Suatu ketika alm. Syaikh Mukhtar Ongku Lokuang (Koto Panjang, Payakumbuh, wafat 1978), ditantang berdebat (bermudzakarah) oleh salah seorang ulama Kaum Muda (sengaja tidak disebut identitasnya, menjaga nama baik beliau). Ulama Kaum Muda ini juga seorang tokoh tersohor di Payakumbuh, dan memimpin sebuah jami’ah di kota ini. Beliau mengkritik keras amalan suluk dalam Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, termasuk dalamnya ialah perkara Rabithah. Dan ulama Kaum Muda ini sengaja menantang Syaikh Ongku Lakuang dalam perdebatan karena syaikh kita ini merupakan sosok berpengaruh di Payakumbuh, termasuk dalam ajaran serta madrasah yang dipimpinnya, sekaligus juga sebagai Syaikh Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah.

Untuk lancarnya mudzakarah tersebut, dicarilah tempat yang netral; sebuah lokasi di perkampungan, serta dicari pula waktu yang sesuai, dengan harapan bertemu “rueh dan buku”. Setelah tempat dan waktu disepakati. Berjumpalah beliau berdua dalam majelis yang dihadiri oleh tokoh masyarakat serta pengiring masing-masing.

Sebelum acara dilangsungkan, muncul pertanyaan, bagaimana kesepakatan jika salah satu di antara dua ini “menang” dalam hujjah. Syaikh Ongku Lokuang mengemukakan pendapat, bahwa jika lawan debatnya ini (ulama Kaum Muda tadi) menang, maka ia (Syaikh Ongku Lokuang) bersedia berguru, menjadi murid ulama Muda itu. Sebaliknya, apabila Syaikh Ongku Lokuang menang, maka permintaan beliau Cuma satu saja: jangan lagi menghujat-hujat amalan jama’ah thariqat di daerah ini. Pendapat ini disepakati. Kemudian dibuatlah surat perjanjian terhadap kesepakatan itu, dilengkapi dengan materai.

Setelah dibuka mudzakarah, mulailah masing-masing, secara bergantian, mengemukakan hujjah dan bantah. Acara berlangsung malam hari, setelah Isya’. Belum sampai tengah malam (jam 00.00), surat perjanjian tadi-pun ditandatangani, ditandatangani oleh ulama Kaum Muda tadi sebab mengakui kealiman dan kedalaman hujjah Syaikh Ongku Lokuang. Di depan saksi yang hadir, ulama Kaum Muda tadi berjanji tidak lagi menghujat-hujat amalan thariqat, hingga akhir hayatnya.

kisah mutawatir, disampaikan kepada saya oleh saksi mata


Coba kita perhatikan seksama, betapa luhur akhlak Syaikh Ongku Lokuang ini. Dalam berdebat beliau berani mengambil resiko berguru kepada lawannya, ketika kalah dalam menguatkan hujjah amaliyah Thariqat Naqsyabandiyah. Sedangkan untuk lawan debatnya, beliau tidak meminta apa-apa, kecuali diam, cukup dengan amal-amal masing-masing. Beliau tidak meminta lawan beliau tersebut, jika kalah, untuk berguru padanya, atau untuk masuk belajar thariqat pula. Sebab beliau menyadari bahwa urusan amal tidak bisa dipaksa.

Syaikh Ongku Lokuang adalah ulama legendaris yang pernah dimiliki Payakumbuh dan Luhak Limo Puluah secara umum. Beliau merupakan murid dari Maulana Syaikh Abdul Wahid Asshalihi Tobekgodang, yang cemerlang. Seorang alim dalam berbagai bidang, semisal fiqih, ushul fiqih, akidah, dan tasawuf. Pendiri pesantren terkemuka Madrasah Tarbiyah Islamiyah Koto Panjang Lamposi Payakumbuh.


Apa yang pernah menjadi pegangan Syaikh Ongku Lokuang menjadi insprirasi bagi saya, sekaligus juga pegangan hidup. Satu ketika forum diskusi antara ahli tasawuf dan salfi di kampung, saya sampaikan dengan tegas: “Kami (merujuk pada orang surau) tidak bermaksud agar kawan-kawan (salfi) ini hadir di halaqah kami, ikut zikir menggoyang-goyang kepala. Sekali lagi tidak! Cuma satu yang kami minta, agar tidak lagi menghujat dan membid’ahkan amaliyah kami dengan dalih nahi mungkar itu!!! Sudahlah, mari saling memahami!!!”

Mungka, 26 April 2020

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *