Terdapat sisi positif pandemi Covid-19 bulan ramadhan tahun ini. Banjir pengajian online dengan mengkaji berbagai kitab kuning. Ada yang pakai FB, IG, youtube, TV, radio dan media yang lain. Masihkah engkau katakan ndak perlu NU-NU-an, nda perlu NKRI, semua bisa langsung kembali kepada Alquran dan Hadis?

Jika selama ini di hampir seluruh pesantren mengadakan “pasan”, yakni ngaji kitab khusus pada bulan ramadhan, maka hanya pesantrenlah yang mengenal istilah tersebut. Seolah menjadi budaya yang sudah turun temurun, sejak para ulama zaman dahulu. Tak banyak lembaga pendidikan agama yang membudayakan proses pendidikan seperti itu. 

Jika mengaca ke belakang, maka pada dasarnya budaya seperti “pasan” ini sudah mengakar kuat pada tradisi ulama zaman dahulu. Belajar dari satu ulama berpindah pada ulama lainnya, dengan berbagai keilmuan yang berbeda-beda. Bagaimana dahulu masa imam ghazali sampai “mengembara” dan nyantri ke Syam sampai bertahun-tahun dan akhirnya dalam satu kamar yang berada di dalam masjid Umawy dari pintu masuk belok kiri, bisa mengarang kitab Ihya Ulumuddin yang menjadi karya monumental beliau. Kebetulan saya sudah pernah tabarukan masuk dalam kamar suci tersebut tahun 2009.

Karya tersebut sampai hari ini terus dikaji tak ketinggalan pada masa “pasan” bulan ramadhan di pesantren maupun di luar ramadhan (lihat ngaji Gus Ulil abshar Abdalla). Sang Hujjatul Islam melakukan pengembaraan ilmu atau rihlah ilmiah wa ruhiyyah dari Irak sampai ke Syam atau Syiria saat ini. Jarak yang sangat jauh demi “kepuasan” mencari ilmu. 

Pun demikian Imam Syafi’i salah satu imam madzhab empat yang menjadi madzhab yang dianut mayoritas umat Islam di Indonesia. Beliau melakukan pengembaraan ilmu dari satu daerah menuju daerah lain, dari satu ulama menuju ulama yang lain. Seolah merasa tak puas dengan hanya berhenti pada satu keilmuan dan satu ulama saja. 

Di sinilah sanad dan silsilah ilmu menjadi perhatian penting bagi santri dan kalangan NU. Dalam satu keilmuan diupayakan betul adanya runtutan/sanad yang bisa sampai tersambung kepada rasulullah. Budaya inilah salah satu alasan mengapa harus punya guru dan adanya “pasan” di pesantren. Santri ingin mengejar sanad keilmuan tertentu dari guru tertentu dengan jangka waktu selama ramadhan. 

Kedua contoh Al Ghazali dan Imam Syafi’i tersebut saya kira menjadi referensi yang menguatkan tradisi pasan di pesantren yang saat ini seolah menemukan momennya. Di tengah merebaknya wabah yang menakutkan ini, ternyata membawa hikmah semakin menjamurnya tradisi pengkajian kitab (dahulu lebih banyak kitab kuning) di pesantren. Karena banyaknya pesantren yang sementara diliburkan, menjadikan dunia virtual salah satu jawaban dan jalan keluarnya. 

Santri saat ini banyak yang kembali ke rumah masing-masing, pun juga siswa dan mahasiswa. Dengan tetap semangat mengaji dan mengkaji kitab, menjadikan para ulama, masyayikh, kiai, pada pesantren dan tak lupa Pusat Studi Pesantren IAIN Tulungagung,  mengambil inisiatif untuk tetap mengadakan ngaji.  Sebagai contoh pesantren lirboyo yang memiliki ribuan santri, Mbah Yai Anwar pun tetap “mbalah” (ngaji) kitab kuning walau harus via online dengan berbagai keterbatasan penglihatan beliau sampai harus memakai alat pembesar agar kitab dapat dibaca. Pun demikian pesantren Ploso Kediri, Pesantren di jombang PP. Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta dan bahkan sekarang NU dari mulai ranting, wakil cabang, cabang, wilayah bahkan pusat.

Fenomena ini jika diamati secara seksama sebenarnya memberi peran besar bagi masyarakat muslim khususnya di Indonesia. Bisa dibayangkan jika kurang lebih 30 ribu pesantren yang tersebar di NUsantara mengadakan pengajuan online seperti ini, belum lembaga seperti NU dan banom-banomnya ataupun individu mandiri berapa banyak transfer knowledge dan values terjadi. Apalagi jika diamati hampir keseluruhan  pengajian tersebut diadakan secara swadaya bahkan ihlas lillahi ta’ala. Semua demi ngaji, demi ikut dawuh ulama dan masyayikh, ingin diakui menjadi santrinya Mbah Hasyim Asy’ari.  

“Sing penting ngaji mergo Ngaji iku penting”, 

“Ngajio ben uripmu aji”.

Demikian beberapa pesan poro kiai ketika santri mudik ataupun pulang. Semangat ini harus terus diapresiasi dan lestarikan karena dengan budaya seperti inilah peradaban bisa berkembang, masyarakat dapat terjaga dari berbagai tindakan radikalisme, dan nilai Islam moderat bisa terus berkembang. Betapa kayanya khazanah keilmuan yang tersimpan dalam kitab kuning atau al-kutub al-shofro, yang selama ini tersimpan dan tidak banyak difahami oleh masyarakat secara luas. 

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *