Presiden Jokowi pada 9 Oktober 2020 menjawab kritik masyarakat terhadap UU Omnibus Law yang pada intinya bahwa UU itu diperlukan untuk mengatasi jumlah pengangguran yang mencapai 6,9 juta orang.

Beliau juga mengemukakan kritik  itu terutama disebabkan oleh berbagai berita hoax yang berseliweran di medsos maupun di media mainstream.

Pro dan kontra terhadap terbitnya suatu UU adalah hiasan dari demokrasi, yang membedakan dengan sistem pemerintahan otoriter. Demokrasi berjalan, rakyat mengekspresikan suara hatinya dalam suasana kebebasan dan pemerintah termasuk Bapak Presiden memberikan penjelasan. Suatu hal yang wajar.

Ada beberapa pelajaran yang bisa diambil untuk terus meningkatkan kualitas demokrasi kita, berkaca dari perdebatan di gedung DPR dan  unjuk rasa tanggal 8 Oktober yang dikotori oleh aksi anarki. 

Pertama: bahasan ttg substansi RUU di DPR terlihat cukup intensif namun berdasarkan pantauan saya, diskusi publik boleh dikatakan terbatas. Masyarakat tidak memperoleh informasi yg utuh, minimal masalah krusial yg menyangkut hak hak pekerja  misalnya soal “upah“, sehingga wajar timbul “prasangka.”

Kedua: kurangnya sosialisasi di masyarakat termasuk pada Ormas Besar dan pembahasan yang relatif sangat cepat terhadap RUU setebal lebih 400 halaman di DPR menimbulkan kecurigaan adanya “kongkalikong“ dengan pengusaha besar.

Ketiga: demokrasi anarkis yang terjadi di beberapa kota menjadi keprihatinan tersendiri. Demokrasi mestinya sebagai proses damai dan aparat keamanan mudah terpancing, membalas secara kasar terhadap pengunjuk rasa yang terlepas dari barisan.

Keempat:  tidak diragukan lagi kelompok “Anarko“ atau “Anarko Sindikalisme“ memanfaatkan situasi untuk beraksi. Kelompok pengikut  Bakunin, temannya Karl Marx yang mulai berkembang pada periode akhir Orde Baru tersebut perlu mendapat perhatian lebih seksama dari aparat intelijen. kalau komunis itu Marxisme – Leninisme ( Maoisme ) lawan dari Kapitalisme/ demokrasi Liberal. Ia ingin negara dikuasai buruh ( Maoisme – petani ) yg disebut diktator proletariat. Setelah itu akan tercapai negara tanpa kelas ( persanaan).Komunisme spt keduanya sdh bangkrut karena bersfat utopia ( khayalah ) .Kalau anarkho ( idenya Bakunin ) negara atau diktatur proletariat tdk diperlukan karena menghilangkan kebebasan ( juga utopia ). Mereka ingin kebebasan , tanpa negara oleh karena itu anti negara.

Kalau ISIS ingin menegakkan pemerintahan “khilafah”, sebaliknya Anarko anti negara. Keduanya tidak bermanfaat di republik tercinta.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *