Jakarta, jaringansantri.com – Prof. Dr. KH. Din Syamsuddin menyampaikan pidato sambutan sebagai tokoh ulama Nusa Tenggara Barat di Seminar Nasional “Mahaguru Ulama Nusantara : Zona Nusatenggara Barat” di Aula Masjid Istiqlal Jakarta. Rabu, 22 November 2017.
Dalam kesempatan tersebut, Din menyampaikan bahwa ada pengiriman yang sistematis dari Kesultanan Bima dan Sumbawa ke Mekah. “ada upaya sistematis dan strategis untuk pengembangan keilmuan di Nusa Tenggara,” terangnya.
“Ini kebijakan luar biasa dari Kesultanan, Ini poin pentingnya,” imbuh Mantan Ketum Muhammadiyah ini.
Ternyata, lanjut Din, para mahaguru ulama ini banyak yang cemerlang. Banyak yang menjadi pemuka dari pemuka ulama. Misalnya Syaikh Zainuddin al Sumbawi belajar di Melah. “Menjadi pionir dalam pengembangan ahlussunnah wal jamaah. Kalau NU aswaja-aswaja, Ulama Sumbawa sudah lebih dulu” tandasnya.
Mahaguru Ulama Nusantara adalah sumber mata air dari ulama-ulama lain yang berpengaruh. Zainuddin Sumbawi Attepali Guru dari ulama besar Syaikh Nawawi Al Bantani. Juga guru dari Syaikh Kholil Bangkalan. “Jadi ada inspirasi Sumbawa pada ormas besar Islam Indonesia NU dan Muhammadiyah,” pungkasnya.
Mereka sangat berorientasi pada wawasan global internasional. Menjadi Mahaguru di pusat pembelajaran Islam di Mekah. “Ini yang belum bisa dilakukan ulama generasi sekarang. Bagaimana wawasan pengetahuan Islam Indonesia itu bisa menjadi pengaruh Islam dunia,” ujar Ketua Dewan Pertimbangan MUI ini.
Ia melanjutkan “Kita belajar ke Al Azhar, pulang lalu paradigma keislaman kita itu sangat-sangat Azhari. Kita kurang pede dengan paradigma Islam Indonesia itu sendiri. Sebenarnya ulama-ulama Indonesia yang berkumpul di MUI itu tidak kalah dengan mufti-mufti di Timur Tengah.”
Terakhir, utusan Presiden untuk kerjasama antar agama ini berpesan bahwa pesan dari seminar ini adalah bagaimana membangkitkan kembali kepercayaan diri Ulama Indonesia, belajar dari ulama-ulama terdahulu.
Seminar yang diselenggarakan oleh Islam Nusantara Center (INC) ini diadakan dalam menyambut Munas dan Kombes NU pada 23-25 November 2017 di NTB. Tokoh-tokoh nasional lain hadir, termasuk Sultan Kesultanan Sumbawa, Muhammad Kaharuddin IV dan Dr. H. Muhaimin Islandar (Panglima Santri Nusantara).
Menguatkan pernyataan Din Syamsudin, Sultan mengatakan bahwa Ulama Sumbawa Syaikh Zainudin Tepali meneliti dan memilih anak-anak muda untuk dikirim ke Mekah belajar agama Islam. Karena masyarakat Sumbawa sangat menjunjung tinggi keilmuan-keilmuan seperti ini.
“Merek belajar dan membuat perkumpulan Ulama-ulama Sumbawa di Mekah. Pulang belajar dari Mekah, para Ulama ini diberi gelar oleh Sultan,” tandasnya.
Sebelum ulama-ulama seperti Muhammad Zainudin Abdul Majid, ada Sultan Harun Ar Ryashid. Sultan mngatakan “Kita menerima Islam tidak seperti di jawa. Karena Sultan menerima Islam, seluruh masyarakatnya mengikuti.”
Sultan Kaharudin IV juga menyinggung bagaimana karakteriatik hubungan Islam dan adat istiadat. Bagaimana peran ulama berhubungan dengan Kesultanan. “Pemerintahan yang berbentuk Kesultanan bedasarkan Al-Qur’an dan Al Hadis. Kebijakannya selalu meminta pertimbangan Ulama,” katanya.
“Di dalam majlis adat Sumbawa, masyarakat ada dua kamar, ulama dan masyarakat. Jika ada masalah perbedaan, Sultan diharap berpihak pada keputusan Ulama,” tambahnya.
“Adat Sumbawa asli ya Islam, adat lama yang tidak beraqidah diisi dengan aqidah,” pungkasnya.
Para peneliti juga hadir menjadi narasumber seminar. Diantaranya adalah Prof. Dr. Abdul Ghani Abdullah, Dr. M. Wildan, MA., Zainul Milal Bizawie (Sejarawan dan penulis buku Masterpiece Islam Nusantara) dan A. Ginanjar Syaban (Filolog dan Direktur Islam Nusantara Center – INC).
Menurut Direktur Islam Nusantara Center (INC) seminar nasional ini adalah salah satu program rutin Islam Nusantara Center (INC) yang akan diselenggarakan juga di daerah-daerah lain seperti Sumatera, Jawa Timur dan lain sebagainya. Untuk menggali dan mengangkat Ulama Nusantara di daerah bersangkutan. (Damar).
Comments are closed