Pada saat lebaran/Hari Raya, Datu Suban kedatangan 12 orang murid-muridnya, yaitu Datu Murkat, Datu Taming Karsa, Datu Niang Thalib, Datu Karipis, Datu Ganun, Datu Argih, Datu Ungku, Datu Labai Duliman, Datu Harun, Datu Arsanaya, Datu Rangga dan Datu Galuh Diang Bulan. Ketika sedang menikmati hidangan yang disediakan tuan rumah, tiba-tiba datang seorang yang bertubuh sangat besar seakan-akan mau mengancam. Serta merta mereka terkejut dan segera mengambil tombak dan parang untuk menghadang orang tersebut.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” kata orang besar tersebut sambil mendekat. “Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.” jawab para Datu serentak. Lalu Datu Suban berkata kepada murid-muridnya bahwa orang yang memberi salam itu insya Allah akan berniat baik dan tidak membahayakan. “Maaf,siapa saudara yang datang dan darimana asal serta apa maksud saudara ?” tanya Datu Suban. Si Raksasa hanya menjawab dengan ucapan “LA ILAHA ILLALLAH”. Setiap Datu Suban bertanya selalu dijawabnya dengan kalimat tauhid “LA ILAHA ILLALLAH”.hingga 7 kali ditanya dan dijawab dengan 7 kali dzikir tauhid itu.Setelah 7 kali dzikir tersebut, tiba-tiba raksasa itu ambruk, lantas para Datu menghampiri dan memeriksanya, dan ternyata orang besar itu telah meninggal dunia, maka serempak mereka berujar “inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun”

Melihat keadaan yang demikian, para Datu yang berjumlah 13 orang tadi bingung, harus bagaimana cara memandikan dan menguburkannya? Jangankan untuk memandikan dan menguburkan, mengangkat saja sudah susah, apalagi saat itu musim kemarau panjang, biasanya tanah sangat keras, sedang lubang untuk penguburan harus lebar dan panjang, ditambah lagi untuk memandikannya juga diperlukan air yang sangat banyak. Konon ditengah kebingungan itu, tiba-tiba hujan lebat turun dan manakala mereka harus mengangkat jenazah dengan mengerahkan tenaga penuh, ternyata tubuh orang besar itu sangat ringan, hanya seperti segumpal kapas.Serentak mereka berseru “Subhanallah”. Sebelum mereka mawaradu (membersihkan) mayat itu, Datu Suban sebagai mahaguru menemukan sebuah tas selempang dari dalam pakaiann si mayyit. Kemudian setelah membuka tas tersebut,  ternyata isinya terdapat sebuah kitab yang akhirnya terkenal dengan sebutan “KITAB BARENCONG ”.

Para Datu mulai membagi tugas, untuk membersihkan mayat adalah Datu Argih, Datu Niang Thalib, Datu Ganun, Datu Labai Duliman dan Datu Ungku, Sedangkan Datu Karipis bertugas mencari batu nisan dari batu alam. Sementara yang lain membuat lubang kubur di gunung Munggu Karikil dekat Munggu Tayuh.

Konon lubang yang digali tidak cukup untuk mengubur jenazah itu dan terpaksa kakinya harus dilipat sehingga tubuhnya seperti huruf hamzah.

Pada hari ketujuh setelah wafatnya raksasa itu Datu Suban membuka kitab yang ditemukan pada jenazah tersebut dihadapan 12 muridnya sambil mengucap “Bismillahirrahmanirrahiim”

ternyata berisi ilmu tingkat tinggi dan bermacam-macam khasiat ilmu dunia dan akhirat. Akhirnya orang besar seperti raksasa tersebut yang meninggalkan kitab BARENCONG diberi nama NURAYA karena dia datang pada hari raya dan wafat pada hari itu juga, sesuai dengan badannya yang besar seperti RAYA. Nur Raya berarti pembawa cahaya yang sangat luas seperti Raya dengan panjang kuburnya kurang lebih 60 meter (dengan kaki dilipat, kalau tidak dilipat mungkin bisa sampa 100 meter) dan lebar kurang lebih 6 meter. Padahal nama sebenarnya beliau adalah Syekh Abdul Mu’in (sebagian orang ada yang menyebutnya sebagai Syekh Abdul Jabbar atau Syekh Abdurrauf) yang konon berasal dari Syiria. 

Demikianlah sebagian kisah dari Datu Nuraya yang makamnya berukuran panjang melebihi makam manusia biasanya. Semua adalah kekuasaan Allah semata, manusia hanya bisa memahasucikan-Nya, “Subhanallah”.

Aamiin

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *