Dua kitab Nashihat Muluk ini merupakan karya Imam Al Mawardi dan Imam Al Ghazali. Keduanya menulis kitab nasehat untuk pemerintah pada zamannya masing-masing. Al Mawardi menulis untuk menasehati penguasa era Abasiyah, sedang Al Ghazali menasehati penguasa Saljukiyyah.

Dua kitab di bawah ini menjadi relevan kembali untuk kita kaji, terutama ketika etika bernegara kita yang akhir-akhir ini mengalami kehancuran akibat tsunami caci maki yang melanda jagad medsos negeri ini.

Ulama zaman dulu tidak turun ke jalan teriak-teriak dan mencaci maki umaro dalam menyampaikan aspirasi. Ulama wajib menyampaikan aspirasi, jika diam justru berdosa karena termasuk kategori kitmanul ilmi, menyembunyikan ilmu. Namun nasehat-nasehat ulama tersebut wajib disampaikan dengan santun dan bijak. Kepada Fir’aun saja, Nabi Musa AS diperintahkan menyampaikan nasehat dengan kata-kata yang lembut (qawlan layyina).

Al-Mawardi dan Al-Ghazali mengutip petuah-petuah bijak dari para Sahabat Nabi, pemimpin-pemimpin terkemuka Romawi dan Persia, dan filosof-filosof raksasa Yunani seperti Aristo dan Plato. Menurut mereka, kebijakan pemerintah butuh kawalan, bukan hinaan. Butuh dikritisi, bukan dicaci maki.

Berlandaskan dua kitab tersebut, rakyat Indonesia wajib menyampaikan saran dan kritik kepada pemerintah, asalkan dgn cara-cara yg ma’ruf. Selain memberi kritik konstruktif, rakyat juga sepantasnya mengapresiasi capaian-capaian kerja pemerintah yg menurut saya luar biasa.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *