Siapa yang tidak kenal Cak Nun? Tokoh idola yang disegani oleh banyak kalangan, hingga kita segan memberikan kritik kepada beliau yang terhormat. Banyak sekali statemen-stetemen beliau yang memantik kontroversi, bahkan juga memantik emosi karena kritik-kritik yang beliau utarakan sangat ceplas-ceplos dan tak jarang disertai dengan bahasa yang pejoratif.

Tentang Laylatul Qadar

Diantara pandangan beliau yang cukup kontroversial dan kembali viral di akhir Ramadhan ini adalah bahwa Laylatul Qadr hanya turun di masa Nabi, yakni saat al-Quran turun. Ngapain orang Islam nunggu laylatul qadr? Lha wong sudah turun kok, demikian kata beliau. Pandangan ini perlu diberi sejumlah catatan:

Pertama, dalam kitab Ghayatil Ihsan fi Fadhli Zakat al-Fitri wa Syahri Ramadhan, dijelaskan bahwa:

وذهب الروافض إلى أنَّ ليلة القَدْرِ رُفِعَتْ ولم يعد لها وجودٌ، ولكن الذي أجمع عليه أهل السُّنَّة أنها باقيةٌ مُستمِرَّةٌ إلى يوم القيامة

Artinya: kelompok Syiah Rafidhah berpendapat bahwa laylatul qadr telah diangkat dan tidak ada lagi. Sedangkan Ahlu Sunnah sepakat bahwa laylatul qadr masih ada sampai hari kiamat.

Dengan demikian, pendapat Cak Nun sama dengan pendapat Syiah Rafidhah dan tidak senada dengan pendapat ulama Ahli Sunnah. Pendapat Ahli Sunnah ini senada dengan pendapat mayoritas kelompok Syiah Ismailiyyah dan Syiah Zaydiyyah.

Kedua, Abdurazaq meriwayatkan dari Abdullah bin Yakhnas: 

وقد روى عبدالرزَّاق عن عبدالله بن يَـخْنَس قال: قلت لأبي هريرة: زعموا أنَّ ليلة القَدْر رُفعت، قال: «كذب مَن قال ذلك»

Suatu hari Abdullah bin Yakhnas berkata kepada Abu Hurayrah: Mereka berpendapat bahwa laylatul qadr telah diangkat/tidak ada lagi. Abu Hurayrah menjawab: “Orang yang berkata demikian berdusta”.

Meski ada  riwayat ini, kita tidak berani mengatakan Cak Nun termasuk orang yang berdusta.

Ketiga, Muhammad Imran dari Dimyath bertanya kepada Syaikh Utsman Amir yang notabene merupakan salah satu ulama Al-Azhar yang terpandang, “Apakah laylatul qadr tidak ada lagi setelah masa Nabi?” Syaikh Utsman Amir menjawab: ulama Islam berbeda pendapat menjadi dua golongan. Namun pendapat yang lebih benar berdasarkan dalil-dalil adalah yang menyatakan bahwa laylatu qadr masih turun kepada umat sampai akhir zaman.

Keempat, Cak Nun hanya mengutip surat al-Qadar secara tekstual tanpa membandingkan secara komparatif dengan hadits-hadits sahih tentang anjuran memperoleh keutamaan laylatul qadr. Banyak hadits sahih tentang keutamaan mencari laylatul qadr dengan memperbanyak amalan sholih di 10 hari terakhir Ramadhan yang diriwayatkan oleh Aisyah, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas yang dijuluki tarjuman al-Quran, pakarnya al-Quran. Padahal, salah satu metode menafsirkan al-Quran adalah dengan merujuk pada hadits-hadits Nabi. Untuk berbicara tentang tafsir al-Quran, kita harus menguasai ilmu tafsir. Tidak boleh sembarangan.

Kelima, biasanya Cak Nun lekat dengan pandangan ahli hikmah, namun dalam masalah ini tampaknya beliau tidak merujuk pada pendapat-pendapat ahli hikmah. Menurut para ahli tasawuf, laylatul qadr masih turun kepada umat Nabi Muhammad saw.

Syaikh Abu Thalib al-Makki berkata, “Bagi ahli sufi yang mencapai level ma’rifat, setiap malam-malamnya adalah laylatul qadr”.

Syaikh Kamaluddin al-Qasyani berkata, “Laylatul qadr adalah malam khusus bagi ahlu suluk yang melihat penampakan kekuasaan Allah. Laylatul qadr adalah malam permulaan sampainya ahli suluk pada level ma’rifat”

Imam al-Qusyayri berpendapat, “Laylatul Qadr adalah malam dimana seorang hamba hadir menghadap kepada Allah dengan hatinya, melihat kekuasaan-Nya, merasakan nikmat melihat cahaya-cahaya pertemuan, dan merasakan manisnya kedekatan dengan-Nya”

Syaikh Ibnu Arabi berkata, “Laylatul Qadr adalah zaman mikraj, zaman isra’, dan waktu turunnya rahmat Allah dengan kelembutan-kelembutan yang samar menuju langit yang mendekati hati seorang hamba yang rindu”.

Dengan beragamanya pendapat tentang laylatul qadr ini, tidak bijak apabila Cak Nun menganggap pendapatnya adalah yang benar sembari menyalahkan pendapat orang lain. Menurut saya, setiap orang memiliki pengalaman spiritual dan dalil yang berbeda-beda, maka harus kita hargai mereka. Ala kulli hal, Cak Nun juga manusia, bisa khilaf dan lupa. Maka jangan sampai ada prinsip “Maha Benar Cak Nun dengan Segala Pendapatnya”.

Tentang masalah Baiat

Dalam sebuah ceramah di UGM, Cak Nun yang terhormat mengatakan bahwa jangan mau dibaiat oleh kiai. Silahkan cek di youtube yg sudah saya screenshot pada menit 24-26. Sebagai santri yang pernah berbaiat kepada kiai, saya ingin memberi catatan sedikit atas statemen beliau.

Pertama, menurut Ibnu Khaldun, ulama sosiolog kenamaan, baiat secara bahasa adalah perjanjian (al-‘ahdu). Ada baiat dlm bidang perdagangan, bidang politik antar rakyat dan pemimpin, dan bidang spiritual antara umat dan Rasul serta murid dan guru.

Kedua, mari kita teliti teks-teks baiat di bawah ini yang isinya kurang lebih:

  1. Hakikat baiat adalah komitmen untuk taat kepada Allah yang diutarakan di depan guru. Apabila murid taat pada Allah, maka Allahlah yang akan membalas pahalanya;
  2. Syaikh bertugas semampunya membimbing murid untuk membersihkan hati dari sifat yang tak terpuji;
  3. Dalam baiat tidak ada feodalisme, karena seorang murid diperlakukan seperti anak, bukan sebagai bawahan. Syaikh berkata dlm baiat, “Wahai Allah aku menerima murid ini sebagai anak di jalan Allah (qabiltuhu waladan fillah)”. Adapun sikap merendah murid di depan guru bukan feodalisme, namun semata-mata bentuk penghormatan murid pada guru. Jadi, tidak tepat jika beliau menilai baiat merupakan bentuk feodalisme.

Ketiga, baiat bukanlah sarana doktrinasi. Dalam dunia pendidikan modern, baiat tak ubahnya seperti kontrak belajar antara guru dan siswa-siswi agar taat aturan, hanya saja baiat lebih berorientasi pada dimensi spiritualitas dan bukan intelektualitas saja. Guru2 kami dulu di pesantren tidak pernah mendoktrin. Para guru justru mengajarkan bermusyawarah, bahtsul masail, beradu argumentasi dll. Jika ada kiai yang mendoktrin, mungkin itu hanya sebagian kiai yang fanatik, tetapi tidak semuanya. Kata Cak Nun, di Madura ulama-ulamanya rebutan umat dan suka mendoktrin. Ini namanya generalisasi, nggebyah uyah. Kalau kita mau jujur melihat realitas, di Madura banyak sekali kiai yang sangat terbuka, berwawasan luas, dan tidak doktriner.

Keempat, baiat yang dituduh feodal oleh beliau, dalam sejarah kemerdekaan Indonesia justru memainkan peran sebagai pemantik militansi para pejuang melawan kolonialisme dan feodalisme Belanda. Menurut Pater Carey dan Martin van Bruinessen, gerakan perlawanan tarekat sufi yang dipimpin oleh Diponegoro, Syaikh Yusuf Makasar, Syaikh Abdusomad al-Palimbangi dll tak bisa dilepaskan dari ajaran-ajaran tasawuf, antara lain baiat. Jadi baiat tidak selalu negatif, ia justru punya peran revolusioner.

Ala kulli hal, mari kita berbicara dengan ilmu, dengan referensi, jangan asal menuduh para kiai tanpa dasar yang kuat.

Bentuk Dekonstruksi?

Menurut sahabat saya, Kiai Ahmad Muzammil, yang selalu menemani Cak Nun di berbagai acara, kritik-kritik yang selama ini dilakukan oleh Cak Nun kepada NU merupakan bentuk dekonstruksi terhadap pemikiran mainstream yang mapan.

Tanpa mengurangi hormat saya kepada beliau, saya mau tanya, bagaimana konsep dekonstruksi yang beliau bangun? Mengingat para filosof yang mengembangkan teori dekonstruksi seperti Derrida, misalnya, memiliki konsep yang terstruktur.

Dalam ranah pemikiran Islam kontemporer, kita mengenal nama-nama Abid al-Jabri, Arkoun, Syahrour, Abu Zaid, Gamal al-Banna, Hasan Hanafi, Geoge Tharabishi, Ali Harb, dll. Mereka memiliki proyek pemikiran dekonstruksionis (al-masyru’ al-fikr al-hadmiy wa tafkikiy) terhadap wacana mainstream. Sejauh yg saya baca dari puluhan karya-karya mereka, tawaran-tawaran wacana kritis (al-khithab al-naqdiy) mereka terhadap pemikiran Islam tradisional selalu disertai rujukan-rujukan dari kitab-kitab turats, sehingga kritiknya memiliki dasar argumentasi yang bisa dipertimbangkan. Akan tetapi, jika kita membaca dan mendengar kritik-kritik Cak Nun, jarang sekali disertai rujukan-rujukan dari turats, sehingga kritiknya terkesan nyinyir dan pejoratif.

Dalam persoalan laylatul qadr, misalnya, Cak Nun mendekonstruksi pemikiran mainstream hanya merujuk surat Al-Qadr secara tekstual atau harfiyyah tanpa metode muqoronah/komparasi tafsir, sembari menuduh umat Islam selama 14 abad ini gagal paham karena tidak paham sastra. Coba Cak Nun rujuk tafsir al-Zamakhsyari, pakar tafsir dengan pendekatan manhaj sastra, ternyata Zamakhsyari pun mengakui adanya keberlangsungan laylatul qadr. Lebih paham mana Cak Nun dengan Imam al-Zamakhsyari dlm hal ilmu sastra al-Quran? Setidaknya al-Zamakhsyari diakui otoritasnya, sementara Cak Nun? Wallahu a’lam. Sesuai metode ilmiah, harusnya Cak Nun mengkritik tafsir para mufasirin, kritik sanad-matan hadits lalylatul qadr, dengan pendekatan semantik, historis, epistemologis, dll dengan pisau balaghah, ushul fiqh, dst. Tapi, kenyataannya tidak. Ini yang mengecewakan.

Harapan saya ke depan, kritik dan dekonstruksi wacana mainstream seyogyanya berbasis pada khazanah literasi, sebab sasaran tembak Cak Nun adalah tradisi NU yang juga berbasis pada turats.

Nyuwun ngapunten. Wallahu a’lam bishshawab

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *