Termaktub dalam Al-Qur’an Surah Maryam dinyatakan;

قَالَ أَرَاغِبٌ أَنتَ عَنۡ ءَالِهَتِی یَاإِبۡرَ ٰ⁠هِیمُۖ لَئن لَّمۡ تَنتَهِ لَأَرۡجُمَنَّكَۖ وَٱهۡجُرۡنِی مَلِیࣰّا، قَالَ سَلَامٌ عَلَیۡكَ…..

Dia (ayahnya yg nonmuslim) berkata; “Bencikah engkau kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, pasti engkau akan kurajam, maka tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.”

Dia (Ibrahim) berkata (kpd ayahnya yang nonmuslim), “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu”

Berkenaan dengan perkataan Nabi Ibrahim “Salamun ‘alaika” terdapat pemaknaan yg diriwayatkan oleh Imam Al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an, sebagaimana berikut ini;

Secara Ide

قِيلَ لِابْنِ عُيَيْنَةَ: هَلْ يَجُوزُ السَّلَامُ عَلَى الكافر؟ قال: نعم، قال الله تعالى: ” لَا يَنْهاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ [الممتحنة: ٨].

Amirul mu’minin fil Hadist Imam Sufyan ibn Uyainah pernah ditanya; “Apakah boleh bersalam terhadap orang kafir (non muslim)?” Beliau menjawab; “Iya (boleh)”. Ini termasuk dari pengamalan firman Allah ta’ala (yg maknanya); Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S. Al Mumtahanah: 8)

وَقَالَ النَّخَعِيُّ: إِذَا كَانَتْ لَكَ حَاجَةٌ عِنْدَ يَهُودِيٌّ أَوْ نَصْرَانِيٌّ فَابْدَأْهُ بِالسَّلَامِ ، فَبَانَ بِهَذَا أَنَّ حَدِيثَ أَبِي هُرَيْرَةَ (لَا تَبْدَءُوهُمْ بِالسَّلَامِ) إِذَا كَانَ لِغَيْرِ سَبَبٍ يَدْعُوكُمْ إِلَى أَنْ تَبْدَءُوهُمْ بِالسَّلَامِ، مِنْ قَضَاءِ ذِمَامٍ أَوْ حَاجَةٍ تَعْرِضُ لَكُمْ قِبَلَهُمْ، أَوْ حَقِّ صُحْبَةٍ أَوْ جِوَارٍ أَوْ سَفَرٍ. 

Imam Ibrahim An Nakha’i; Bila terdapat kepentingan bersama Yahudi ataupun Nasrani, maka mulailah bersalam terhadapnya. Ini menjelaskan bahwa hadis riwayat Abu Hurairah yg berbunyi “Janganlah kalian memulai bersalam terhadap mereka (non muslim)”, itu berlaku bila dilakukan tanpa sebab (alasan penting), seperti; pemenuhan kebutuhan/keperluan riil antara muslim dan mereka (non muslim), mempererat perkawanan, lebih mengharmoniskan suasana bertetangga, dan tegur-sapa di tengah perjalanan.

وَرُوِيَ عَنِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ أَنَّهُ قَالَ: إِذَا مَرَرْتَ بمجلس فيه مسلمون وكفار فسلم عليهم.

Diriwayatkan dari Imam Al Hasan al Bashri, beliau berkata; Bila kamu melewati suatu tempat, yang di dalamnya berkumpul orang2 Islam dan orang2 non muslim, maka bersalamlah.

Baca Juga : Hukum Mengucap Salam Aneka Agama

Pada Prakteknya

وَقَدْ رُوِيَ عَنِ السَّلَفِ أَنَّهُمْ كَانُوا يُسَلِّمُونَ عَلَى أَهْلِ الْكِتَابِ. وَفَعَلَهُ ابْنُ مَسْعُودٍ بِدِهْقَانٍ صَحِبَهُ فِي طَرِيقِهِ، قَالَ عَلْقَمَةُ: فَقُلْتُ لَهُ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَلَيْسَ يُكْرَهُ أَنْ يُبْدَءُوا بِالسَّلَامِ؟! قَالَ: نَعَمْ، وَلَكِنْ حَقُّ الصُّحْبَةِ. 

Diriwayatkan dari orang2 salaf, bahwasanya mereka biasa bersalam terhadap Ahlul Kitab (non muslim). Hal ini pernah dilakukan oleh Sahabat Abdullah Ibn Mas’ud, ketika menjumpai kawannya yang non muslim di jalan. Lalu ‘Alqamah berkata kepadanya; Bukankah tidak disukai memulai bersalam terhadap non muslim? Abdullah ibn Mas’ud berkata; “ya, tetapi ini untuk mempererat perkawanan”.

وَكَانَ أَبُو أمامة إِذَا انْصَرَفَ إِلَى بَيْتِهِ لَا يَمُرُّ بِمُسْلِمٍ وَلَا نَصْرَانِيٍّ وَلَا صَغِيرٍ وَلَا كَبِيرٍ إِلَّا سلم عليه، فقيل لَهُ فِي ذَلِكَ فَقَالَ: أُمِرْنَا أَنْ نُفْشِيَ السلام.

Sahabat Abu Umamah Al Bahiliy ketika bepergian ke luar rumah, ia selalu bersalam kepada siapapun yg dilewatinya, baik itu muslim maupun nasrani (non muslim), baik itu anak-anak muda maupun orang2 tua. Lalu dikatakan kepadanya; “mengapa melakukan itu?” Abu Umamah berkata; “Kami (para Sahabat Nabi) diperintahkan untuk menyebar Salam”.

Adapun bentuk, bunyi dan lafadz dari bersalam itu adalah ijtihadiyah (pilihan personal). Ini biasanya berkenaan soal muamalah (hubungan sosial antar manusia). Sehingga hal ini harus menurut tradisi yang berlaku. Bisa beda, satu dengan yang lainnya. Terlebih, di suatu masyarakat yang multi kultur, multi kepercayaan, dan plural dalam banyak hal.

Akan tetapi, syariat Islam mengamanahkan substansi, yaitu; menyebar salam, damai, keharmonisan, akur-guyup, saling menghargai-menghormati, dan tebar kebaikan. 

Dalam sebuah hadis shahih disebutkan;

 انَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْإِسْلَامِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ. 

Seorang lelaki pernah bertanya kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam; “Islam yang manakah yang terbaik?”Nabi menjawab; “(Islam terbaik itu adalah prilaku) kamu memberi makan orang, dan mengucapkan (menyebarkan) Salam kpda Siapapun, baik orang yang kamu kenal maupun orang yang tidak kamu kenal”. 

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *