Sampai hari ini saya masih menemukan ungkapan yang mempertentangkan antara fiqh dan tasawuf. Ada pula yang tidak mempertentangkannya, tapi sayangnya meletakkan fiqh di sini dan tasawuf di sana. Secara umum keduanya sama saja. Mereka biasanya menganggap fiqh itu syariat semata. Sedangkan tasawuf itu makrifat belaka. Fiqh itu kering. Tasawuf itu basah. Fiqh itu kulit. Tasawuf itu isi. Fiqh itu luar. Tasawuf itu dalam. Nalar pisah-cerai ini tergambar di sana. Tidak jarang para pengamal fiqh semata akan menjelekkan atau memandang rendah pengamal tasawuf belaka. Sebaliknya, pengamal tasawuf belaka dengan mudah akan merendahkan pengamal fiqh semata. Masing-masing saling merendahkan.

Padahal, fiqh atau katakanlah “syariat” itu ya tasawuf atau “makrifat”. Kulit sekaligus isi. Isi sekaligus kulit. Nyata sekaligus gaib. Gaib sekaligus nyata. Fiqh atau teknis pelaksanaan sholat itu sekaligus teknis pelaksanaan makrifat sholat. Begitu seterusnya sampai teknis pelaksanaan zakat, teknis pelaksanaan haji, teknis pelaksanaan puasa, dan teknis pelaksanaan adab-tatakrama harian. Semuanya memuat fiqh sekaligus tasawuf. Sebuah kitab terbaik untuk menjelaskan kemanunggalan ini bisa ditelisik dari “Al-Mizan Al-Kubra” karya wali quthb pada masanya, Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani atau juga dikenal dengan nama Imam Sya’rani.

Di kitab itu, beliau menegaskan bahwa semua imam mazhab; Syafii, Malik, Ahmad, Abu Hanifah, adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah (‘ala hudan min rabbihim). Semua pendapat mereka benar adanya sekalipun sering dilihat bertentangan satu-lainnya. Dalam penglihatan kasyf Syekh Abdul Wahhab, empat mazhab itu adalah sungai berbeda yang mengalir ke satu samudera. Artinya, lanjut Syekh, empat mazhab itu sudah wushul atau sampai kepada Allah (al-Haq) dan menyampaikan siapa saja yang mengamalkannya kepada Allah.

Mengamalkan Islam berdasarkan petunjuk teknis mazhab syafii dan mazhab lainnya sama halnya dengan mengamalkan hakikat. Berfiqh berarti bertasawuf. Semua petunjuk teknis peribadatan dalam kitab-kitab fiqh, dengan demikian, tidak boleh disepelekan. Apalagi dianggap sebagai kitab kering. Mengamalkan fiqh adalah mengamalkan tarekat, hakikat, makrifat sekaligus. Fiqh itu syariat sekaligus tarekat sekaligus hakikat sekaligus makrifat. Mengerjakan tata-tertib wudhu menurut mazhab maliki adalah juga mengamalkan hakikat wudhu dan terlebih lagi hakikat kehambaan. Sebagaimana ditegaskan oleh Imam Sya’rani, semua amal yang didasarkan pada berbagai mazhab fiqh itu sampai kepada Allah. Tiga kali lagi: sampai kepada Allah, sampai kepada Allah, sampai kepada Allah.

Wallahu a’lam.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *