Sebagai seorang Muslim, mendengar kabar seseorang telah menyatakan diri masuk Islam itu hal yang menggembirakan. Orang yang baru masuk Islam di dalam al-Qur’an disebut mualaf yang artinya orang yang hatinya terikat ke dalam Islam. Kegembiraan itu dikarenakan kita mendapat tambahan keluarga baru, keluarga satu agama (ukhuwah Islamiyah). Kegembiraan itu juga oleh sebagian orang dirasakan sebagai bentuk afirmasi bahwa Islam adalah agama yang paling benar, buktinya banyak orang yang masuk ke dalam agama ini. Sebaliknya, apabila ada orang yang keluar dari Islam, maka hati kita tersayat, sedih dan merasa kehilangan. Kita kehilangan saudara satu agama. 

Memang banyak orang yang masuk Islam, namun banyak pula yang kita tidak tahu bahwa banyak orang Islam yang keluar dari Islam dan masuk agama lain. Konversi agama gejala tua dan biasa terjadi. Kita boleh gembira dan sedih atas konversi agama, namun dalam batas yang wajar saja. 

Sebagai mualaf, pada umumnya, pengetahuan mereka tentang Islam sangatlah terbatas, karena mereka baru masuk Islam, namun fenomena yang terjadi, dakwah mereka mencerminkan bahwa mereka seolah-olah tahu segalanya tentang Islam. Pengecualian bagi mualaf yang misalnya memiliki pengetahuan akademis tentang Islam sebelumnya. Materi dakwah mereka membakar karena pada umumnya yang mereka sampaikan adalah latar belakang dan alasan-alasan mereka pindah agama. Di sinilah kemudian muncul narasi buruk tentang agama yang mereka peluk sebelumnya.

Ceramah seperti ini cukup menarik minat banyak kalangan terutama kalangan awam karena menarasukan supremasi Islam atas agama-agama lain. Kita mengenal Irene Handoko, Felix Siauw, Bangun Samudra (mengaku lulusan S3 dari Vatican), Yahya Waloni, Hanny Kristianto, dan masih banyak yang lain, yang isi materi ceramah mereka menjadikan agama lamanya sebagai bahan olok-olokan dan hinaan. Seolah-olah agama yang dulu mereka peluk bukan agama serumpun yang merujuk pada tradisi Ibrahim. Mereka mengolok-olok bagian-bagian prinsipil yang dari agama mereka sebelumnya.

Pertanyaan kita adalah apakah dakwah seperti ini dianjurkan oleh al-Qur’an? 

Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104 menyatakan: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.” 
Ayat tersebut, terutama pada penggalan wa al-takun mengindikasikan bahwa tidak semua kita sebagai umat Islam dituntut untuk berdakwah. Dalam ayat al-Qur’an yang lain dinyatakan bahwa dakwah hendaklah dilakukan oleh mereka yang mampu menyampaikannya dengan hikmah (kebijaksanaan), ujaran kebaikan (mau’idah hasanah) dan jika keduanya tidak mungkin maka dengan perdebatan.

Model dakwah yang dilakukan oleh para mu’alaf di atas dengan menjelek-jelekkan agama mereka sebelumnya itu akan menimbulkan efek yang lebih buruk bagi kita umat Islam sendiri apalagi bagi umat yang agama mereka diburuk-burukkan.

Jika kita memakai pertimbangan Islam, al-Qur’an sendiri melarang kita menjelek-jelekkan sesembahan agama lain dalam keadaan biasa dan maupun dalam keadaan berdakwah. Berdakwah tidak menghapus larangan untuk menjelek-jelekkan sesembahan agama lain. Sesembahan agama-agama lain saja tidak diperbolehkan apalagi Tuhan ahlul kitab. 

Persisnya, surat al-An’am ayat 108 menyatakan: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”

Seorang mufassir klasik yang sangat kredibel, Ibn Katsir dalam tafsirnya, Tafsir Ibn Katsir, menjelaskan bahwa Rasulullah melarang orang-orang yang beriman untuk membenci hal-hal yang disembah oleh kaum politeis –musyrik—meskipun hal itu bisa mendatangkan kebaikan (kemaslahatan). 

Mengapa demikian? Rasulullah memandang jika perbuatan tersebut justru akan menimbulkan kemudaratan yang jauh lebih besar daripada kemaslahatannya. Masih dalam tafsirnya ini, Ibn Katsir menjelaskan jika Rasulullah merasakan bahwa perbuatan caci-maki tersebut justru akan menimbulkan balasan (retaliasi) yang lebih keras dari kaum musyrik untuk mencaci maki Allah SWT. Padahal Allah adalah Tuhan Yang Maha Suci dan Maha Mulia (Lihat Tafsir Ibnu Katsiir Juz 7, hal. 268).

Saling balas caci mencaci tentang sesembahan adalah hal yang oleh Rasulullah anjurkan untuk dihindarkan karena akan menyebabkan daur yang berulang. Peringatan yang demikian ini nampaknya tidak didengar oleh para pendakwah mualaf seperti Irene Handoko, Felix, dan lain-lainnya. Mereka lebih senang menuruti  hawa nafsu yang mereka anggap sebagai proses penyampaian kebenaran padahal itu dilarang Allah. Lebih baik hawa nafsu untuk menjelekkan agama mereka terdahulu dialihkan untuk mendalami Islam yang lebih dalam dan lebih jauh; belajar ilmu-ilmu keislaman seperti Nahwu, Sharaf, Tafsir, Ilmu Hadis, Usul Fiqih, Fiqih, Ilmu Kalam, dan masih banyak lagi. 

Dari perspektif kemanusiaan, dakwah model di atas justru menyebabkan disharmoni dan saling curiga di antara umat beragama. Di dalam konteks kehidupan kita yang pluralistik, hal yang mesti ditonjolkan dalam berdakwah mestinya adalah konteks integrasi, kohesi, mutual respect dslb dalam konteks keislaman dan keindonesiaan. Selain ukhuwah Islamiyyah, kita dituntut untuk menjaga ukhuwah wataniyyah dan basyariyah. Sebagai Muslim, kita tidak diikat oleh persaudaraan antara sesama pemeluk Islam saja, namun pada tingkat yang sama, kita juga diikat oleh persaudaraan antar warga negara dan persaudaraan antar manusia. Tiga model persaudaraan itu harus kita jaga. 

Sebagai catatan, dakwah para mualaf di atas malah lebih banyak menyebabkan madarat bagi kita karena mencitrakan kita, umat Islam, sebagai pihak yang mencari-cari kelemahan dan kesalahan agama-agama lain. Pendek kata dakwah mereka lebih menimbulkan beban bagi umat Islam daripada menarik keberkahan.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *