Oleh karena agungnya kedudukan dan keutamaan ilmu yg bermanfaat, maka tentu untuk mendapatkannya, seseorang harus mengikuti adab2 menuntut ilmu dan syarat2nya, sebagaimana yg telah dijelaskan oleh para Ulama salaf dan kholaf dalam kitab2 mereka yg menjelaskan adab2 tsb. Di antara adab dan syarat yg paling penting yaitu mengetahui sumber pengambilan ilmu yg benar dan memahami, siapa yg pantas dijadikan sbg rujukan dan guru dalam menimba ilmu agama.
Inilah metode para Ulama Salaf dahulu, dalam menuntut ilmu dan memilih guru ilmu agama yg benar, guna meraih ilmu yg bermanfaat dan mewariskan amal shalih yg berkelanjutan. Tentu saja, metode inilah yg seharusnya kita ikuti dalam semua perkara agama kita, apalagi dalam urusan menuntut ilmu agama yg merupakan sebab utama limpahan taufik dari Allah Subhanahu wa ta’ala untuk kebaikan hamba-Nya.
Dalam kitab Risalah Ahlusunnah wal Jama’ah, Hadratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari rahimahullah (14 Februari 1871 – 25 Juli 1947 M), menyampaikan keharusan untuk berhati2 dalam mengambil ilmu (agama). Tidak boleh mengambilnya dari orang yg bukan ahlinya.
Imam Abubakar Muhammad bin Sirin al-Bashri atau Imam Ibnu Sirin rahimahullah (tabi’in senior 653 – 729 M, Basra, Irak) menceritakan:
هذَا اْلعِلْمُ دِيْنٌ, فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
“Ilmu (hadis) ini adalah agama. Jadi, telitilah dari siapa kamu mengambil agamamu.”
Imam Al Hafidh Abu Syuja Syirawaih bin Syahradar Addailami Al Hamdzani rahimahullah atau Imam Ad Dailami rahimahullah (445 – 509 H / 1053 – 1115 M), meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma secara marfu’ yg menyatakan:
اْلعِلْمُ دِيْـنٌ , وَالصَّلاَةُ دِيْـنٌ , فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ هذَا اْلعِلْمَ , وكَيْفَ تُصَلُّوْنَ هذِهِ فَإِنَّكُمْ تُسْأَلُوْنَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ , فَلاَ تَرووهُ اِلاَّ عَمَّنْ تَحَقَّقَتْ أَهْلِيَّــتَهُ بِأْنْ يَكُوْنَ مِنَ اْلعُدُوْلِ الثِّقَــاتِ الْمُتَّقِيْنَ
“Ilmu adalah agama. Dan shalat adalah agama. Jadi, telitilah dari siapa kamu mengambil ilmu ini. Dan bagaimana kamu menunaikan shalat ini, karena kamu akan ditanya pada Hari Kiamat. Jadi, jangan meriwayatkannya selain dari orang yg telah teruji keahliannya sbg orang yg adil, terpercaya dan mumpuni.”
Dalam kitab Shahih Muslim juga disebutkan, bahwa Abu Hurairah (Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi) Radhiyallahu Anhu (603 – 678 M Jannatul Baqi, Madinah), menyatakan bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
يَكُونُ فِى آخِرِ الزَّمَانِ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ يَأْتُونَكُمْ مِنَ الأَحَادِيثِ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ لاَ يُضِلُّونَكُمْ وَلاَ يَفْتِنُونَكُمْ.
“Pada akhir zaman kelak akan ada dajjal2 pendusta yg datang kepada kalian dgn membawa hadits2 yg belum pernah kalian dengar sendiri dan belum pernah didengar oleh bapak2 kalian. Maka waspadalah kalian terhadap mereka. Jangan sampai mereka menyesatkan dan menimpakan fitnah kepada kalian.”
Masih dalam kitab yg sama juga disebutkan bahwa Amr bin Ash bin Wa’il bin Hisyam Radhiyallahu Anhu (14 Februari 585 M, Mekkah – 6 Januari 664 M, Fustat, Mesir) berkata, “Sesungguhnya di dalam lautan terdapat setan2 yg terpenjara. Mereka diikat oleh Nabi Sulaiman bin Daud alaihis salam. Tidak lama lagi setan2 itu akan keluar lalu membaca Al Qur’an di depan manusia.”
Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi Asy-Syafi’i atau Imam An Nawawi rahimahullah (1233 – 1277 M Nawa Suriah) berkata, “Maksudnya mereka membaca sesuatu yg bukan Al Qur’an tetapi mereka mengatakan bahwa itu adalah Al Qur’an untuk memperdaya orang2 awam.”
Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi atau Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah (780 – 855 M, Bagdad, Irak) meriwayatkan sebuah hadis dari Sayyidina Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu (wafat 3 November 644 M /26 Dzulhijjah 23 H) yg menyatakan:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِى كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيمُ اللِّسَانِ
“Sesungguhnya yg paling aku khawatirkan terhadap umatku adalah setiap orang munafik yg pintar berbicara.”
Syaikh Muhammad ‘Abdurra’uf ibn Tajul Arifin ibn’ Ali ibn Zainul Abidin al-Haddi al-Manawi al-Qahiriy al-Mishriy as-Syafii atau Imam Al Munawi rahimahullah (wafat hari Kamis tanggal 23 Shafar tahun 1031 H / 5 Januari 1622 M Kairo Mesir) mengatakan, “Maksudnya hadits diatas adalah orang yg memiliki banyak ilmu retorika, tetapi tidak memiliki ilmu tentang masalah hati dan sedikit beramal. Dia menjadikan ilmunya sbg profesi untuk mencari makan dan sbg kebanggaan untuk mengangkat status sosialnya. Dia mengajak orang lain ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi dia sendiri malah menjauh.” (Kitab Faidhul Qadir Syarah Al-Jamius Shaghir)
Orang yg tidak dikenal dan diketahui keadaannya, menurut kebanyakan para Ulama salaf, tidak pantas untuk dijadikan sbg guru ilmu agama, meskipun tidak terlihat padanya keburukan dan penyimpangan, sebagaimana dalam penjelasan diatas, bahwa para Ulama salaf menolak mengambil ilmu dari orang2 yg meskipun shalih dan rajin beribadah, jika mereka tidak memiliki kedalaman dan penguasaan terhadap ilmu agama, sehingga tidak pantas dijadikan sbg guru.
Kalau orang yg telah jelas keshalihan, ketekunan beribadah dan kejujurannya saja, tidak bisa dijadikan sbg guru, jika tidak memenuhi kriteria tsb di atas, apalagi orang yg tidak dikenal keadaannya, maka tentu lebih tidak pantas untuk dijadikan sebagai guru agama.
Terakhir, kami berdo’a dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dgn nama2-Nya yg maha indah dan agung, serta sifat2Nya yg maha tinggi dan sempurna agar Dia menganugrahkan kepada kita semua taufik-Nya untuk meraih ilmu yg bermanfaat dan mewariskan amal shalih, serta menjadikan kita semua tetap istiqamah di jalan-Nya yg lurus sampai kita menghadap-Nya nanti, Aamiin.
Semoga bermanfaat
Variety of sources by Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim JAMA’AH SARINYALA
No responses yet