ngaji digital

Ramadhan kali ini bisa dibilang paling istimewa. Betapa tidak, kajian-kajian keislaman memenuhi daring sosial. Sebutlah ini model pesantren baru, yaitu pesantren online. Di mana semua kurikulum pesantren (offline) didaras secara online. Pengasuhnya pun beragam mulai dari ustad/kiai junior hingga senior. Kitab yang dibahas juga variatif seperti tafsir, tasawuf, fikih, bahasa, sastra, sirah dan sebagainya. Metode dan sifat ngaji yang digunakan bermacam-macam. Mulai dari metode monologis hingga dialogis. Begitu juga sifat kajiannya, dari analitik-deskriptif sampai analitik-komparatif. Eforia ini menunjukkan kekayaan khazanah keilmuan dan dinamika pesantren dalam mengembangkan pemikiran keislaman di Indonesia.

Teks-teks keagamaan seperti kitab kuning yang tadinya hanya bisa diakses oleh sebagian orang, kini hadir terbuka ke ruang publik. Warganet bebas mengakses dan memilih tipe pesantren online yang sesuai dengan selera masing-masing. Banyak channel (akun FB, IG, Youtube dan medsos lainnya) yang menjadi media pesantren online telah membuat maping tentang klasifikasi dan tipologi pengasuh (kiai-ustad) dan santrinya (santri-abangan).

Pesantren online Ramadhan kali ini juga telah menciptakan suasana akademik baru dalam ngaji keislaman yang terbuka (open minded). Di mana ada ruang “kebebasan“ bagi santri online untuk memberikan saran, pertanyaan, kritik dan apresiasi seputar tema kajian. Suasana ini mungkin berbeda dengan suasana akademik di kelas-kelas perkuliahan selama ini. Santri kelas perkuliahan bercluster, tertutup dan khusus atau homogen. Sedangkan santri pesantren online bersifat terbuka dan umum atau heterogen. Di sisi lain, secara tidak langsung pesantren online juga telah membuat framing dalam selebrasi kiai-kiai atau ustad-ustad di media sosial (medsos). Layaknya selebriti, ratingnya naik bila follower, viewer dan subscriber banyak yang menyukai (like) dan berkomentar (comment). 

Keterlibatan aktor NU

Dalam kaitan ini, dibalik eforia pesantren online ini banyak didominasi kaum Nahdliyiin (orang-orang NU). Hal ini sekaligus menandakan lahirnya gerakan baru kebangkitan ulama (nahdlatul ulama) pesantren di dunia digital. Fenomena ini menjawab kegamangan sebagian yang memandang pesantren dengan sebelah mata. Bahwa pesantren hanya identik dengan literatur kitab kuning, dzikir, dan mengalami kegagapan teknologi.

Untuk itu, pesantren online menjadi langkah awal yang tepat bagi kaum Nahdliyiin berkiprah dalam dakwah digital. Lebih-lebih di era. 4.0, di mana bursa dakwah banyak digelar secara online. Kaum Nahdliyin bisa ambil bagian dalam menyuarakan Islam pesantren. Tema yang tidak mungkin disentuh oleh komunitas muslim lain. Gerakan pesantren online ini harus tetap dijaga kontinuitasnya meski di luar bulan Ramadhan.

Dalam kaitan ini, perlu kesadaran bersama baik secara individual maupun institusional membangun gerakan dakwah digital melalui pesantren online. Bagi NU, role model ini perlu dimainkan untuk memberikan alternasi lain kepada warganet dalam mengenal dunia pesantren secara umum. Setidaknya. Melalui keterlibatan aktor NU, satu sisi pesantren online bisa menjadi ruang silaturrahim, interaksi dan komunikasi virtual antara pesantren dengan warganet. Di sisi lain,  juga sebagai ajang “uji nyali” kaum pesantren berdialog dengan dunia luar untuk mentransformasi ragam pengetahuan pesantren.

Di samping itu, keberadaan pesantren yang mempunyai dua peran, satu sisi sebagai agent of intelectual education yang dilapisi dengan kontruksi keilmuan yang terstruktural (mulai dari matan, syarah hingga hasyiah), dan di sisi lain pesantren juga memiliki tanggungjawab sebagai agent of social education harus semakin diperluas jangkauan interaksinya melalui sistem online. Hal ini penting dilakukan, agar melalui pesantren online akan bermunculan santri-santri digital yang bisa berkontribusi bagi masyarakat dan negara.

Bahkan, di tengah lajunya perkembangan tehnologi, santri-santri digital yang lahir dari rahim pesantren online ini akan menjadi influencer, buzzer, youtuber, dan talent digital lainnya yang akan menghiasi ragam pengetahuan keagamaan yang moderat di tengah-tengah masyarakat. Sekaligus juga, keberadaan mereka yang tiada henti menebar nilai-nilai kebajikan, etika kepublikan, dan pesan-pesan keagamaan yang mencerdaskan dapat menopang iklim keindonesiaan sebagai negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *