Sekitar tahun 1984 di Kampung halaman Kampung Masigi Desa Bonde Campalagian, saya belajar Mengaji Kitta’ sama Guru Besar saya sekaligus kakek, di kalangan keluarga terdekat sering menyebutnya dengan istilah Kanne Abba Faridah, yakni al-Mukarram KH. Mahdi Buraerah (wafat, Kamis 26 Pebruari 1998), di antara kitab yang saya baca di hadapan Beliau adalah Kitab Tanwir al-Qulub, di saat itu saya diberitahu salah satu doa yang bagus dibaca, terutama ketika menghadapi berbagai masalah, yaitu doa Nabi Ilyas dan Khidhr, ketika keduanya bertemu: 

بِسْمِ اللهِ ماَ شَاءَ اللهُ لاَ يَسُوْقُ الْخَيْرَ إلَّا اللهُ

بِسْمِ اللهِ ماَ شَاءَ اللهُ لاَ يَصْرِفُ السُّوْءَ إلَّا اللهُ

بِسْمِ اللهِ ماَ شَاءَ اللهُ مَا كَانَ مِنَ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ

بِسْمِ اللهِ ماَ شَاءَ اللهُ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إلاَّ باِللهِ

Dengan nama Allah, terjadi apa kehendak Allah. Tidak ada yang mendatangkan kebaikan kecuali Allah. 

Dengan nama Allah, terjadi apa kehendak Allah. Tidak ada yang menghilangkan keburukan kecuali Allah. 

Dengan nama Allah, terjadi apa kehendak Allah. Tidak ada suatu nikmat apa pun kecuali semuanya dari Allah. 

Dengan nama Allah, terjadi apa kehendak Allah. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan kekuatan Allah. 

Belakangan setelah belajar dan belajar, saya menemukan bahwa dzikir dan doa ini adalah bersumber dari ulama besar yaitu Syekh Abdurrahman Jalaluddin as-Suyuthi yang mengarang kitab lebih 300 judul dari berbagai disiplin ilmu. 

Dzikir dan doa ini juga berasal dari riwayat imam ad-Daruquthni bersumber dari Ibnu Abbas. 

Kata Ibnu Abbas: “Siapa yang membaca doa ini tiga kali pagi dan petang, Allah akan memberikan keamanan (keselamatan) dari tenggelam (kebanjiran), kebakaran, pencurian atau perampokan, bahaya binatang buas, seperti ular, kalajengking, kejahatan syetan dan penguasa yang zhalim. (HR. Daruquthni dari Ibnu Abas). 

Hanya saja, teksnya sedikit berbeda. Pada susunan kalimat kedua, ketiga, dan keempat tidak ada memulai dengan بِسْمِ اللهِ. Langsung dengan kalaimat ماَ شَاءَ اللهُ. 

Ada ulama menilai bahwa riwayat hadis ini daif. 

Namun demikian, para ulama juga menjelaskan bahwa boleh mengamalkan hadis daif untuk menambah pahala, keutamaan amal ibadah, dan motivasi keagamaan, keikhlasan dan meraih kedekatan dengan Allah sedekat-dekatnya. Termasuk hadis daif boleh diamalkan untuk sebagai nasehat dan pelajaran. Riwayat mengenai kisah dan sejarah, yang secara ilmu hadis kualitasnya daif, juga boleh, tidak apa-apa, kecuali  kalau riwayat hadis atau berita itu palsu atau maudhu’, maka yang dilarang.  

Berbeda dalam hal penetapan hukum halal dan haram, tidak boleh menggunakan hadis daif, harusnya dengan hadis mutawatir, hadis sahih atau hadis hasan. 

Semoga bermanfaat. 

Pontianak, 15 Agustus 2021

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *