Catatan Singkat Disertasi Harun al-Rasyid
Salah satu kekuatan disertasi ini adalah ditulis oleh santri yang juga praktisi. Mulai tahun 2005, Harun al-Rasyid tercatat sebagai penyidik KPK. Sejak kecil, selain belajar ilmu keislaman dari sejumlah kiai, putera Madura ini juga menempuh sekolah umum. Di Jenjang perguruan tinggi, ia menyelesaikan S1 dan S2 di Fakultas Hukum Unibraw Malang. Pada tahun 2016, sambil khitmah di KPK, ia menuntaskan disertasi di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Mengangkat kajian maqashid syariah, tepatnya berjudul “Fikih Korupsi; Analisis Politik Uang di Indonesia dalam Perspektif Maqashid al-Syaria’ah”.
Oleh disertasi ini, maqashid syariah dijadikan sebagai basis perumusan fikih korupsi. Fikih yang fokus mengurai problematika praktik politik uang di Indonesia. Ada tiga pertanyaan yang hendak dijawab. Pertama, bagaimanakah bentuk-bentuk politik uang beserta contoh kasusnya yang terjadi di Indonesia? Kedua, bagaimanakah perspektif maqashid al-syari’ah melihat masalah politik uang di Indonesia? Ketiga, bagaimana strategi mencegah praktik politik uang dengan perspektif maqashid al-syari’ah di Indonesia?
Yang menarik, metode penelitian yang dipilih adalah yuridis-fenomenologis. Titik tolaknya adalah fenomenologi Alfred Schutz (1899-1959). Dispesifikasikan lagi dengan fenomenologi agama Pierre Daniel (1848-1920) dan Joachin Wach (1898-1955). Terkait maqashid, dua tokoh yang banyak dirujuk adalah Imam al-Syathibi (790 H) dan Ibnu Asyur (1973 M). Kerangka teoritis ini digunakan untuk memahami sumber primer penelitian, tercakup di dalamnya adalah fatwa MUI, fatwa ulama NU, fatwa ulama muhammadiyah, dan putusan pengadilan terkait politik uang. Dari titik ini, dapat dipahami bahwa disertasi ini ingin berupaya mengawinkan tradisi keilmuan Timur dan Barat. Satu langkah maju dan penting.
Meskipun masih kental nuansa normatif-deskriptif, disertasi ini menawarkan delapan strategi pencegahan politik uang dalam perspektif maqashid al-syari’ah. Pertama, formalisasi konsep pidana Islam dalam legislasi nasional. Kedua, penguatan nilai-nilai syari’ah anti politik uang. Ketiga, menguatkan keyakinan dan meluruskan pemahaman agama. Keempat, konsistensi penegakan hukum terhadap politik uang. Keempat, dekonstruksi budaya pembiaran politik uang. Kelima, meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri (pemerintah). Keenam, meningkatkan fungsi kontrol dan transparansi serta akuntabilitas kebijakan. Ketujuh, membentuk hukum Islam yang progresif.
Adalah benar bahwa korupsi tidak mengenal agama. Pemeluk agama apapun dapat tergoda untuk korupsi. Namun demikian, bukankah agama sendiri dipeluk untuk menjadi pemandu cara pandang dan bertindak. Termasuk di dalamnya adalah Islam. Lantas, mengapa hingga saat ini, Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang religius, berketuhanan Yang Maha Esa ini masih berkubang pada problem korupsi?
Disertasi ini mencoba menjawabnya.
No responses yet