Imam Ghozali dawuh, sabar adalah maqom khusus bagi manusia. Malaikat dengan sifat mulianya tidak disebut sabar. Sedangkan hewan dengan sifat kebinatangannya juga tidak bisa disebut sabar. Karena malaikat dan hewan tidak dibekali akal dan nafsu sekaligus layaknya manusia. Maka, yang disebut sabar adalah keseimbangan antara akal dan nafsu.
Imam Ghozali dawuh tentang hakikat sabar.
ثبات باعث الدين في مقابلة باعث الهوى
“Sabar hakikatnya adalah tegak dan seimbangnya agama seseorang (secara akal, adab dan keilmuannya) dalam menghadapi gejolak hawa”
Orang sabar itu bukan orang yang wiridan terus sehari semalam. Bukan pula orang yang cuma nuruti nafsu arogan. Orang sabar itu mengambil unsur dari kedua hal itu, melampahi keinginan sambil menjaga nafsunya sehingga bisa bertindak benar secara syariat.
Jadi yang namanya sabar itu tengah-tengah antara tidak bertindak apa-apa dan bertindak grusa-grusu. Sabar itu bukan tidak bertindak sama sekali, juga bukan bertindak yang melanggar hukum. Orang sabar itu tindakannya bisa dipertanggung jawabkan berdasar ilmu, akal dan adab yang sehat secara syariat, sehingga gak ngawur.
Sabar itu seperti cerita keta’dziman Mbah Yai Usman al Ishaqi kepada gurunya, Mbah Yai Romly Tamim Rejoso.
Mbah Yai Usman sejak menjadi santri, sudah terkenal keta’dzimannya kepada gurunya Kyai Romly. Sangking tawadhu’nya dan ta’dzimnya, setiap Mbah Yai Usman sowan ke Mbah Yai Romly di Jombang, Mbah Yai Usman jalan kaki dari ndalemnya di Surabaya ke Jombang dengan sabar. Semua dilakukan Mbah Yai Usman demi diakui santri oleh Mbah Yai Romly.
Ada pula cerita Mbah Yai Hasan Mangli Magelang yang tiap sowan Mbah Yai Arwani, sampai di depan ndalem Mbah Yai Arwani, Mbah Mangli tiba-tiba bersimpuh sambil berjalan perlahan-lahan atau “ngesot” dalam bahasa Jawa. Semua dilakukan Mbah Mangli dengan sabar demi diakui santri oleh Mbah Arwani.
Jadi orang sabar itu bukannya mengalah pada keadaan tapi juga bukan protes pada keadaan. Sabar itu proses mengatasi sesuatu dengan pertimbangan ilmu, akal dan adab yang tegak sehingga menghasilkan akhlaq mulia.
Misal seorang pendagang sayur mendapati dagangannya dicuri oleh seseorang. Maka dengan kesabarannya, dia tidak main hakim sendiri, walaupun bawaannya udah mangkel banget. Dia pilih amati pelakunya, setelah tahu pelakunya, dia ajak ngomong baik-baik. Kalau Tidak bisa diajak ngomong, maka baru dilaporkan ke polisi. Maka pedagang sayur itu bisa dibilang sabar.
Jadi bener dawuh Gus Dur, sabar itu tidak ada batasnya, kalau ada batasnya, berarti tidak sabar. Karena yang namanya sabar itu pasti menempuh semua jalan yang diizinkan oleh hukum dengan timing dan pertimbangan tepat. Bukannya pasrah atau berbuat ngawur.
Ada anekdotnya.
Sarip satu hari ditanya anaknya “Ayah, kenapa rambut ayah ada yang putih?”
“Itu namanya uban nak,” jawab Sarip.
“Kenapa ayah ada uban?”
“Karena kamu!”
“Kenapa emang aku, Yah?”
“Setiap kali kamu nakal, ayah berusaha sabar, akibatnya uban ayah tumbuh satu,”
“Ooh…Begitu!”
“Kalau kamu sayang ayah, jangan nakal yaa!”
“Iya ayah, sekarang aku paham,”
“Paham apa?”
“Aku jadi paham kenapa rambut Kakek putih semua,”
“Wooo.. Ndlogok… cah ndugal…!!!”
Gusti Allah dawuh
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka, pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka mau bersabar. Dan mereka adalah orang yang sangat meyakini keagungan ayat-ayat Kami.” (As Sajadah 24)
Artinya, andaikan orang itu bisa sabar dan sangat meyakini keagungan ayat Gusti Allah, maka Gusti Allah pasti menjadikan mereka panutan dan dibimbing langsung oleh Gusti Allah lewat hidayah ilmu. Maka orang dituntut kudu bisa bersabar, teliti dan berhati-hati dengan ayat Gusti Allah, agar orang itu diberi hidayah dan perkataannya tidak menyesatkan orang lain.
Orang sabar itu cirinya tidak akan bertindak gegabah dan tidak akan berbicara hal yg tidak dia pahami, apalagi tentang kalam Gusti Allah. Orang sabar itu sebelum bertindak, selalu mengukur kapasitas dirinya. Andai kapasitas keilmuannya kurang, dia mundur dulu dan berhenti. Lalu dengan sabar, berusaha mencari petunjuk untuk kemudian maju lagi.
Alhamdulillah, kami dianugerahi guru-guru yg bisa jadi teladan kesabaran dan tawadhu’ terhadap ayat Gusti Allah. Ketika di tengah pengajian kok ada keterangan di kitab yg belum mereka temukan penjelasannya yg pas, mereka berhenti sejenak. Lalu dengan sabar meminta petunjuk Gusti Allah dengan bertawassul mengirim pahala surat Al Faatihah pada penulis kitab. Seketika lancar lagi ngajinya.
Hal itu karena mereka yakin dengan firman Gusti Allah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan sholat (doa) sebagai penolongmu, sesungguhnya Gusti Allah beserta orang-orang yang sabar” (Al Baqoroh 153)
Andai belum dapat ilham juga, mereka menyudahi pengajian hari itu dan berkata terus terang kalo beliau belum mendapat penjelasan yang pas. Lalu dengan sabar, di kamar, mereka belajar lagi mencari keterangan di kitab lain yang mungkin bisa menjadi penjelasan yang pas.
Mereka lakukan itu semua tanpa ada rasa gengsi di depan santri-santrinya karena sadar amanah keagungan ilmu Gusti Allah yang mereka ajarkan. Kalau sembarangan bicara, mereka takut jadi penyebab jatuhnya keagungan ayat Gusti Allah tersebut dan menyesatkan orang lain. Walau kenyataannya mereka tiap hari sudah bergaul dengan ilmu sejak lama.
Jadilah hari-hari mereka disibukkan dengan ilmu dan mengamalkan ilmu dalam rangka meninggikan asma Gusti Allah. Kesabaran pun jadi mahkota mereka. Bukan tipe orang yang sibuk pamer ilmunya yang sedikit, tapi malah jadi pamer kebodohan.
Perilaku guru-guru kami itu mengingatkan kami dengan cerita Imam Malik yang di satu pengajiannya di depan banyak santrinya, didatangi seseorang untuk bertanya masalah-masalahnya. Dari beberapa masalah yang diajukan, hanya sedikit yang bisa dijawab oleh Imam Malik. Sebagian besar dijawab oleh Imam Malik dengan perkataan “Aku tidak tahu jawabannya”. Imam Malik yang ulama top sekalipun tidak gengsi dawuh “Tidak tahu” di depan banyak orang. Inilah perilaku ulama yang sebenarnya.
Mengetahui kapasitas diri, berhati-hati dan suka bersabar, itulah bedanya ulama dan orang awam yang tidak sadar keawamannya. Kalo ada orang awam yang tidak sadar kapasitas lalu kemlinthi bicara kalam Gusti Allah tanpa pedoman apapun, mesthi ngawurnya dan pasti merendahkan kalam Gusti Allah itu sendiri. Udah pantas dikatakan padanya “uffin lakum” (Jancok raimu).
No responses yet