Dawuh Mbah Yai Ulin Nuha Arwani Kudus, cinta dan ridho itu dua hal yang selalu seiring berjalan. Seperti orang kalo cinta dan hobby kopi, pasti bakal ridho dan senang dengan pahit manisnya dunia kopi. Maka tolok ukur kecintaan kita pada Gusti Allah bisa dilihat dari sejauh mana kita ridho pada takdir-Nya, baik takdir buruk atau takdir baik. 

Penerimaan orang terhadap takdir ini pun bertingkat, ada yang ingkar, sabar atau ridho. Maka kita jangan berani ngaku2 cinta Gusti Allah, sebelum dikasih ujian sejauh mana penerimaan kita pada takdir. Apakah kita di level ingkar, level sabar atau level ridho?

Dawuh Kanjeng Nabi Muhammad SAW

إذا أحب الله عبدا ابتلاه، فإن صبر اجتباه، وإن رضى اصطفاه

“Saat Gusti Allah mencintai hamba-Nya, maka Dia akan memberinya cobaan balak. Jika sabar, maka Gusti Allah berkenan padanya. Jika ridho, maka Gusti Allah akan memilihnya menjadi kekasih”

Artinya, ridho itu maqom tertinggi yang bisa dicapai seorang hamba. Karena itu, ridho selalu menyertai cinta. Orang kalo cuma punya sabar, kadang masih mengeluh dengan kesulitan, walau terus berusaha. Tapi kalo udah ridho, peduli setan dengan kesulitan, orang bakal terus maju berusaha dengan dasar kecintaan.

Makanya, level ridho ini kebanyakan dihuni oleh para ulama karena mereka yang paling takut pada Gusti Allah. Karena takut adalah salah satu tanda cinta pada Gusti Allah. Dan mereka yang paling paham kebaikan Gusti Allah.

Tapi kita jangan minder, mbah. Selama kita tidak ingkar pada takdir, kita tetap dianggap orang baik.

Dawuh Kanjeng Nabi Muhammad SAW

اعبد الله تعالى بالرضاء، فان لم تستطع ففى الصبر على ما تكره خير كثير

“Sembahlah Gusti Allah Ta’ala dengan hati yang penuh ridho. Jika tidak sanggup ridho, maka terdapat kebaikan yg banyak di dalam sabar atas apa saja yang dilarang-Nya”

Maka kita gak perlu banyak mengeluhkan nasib, biar gak dianggep ingkar. Misal ditolak lamarannya, walau marah, minimal ngempet misuh dengan hati yg sabar. Atau lebih baik lagi, senang menerima nasib atau ridho. Karena bagaimanapun realita nasib, itu semua pemberian Gusti Allah yang pasti ada sisi kebaikan bagi hamba-Nya. Dan kita pun gak sumpek gara2 terjebak angan-angan kenikmatan yg tidak kita terima.

Ada cerita seorang buruh yang sedang berjalan di jalanan kota. Di sepanjang jalan, dia melihat orang makan daging. Dia jadi sangat pingin makan daging.

Lalu pas pulang ke rumah, istri si buruh pun menyuguhkan sayur sawi. Dongkol dong hati si buruh. “Gimana sih? Tiap hari kok dikasih makan sayur, orang-orang pada makan daging, emangnya saya kambing!”. 

Tanpa sepengetahuan istrinya, si buruh pun membuang sayuran sawi masakan si istri ke luar jendela sambil bersungut-sungut.

Lamat-lamat, si buruh itu seperti mendengar ada orang bergumam di luar jendelanya. Lantas dia melongok ke luar jendelanya. Kagetlah si buruh itu, ternyata ada pengemis tua memunguti sawi yang dibuangnya tadi. Pengemis tua itu juga bergumam

الحمد لله الذي رزقني من غير حول مني ولا قوة

“Segala Puji bagi Gusti Allah yang memberiku rizqi tanpa aku harus berusaha dan tanpa aku harus bersusah payah”

Melihat itu, si buruh pun terguncang hatinya. Mukanya seakan ditampar. Si buruh lalu menangis dan berkata, “Duh Gusti, sejak detik ini, aku ridho dengan semua pemberian-Mu, aku malu dengan diriku sendiri. Di banding pengemis tua itu, akulah orang yang paling hina,”

Tapi gara2 makanannya tadi udah dibuang, si buruh pun tetep kelaparan. Ya wes, terima nasib.

Maka, buat latihan ridho, kita gak usah berangan-angan dapat ini itu, biar nantinya gak kecewa dan gak ingkar pada takdir. Kita pandang bahwa sekecil apapun rejeki, itu adalah kebaikan dari Gusti Allah yang belum tentu bisa kita syukuri. Los dol gak rewel pokoke, mbah.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *