Awalnya saya tak mengerti, mengapa ibu menitipkan saya di ndalem Kiai Haris, kakak sepupunya itu. Bukan di asrama atau ndalem Kiai Habib maupun Nyai Hafsah, yang di mata saya lebih dekat dengan ibu.

Saya baru menemukan jawabnya setelah tiga tahun lebih menyertai kehidupan keseharian beliau. Sosok kiai yang seutuhnya, memberikan pengabdian sepanjang hidupnya di dunia keilmuan.

Soal kiprah dan perjuangannya babat alas, membangun madrasah dari puing dan reruntuhan paska peristiwa Affair Madiun, Ibu saya menjadi saksi, bahkan ikut turun gunung, keluar masuk pedesaan mengajak penduduk desa agar mau belajar di pondok.

Pilihan ibu ternyata tidak keliru. Saya bisa banyak belajar tentang pribadi dan kesehariannya yang luar biasa. Meski tak banyak ngendikan ( bicara), beliau dekat dengan siapapun dan selalu memberi rasa nyaman bagi orang-orang di sekitar. Saya yang belum cukup punya adab, dibiarkannya ngrecoki beliau, “ikut” belajar apa saja, melahap semua koleksi bukunya dan mendapat pendidikan langsung soal dasar-dasar agama, seperti fiqih dan budi pekerti.

Hal yang selalu saya ingat, tiap usai menyapu dan membersihkan ndalem, sesekali saya ikut membantu sibu ( Bu nyai Haris) menyiapkan lampu minyak yang biasa dipakai Mbah Kiai  sebagai penerang saat mbalah kitab, atau menyiapkan segelas teh hangat, sebelum beliau berangkat menuju serambi masjid.

Saya paling terkesan dengan lampu minyak, atau saya menyebutnya lampu teplok, yg beliau dijadikan sebagai piranti vital, dan tak bisa dipisahkan dengan kesehariannya, baik saat mengaji, muthalaah maupun mbalah kitab.

______________

Hari ini, saya masih belajar dari beliau, tentang dedikasi dan pengabdiannya pada dunia pendidikan, keteguhannya memegang prinsip dan kerja kerasnya serta kelembutan dan kasih sayangnya pada sesama.

Juga tentang lampu teplok itu. Saya memaknainya itu sebagai suluh bagi siapapun yang membutuhkan jalan petunjuk agar tidak tersesat. Lampu yang memberi rasa aman dan kepastian para salik bisa mencapai wushul  ilallah. 

Dan hakikat lampu itu adalah guru itu sendiri, yang tanpanya, kita tak akan pernah mengenal Tuhan.

لولا المربي ما عرفت ربي

Lahul Fatihah…

Muharram 1443 H

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *