari segalanya.

Ya Allah, berilah kami keikhlasan dalam setiap amalan kami.

Semoga bermanfaat

From various sources by Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim Jama’ah Sarinyala Kabupaten Gresik

CHANNEL YOUTUBE SARINYALAhttps://youtube.com/channel/UC5jCIZMsF9utJpRVjXRiFlg

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *