Dalam sebuah penelitian, air yang diapresiasi akan mempunyai pengaruh positif atas air itu. Peneliti Jepang, Dr Emoto mengundang fotografer untuk memotret hasil temuannya. Air yang dibacakan doa dan perkataan baik memiliki bentuk seperti kristal salju. Adapun air yang disumpah serapahi dengan kata-kata tidak pantas seperti “Saya akan membunuhmu”, bahkan saat diucapkan tokoh diktator “Hitler”, molekul air tampak tak beraturan
Maka tidak garib, bilamana air yang didoakan plus ditirakati akan mempunyai nilai lebih. Menengok ke belakang (tanpa berniat mencari pembenar sekedar wacana lain bagi orang yang positivismenya akut), maka lelakon suwuk para kiai yang sudah mentradisi bisa dikata punya benang merah nalarinya.
Sesuatu yang dianggap hanya ‘benda’ seperti air dan sebagainya ternyata hidup (diksi Alquran gunung bisa takut, bahkan segala sesuatu bertasbih) dan benda itu patut kita apresiasi atau kita hargai. Mbah Is pernah diberitahu oleh guru spiritualnya bahwa saat kirim Fatihah supaya jangan hanya ditujukan kepada manusia, tapi juga kepada makhluk selain manusia entah padi, ataupun air dan lain sebagainya. Karena hal itu sebagai rasa terima kasih kita kepada makhluk tersebut yang telah membantu memberi energi kepada tubuh kita untuk bisa ngabekti atau menyembah Allah, sungguh holistik.
***
Kalau benda adalah “hidup” (bahkan bertasbih) dan bisa mereaksi suatu ucapan, bagaimana pula kalau itu adalah manusia. Pasti punya pengaruh. Ucapan baik kepada anak atau seseorang akan punya efek (entah sekian persen dan dalam waktu berapa lama). Saya dapat ijazah doa yang kata sang kiai bila setelah diwiridkan dan ditirakati, kita tidak boleh gampang berucap buruk kepada anak dan santri, karena doa itu punya kekuatan sebagai “sabda pandhito ratu” ataupun “idu geni”.
Menyinggung “idu geni”, jadi teringat ucapan seorang pendekar gaek, kenapa dahulu embah-embah kita kalau berludah diberi wadah, karena energi tirakatan dan wiridannya masih meresap di ludah yang bila diinjak anak cucu bisa bahaya.
Ludah atau semburan embah-embah kita memang mujarab. Banyak penyakit atau problem hidup dengan lantaran semburan ludah bisa terselesaikan, luka bekas pedang, diambilkan ludah dari cetak mulut dan dioles darah bisa mampet. Namun saat ini semburan semburan ludah malah menjadi sarana bertengkar.
***
Kalau ucapan yang buruk saja bisa berpengaruh, bagaimana pula kalau itu berupa luapan amarah, misuh-misuh dan caci maki plus dengan sound sistem menggelegar dan didengar banyak hadirin, juga disebar lewat medsos. Pasti hal itu akan lebih mudah berpengaruh karena “energi negatif” lebih mudah terserap bila itu satu frekuensi, terlebih lagi syetan dengan semangat membara pasti ikut membantu mentrasformasikan amarahnya yang memicu pendengarnya juga menjadi pemarah. Maka menahan amarah adalah penting bagi manusia walau itu sulit.
***
Dalam buku “Tambakberas: Menelisik Sejarah, Memetik Uswah”, tim Sejarah Tambakberas menulis kisah bagaimana para pejuang kemerdekaan ataupun warga NU saat melawan PKI banyak digembleng dan diijazahi doa serta hizib oleh para kiai. Kisah ini menjadi pemicu untuk memburu sanad-ijazah doa tersebut.
Karena doa atau hizib yang telah diijazahkan dan ditirakati oleh para kiai dan santri rata-rata akan menjadi wiridan (lakon rutin) bagi yang menerima ijazah. Dengan demikian doa tersebut mempunyai akumulasi “energi’ lebih daripada doa yang tidak “dilakoni’, tidak diwiridkan dan tidak diijazahkan. Kata kunci istiqomah dan sanad mengukuhkan argumen di atas.
Maka di sinilah pentingnya mencari sanad ijazah doa. Alhamdulillah kami bisa menapaki walau lambat lebih dari setahun dan harus ke sana kemari mencari dan mengumpulkan doa yang pernah diijazahkan dan diamalkan para kiai sepuh Tambakberas. Saat ini proses pentashihan.
****
Suasana para santri Tambakberas yang tidak pulang sholat subuh tadi di masjid pondok serta makam kiai sepuh Tambakberas dipotret pagi ini.
No responses yet