Dengan semangat dzikir kaum thariqah berjuang mengislamkan nusantara dan mempertahankannya dari upaya penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Dan kini, melalui Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah kaum tarekat Indonesia berhimpun untuk memajukan bangsa.
Dalam hal nasionalisme dan pengabdian terhadap tanah air, kaum thariqah memang bisa diacungi jempol. Betapa tidak. Perjalananan panjang sejarah kebangsaan negeri ini telah mencatat dengan tinta emas kiprah kaum thariqah. Tak hanya sibuk mendidik umat dengan dzikir dan keluhuran akhlak, mereka juga berada di barisan terdepan pejuang yang berjibaku mempertahankan tanah air tercinta dari upaya penjajahan bangsa asing. Tak hanya di Indonesia, di berbagai belahan dunia kaum thariqah juga diakui sebagai kelompok yang paling mampu membawa dan menyebarkan nilai-nilai sejati Islam yang tercermin dalam idiom rahmatan lil ‘alamin. Tak mengherankan jika kemudian thariqah atau tarekat berkembang pesat dan menjadi salah satu khazanah umat Islam yang mendunia.
Tengok saja fenomena Thariqah Naqshabandiyyah Haqqaniyyah di Amerika Serikat yang dibawa oleh Syaikh Muhammad Hisham Kabbani Al-Hasani asal Cyprus dan Thariqah Syadziliyyah di Eropa yang perkenalkan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Ya’qubi Al-Hasani asal Damaskus, Suriah. Meski perlahan, pertumbuhan kedua tarekat itu sangat signifikan di berbagai negeri-negeri barat, seiring pertumbuhan jumlah umat Islam di negeri-negeri yang sejak lama telah kehilangan rasa dengan agama nenek moyangnya.
Di Indonesia sendiri aktivitas thariqah telah dikenal sejak awal mula masuknya Islam ke Nusantara. Berbagai riset dan penelitian kesejarahan yang di lakukan oleh para sejarawan, baik lokal maupun mancanegara, membuktikan, para para penganut thariqahlah yang telah membawa agama tauhid ini masuk ke nusantara. Menilik sejarahnya yang panjang, tak mengherankan jika saat ini Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah mengklaim bahwa jumlah pengikut thariqah saat ini berkisar antara 35 -40 jutaan orang.
Rentang waktu yang telah dilalui kaum thariqah yang membentang melintasi puluhan generasi tentu merupakan obyek yang menarik untuk dikaji. Sebab dipastikan, kaum thariqah pasti terlibat dan mempunyai andil besar dalam dinamika pertumbuhan Islam di Nusantara. Berikut sekelumit kisah masuk dan berkembangnya thariqah ke Indonesia, berikut keterlibatannya dalam jatuh bangunnya bangsa ini.
Serat Banten
Islamisasi nusantara secara besar-besaran terjadi pada awal abad 14, bersamaan dengan masa keemasan perkembangan tasawuf akhlaqi yang ditandai dengan munculnya aliran-aliran thariqah di Timur Tengah. Fase itu sendiri telah dimulai sejak Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (wafat 1111 M) merumuskan konsep tasawuf yang moderat yang memadukan keseimbangan unsur akhlaq, syariat, dan filsafat. Konsep itu diterima secara terbuka oleh kaum fuqaha yang sebelumnya menentang habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang kontroversial. Tasawuf falsafi adalah ajaran tasawuf yang mencampur adukan antara konsep tauhid, akhlaq dengan filsafat Yunani. Di antara doktrin kontroversialnya adalah hulul dan ittihad, yakni penyatuan ragawi antara Allah dan makhluk yang juga dikenal sebagai paham wahdatul wujud.
Karena bertentangan dengan doktrin umum syariat, pertumbuhan tasawuf falsafi sangat berdarah-darah. Aksi-aksi kontroversial para sufi falsafi kontan menyulut kemarahan jumhur ulama dan penguasa masa itu. Beberapa tokohnya, seperti Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Busthami, kemudian dibawa ke meja hijau dan dihukum mati.
Setelah Al-Ghazali sukses dengan konsep tasawuf moderatnya yang dianggap selaras dengan syariat, berturut-turut muncul tokoh-tokoh sufi yang mendirikan zawiyyah pengajaran tasawuf akhlaqi di berbagai tempat. Sebut saja Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang ajaran tasawufnya menjadi dasar Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika Utara; Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah Rifa’iyyah. Selain itu, awal abad keempat belas juga menjadi fase pertumbuhan Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) dan Thariqah Syathariyyah yang didirikan Syaikh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Kedua thariqah tersebut belakangan menjadi yang thariqah besar yang memiliki banyak pengikut di tanah air.
Para sejarawan barat meyakini, sebagaimana dikuti Martin Van Bruinessen dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para wali.
Salah satu referensi keterkaitan para wali dengan dunia thariqah adalah Serat Banten Rante-rante, sejarah Banten kuno. Dalam karya sastra yang ditulis di awal berdirinya kesultanan Banten itu disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syaikh Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan Asy-Syadzili. Dari kedua tokoh berlainan masa itu sang sunan konon memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah.
Untuk menguatkan cerita tersebut, Serat Banten Rante-rante juga mencantumkan 27 tokoh ulama yang pada masa yang sama juga belajar kepada Syaikh Najmuddin Kubra, dan belakangan menjadi tokoh penyebar Thariqah Kubrawiyyah ke seluruh dunia. Mereka antara lain Syaikh Jamaluddin Muhammad Al-Khalwati, Qadhi Zakariyya Al-Anshari dan Syaikh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani. Terlepas dari kebenaran fakta cerita dalam Serat Banten Rante-rante, pendiri Kesultanan Cirebon itu diyakini sebagai orang pertama yang membawa Thariqah Kubrawiyyah ke tanah Jawa.
Faham Wahdatul Wujud Thariqah lain yang masuk nusantara pada periode awal adalah Thariqah Qadiriyyah, Syaththariyyah dan Rifa’iyyah. Ketiga thariqah tersebut masuk ke Sumatra sepanjang abad 16 dan 17 secara susul menyusul. Thariqah yang pertama kali masuk adalah Qadiriyyah yang dibawa oleh Hamzah Fansuri, sastrawan sufi kontroversial dari Aceh. Meski meninggalkan banyak karya tulis, namun sang sufi yang sempat berkelana ke negeri-negeri di Asia Selatan dan Tenggara itu diyakini tidak menyebarkan thariqahnya kepada khalayak umat Islam. Jejaknya hanya diikuti oleh murid utamanya, Syamsudin As-Sumatrani, yang belakangan justru menyebarkan Thariqah Syaththariyyah. Ijazah kemursidan Syaththariyyahnya diperoleh dari sufi asal Gujarat, Syaikh Muhammad bin Fadhlullah Burhanpuri.
Meski berbeda thariqah, guru dan murid itu mempunyai kesamaan kecenderungan, yakni mengajarkan paham wahdatul wujud. Ajaran itulah yang kemudian memicu konflik tajam dengan sufi lain yang menjadi mufti kerajaan Aceh, yakni Syaikh Nuruddin Ar-Raniri. Usaha kelompok Ar-Raniri dalam memerangi ajaran panteisme ala Syamsudin itu tak main-main. Selain pembakaran kitab pegangan dan zawiyyah-zawiyyahnya, Ar-Raniri juga berhasil meyakinkan pemerintah untuk menghukum bakar Syamsudin beserta para pengikutnya.
Sepeninggal Ar-Raniri, jejaknya diteruskan oleh Syaikh Abdul Rauf As-Singkili asal Singkel, Aceh. Ulama muda yang pernah belajar di Tanah Suci selama sembilan belas tahun itu membawa Thariqah Syaththariyyah yang lebih bercorak akhlaqi. Ijazah kemursyidan Syaikh Abdul Rauf Singkel diperoleh dari dua sufi besar Madinah, Syaikh Ahmad Al-Qusyasyi (wafat 1660M) dan Syaikh Ibrahim Al-Kurani (wafat 1691). Setelah mendengar konflik antara pengikut Syaththariyyah ala Syamsudin yang kontroversial dan Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, Abdul Rauf diutus gurunya untuk kembali ke Aceh guna menyebarkan thariqah Syaththariyyah yang benar. Kedatangannya diterima dengan tangan terbuka oleh kerajaan. Bahkan ia lalu diangkat menjadi salah satu mufti kerajaan.
Tokoh lain yang hidup semasa dengan Syaikh Abdul Rauf Singkel dan pernah juga berguru kepada Syaikh Ibrahim Al-Kurani serta ulama sufi lainnya di Timur Tengah adalah Syaikh Yusuf Al-Makassari, ulama pejuang asal Sulawesi Selatan. Setelah mengembara hingga ke Damaskus, Syaikh Yusuf pulang ke Nusantara dengan mengantongi ijazah kemursyidan Thariqah Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, Syaththariyyah, Ba’alawiyyah dan Khalwatiyyah.
Di Makassar, Syaikh Yusuf lalu mengajarkan Thariqah Khalwatiyyah yang dipadu dengan beberapa ritual thariqah lain yang dikuasainya, dan dikenal kemudian dengan nama Khalwatiyyah Yusufiyyah. Pengikut thariqah ini juga dikenal sangat militan. Beberapa kali mereka terlibat bentrokan dengan penjajah dan ditangkapi. Syaikh Yusuf sendiri kemudian hijrah ke kesultanan Banten, ikut membantu perjuangan rakyat Banten sambil terus mengajarkan thariqah Khalwatiyyahnya.
Karena simpati dengan ketulusan perjuangan Syaikh Yusuf, ulama itu kemudian diangkat menantu Sultan Ageng Tirtayasa. Sepeninggal Sultan Ageng yang gugur di penjara kompeni Belanda, Syaikh Yusuf meneruskan perjuangan sang mertua. Ia membangun basis pertahanan di sekitar Tangerang.
No responses yet