Dhomir adalah sebuah istilah dalam gramatikal Arab, yang dalam bahasa Indonesianya -kira-kira- dinamakan kata ganti. Contohnya; هو (dia atau ia), أنت (kamu), أنا ( aku/saya), dan lain sebagainya. Akantetapi, ada satu dhamir yg sering menimbulkan tandatanya, bahkan memunculkan (konflik) tafsir yg berbeda, yaitu; هو (dia). “Dia” ini merujuk kepada siapa??
Contoh riilnya; ada seorang pendakwah populer di dunia maya mempersoalkan dzikiran keras yg dilafadzkan sebagian umat Islam. Yaitu, lafadz “huu” هو, atau klo diharokati terbaca huwa, yang berarti Dia. Menurut Sang Pendakwah, itu lafadz yg tidak jelas, gak ada maknanya, dan tidak diajarkan Syariat Islam, dijauhi saja!
Sedangkan, menurut orang yang mendzikirkan lafadz tersebut, هو huu itu merupakan ungkapan cinta dan rindu terdalam, yang ditujukan kepada Dzat Agung yg dicintai. Sebab, Sang Pecinta Sejati biasanya menyebut Yang Dicintainya hanya dgn kata “Dia”, yakni; lambang kerahasiaan cinta, sangat pribadi, dan sangat akrab. Hanya hati yg mencintailah yang mengerti maksud yg dituju dari kata “Dia” atau هو Huu.
Makanya, diriwayatkan oleh banyak santri Pesantren Nusantara, sebuah nasehat dari K.H. Abdul Karim Lirboyo Kediri;
الضمير في الضمير فمن لم يعرف مرجع الضمير فليس له ضمير
“Dhamir” itu di dalam Hati, maka barangsiapa yang tidak mengetahui marji’ (rujukan/kembali)nya dhamir, berarti ia tidak punya hati”
Dalam Tradisi Arab, yang demikian itu biasanya disebut dengan istilah Dhamir As-Sya’n ( ضمير الشأن) bagi Ulama Gramatikal Arab Bashrah (Bashariyun), tetapi Ulama Gramatikal Arab Kuffah (Kuffiyun) mengenalnya dengan istilah Dhamir Al Majhul ( ضمير المجهول ). Ini dikarenakan;
وسموه مجهولا لأنه لا يدرى عندهم ما يعود عليه
Mereka menamai dhamir itu “Majhul” (Tak Dimengerti), karena tidak diketahui secara tekstual kepada siapa dhamir itu dirujukkan.
Syeikh Syarafuddin Yahya al-‘Imrithy dalam kitabnya tentang Gramatikal Arab Nadzm Al ‘Imrithy Syarh Al Ajurumiyah mengatakan;
حَتَّى نَحَتْ قُلُوْبهُمْ لِنَحْوِهِ # فَمِنْ عَظِيْمِ شَأْنِهِ لَمْ تَحْوِهِ
Sehinga Hati mereka menuju kepada-Nya , karena keagungan Dzat–Nya Hati mereka tidak mampu mencakup-Nya
فَاُشْرِبَتْ مَعْنَى ضَمِيْرِ الشَّانِ # فَأُعْرِبَتْ فِى اْلحَانِ بِاْلاَلْحَانِ
Maka dicampurlah makna “dlomir syain” ( هو Dia, dgn kalimah Tauhid ) di dalam hati , sehingga bisa merasakan indahnya ber-ma’rifat (mengenal) kepada-Nya serasa indah bagaikan mendengarkan alunan lagu.
Lalu, bagaimana mengerti dhamir ini?
Imam Ibnu Malik memberi solusi, yaitu; dengan menghayati جملة “jumlah” (untaian kalimat) di sekitarnya. Tentu, menghayatinya dengan hati dan fikiran yang jernih. Sebagaimana, dalam kitab gramatikal Arabnya Alfiyah Ibni Malik disebutkan;
ومضمر الشأن ضمير فسرا # بجملة كإنه زيد سرى
Dhomir Sya’n adalah domir yang ditafsirkan oleh جملة jumlah, seperti pernyataan “inna HU zaidun saroo”.
Contohnya; dalam Puisinya Sastrawan terkemuka Abu Thayyib Al-Mutanabbi, saya mengartikan dan menterjemahkan dhamir هو “Dia”, merujuk kepada Allah Ta’ala, Sang Kekasih hati.
Tetapi, boleh juga tidak demikian, tergantung hatimu, wahai pembaca…
يا ليته يعلم
Oo, “Seandainya” Dia Tahu
ابلغ عزيزًا فى ثنايا القلب منزله
Sampaikanlah kepada Sang Kekasih, bahwa di sudut terdalam hati ini Dia ‘bersemayam’.
أنى وإن كنت لا ألقاه ألقاه
Sungguh, dan walaupun aku tidak bertemu dengan-Nya, (namun sejatinya) aku bertemu dengan-Nya.
وإن طرفى موصول برؤيته
Dan sungguh pandanganku ‘disampaikan’ dengan melihat-Nya
وإن تباعد عن سكناي سكناه
Dan meskipun berjauhan tempatku dan “tinggal”-Nya.
يا ليته يعلم
Oo..”Seandainya” Dia tahu,
أنى لست أذكره
Sungguh aku tidak sedang mengingat-Nya
وكيف أذكره إذ لست أنساه
Dan bagaimana aku mengingat-Nya, sementara aku tidak melupakan-Nya.
يا من توهم أنى لست أذكره
Wahai orang yang merasa bahwa aku tidak ingat kepada-Nya
والله يعلم أنى لست أنساه
Dan Allah tahu, aku tidak melupakan-Nya
إن غاب عنى فالروح مسكنه
Meskipun jika Dia tidak hadir di sisiku, maka jiwa ini adalah tempat “bersemayam”-Nya.
من يسكن الروح كيف القلب ينساه
Dzat Agung yang tinggal di dalam jiwa ini, bagaimana (mungkin) hati ini dapat melupakannya?
No responses yet