Oleh : Zainal Abidin

Sejarah mencatat bahwa Islam di Nusantara pernah mengalami masa kejayaannya, hal ini dibuktikan dengan banyaknya kitab-kitab keagamaan karya ulama Nusantara abad 16 hingga 20-an. Beberapa tokoh ulama yang menulis kitab-kitab saat itu ialah Abd al-Rauf Singkel (w. 1693), dengan karya Tafsir Turjuman al-Mustafid, Abd al-Samad al-Falimbani (w. 1789) dengan karya Sayr al-Salikin, Arsyad al-Banjari (w. 1812) dengan karya Sabil al-Muhtadin. KH.Sholeh Darat (w. 1903) dengan karya Syarh al-Hikam, Majmu’at al-Syariah li al-Awam. Ditambah lagi, ulama Nusantara saat itu memiliki peran yang penting hingga tingkat internasional. Beberapa diantaranya menjadi mufti dan pengajar di Mekkah, seperti Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1898) pengarang tafsir Marah Labid , ada juga Syekh Yasin Al-Fadani yang memegang sanad hadis dunia.

Kitab-kitab diatas hanyalah sampel yang menghiasi kurun abad 16 hingga 20-an awal. Namun ternyata, aksara Jawi yang menjadi ciri khas budaya Islam secara massif telah digunakan di wilayah Melayu meliputi Indonesia, Brunei, Malaysia, Patani, dan Singapura  sejak abad ke -14. Saat itu telah menjadi salah satu tulisan resmi untuk keperluan keagamaan. Keterangan ini diperkirakan Braginsky, seorang Doktor sastra Indonesia dan Malaysia yang kini mengajar di School of Oriental and African Studies, Universitas London.[1] Sedangkan menurut Oman Fathurrahman, sejak abad ke-13 penetrasi Islam bergerak semakin kuat  hingga menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa politik, dagang, agama. Inilah yang menyebabkan perubahan penting dalam sejarah dan tradisi tulis naskah.[2]

Tradisi menulis naskah dengan nuansa Islam semakin marak, hal ini dibuktikan dengan hasil pencatatan mutakhir yang dilakukan oleh Henri Chamberd-Loir dan Oman Fathurrahman menyatakan bahwa terdapat sekitar 5000 manuskrip Melayu, baik yang disimpan di dalam dan di luar negeri. Itupun belum ditambah pendataan oleh Lembaga Malaysia dan Brunei Darussalam yang memperoleh ribuan naskah Melayu di berbagai tempat.[3] Manuskrip-manuskrip inilah yang menjadi saksi atas kejayaan Islam saat itu. Bagaimana sikap kehidupan antar masyarakat, kondisi sosial, ajaran tasawuf hingga konsep teologi yang berkembang saat itu terekam di lembaran-lembaran naskah.

Selanjutnya naskah-naskah kuno itu tak mungkin akan terbaca oleh generasi sekarang karena terjadi distingsi atau jarak yang lama antara masa lalu dan masa kini. Aksara dan bahasa yang digunakan pun telah mengalami perubahan. Sehingga diperlukan sebuah alat yang bisa menjembatani keterpautan ini. Disinilah kegunaan ilmu filologi, karena filologi is about reading manuscripts. Dengan filologi teks kuno dapat dicek kebenarannya, bisa dilakukan penyuntingan jika ada kesalahan, transliterasi bahkan penerjemahan agar bisa dibaca oleh khalayak masa kini.

 

Kajian Filologi Semakin Eksis

Saat ini kajian naskah di Indonesia semakin eksis. Beberapa minggu lalu, Perpustakaan Nasional baru selesai menyelenggarakan Festival Naskah Nusantara jilid IV yang berlangsung dari tanggal 17-23 September. Kegiatan yang bertajuk Relevansi, konstektualisasi, dan aktualisasi nilai-nilai kearifan dalam naskah nusantara menuju Indonesia maju ini banyak dikunjungi oleh akademisi dan masyarakat umum.  Dalam festival tersebut banyak diselenggarakan seminar tentang potensi kemajuan, termasuk salah satunya dari Kementerian Agama. Upaya pemerintah untuk memperhatikan naskah-naskah Nusantara termasuk manuskrip Agama Islam, ternyata disambut baik oleh akademisi dan pecinta kajian naskah.

Selain adanya pergerakan yang dilakukan oleh Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), sekarang muncul sayap-sayap komunitas dan kelompok diskusi seperti Islam Nusantara Center, Lingkar Filologi Ciputat dan Komunitas Jagongan Naskah Yogyakarta. Islam Nusantara Center memiliki corak khas dalam diskusi naskah karya ulama dan sejarah Isam Nusantara dengan kajian yang digelar tiap sabtunya. Lingkar Filologi Ciputat sendiri baru saja diluncurkan dengan menggelar Ngobrol Filologi dengan tema membangun generasi muda cinta manuskrip. Sedangkan komunitas Jagongan Naskah Yogyakarta bekerjasama dengan Pawiyatan Macapat Kadipaten Pakualaman juga telah menggelar diskusi mengenai dokumentasi estetis-literer seni tari Paku Alam IV.

Sedangkan di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga mulai menyemarakkan kajian-kajian naskah manuskrip. Bahkan, sekarang mata kuliah filologi bukan hanya diterima di Fakultas Adab dan Humaniora, ada juga di Fakultas Ushuluddin dan Tarbiyah. Dengan semakin maraknya kajian-kajian naskah, kemungkinan ‘kutukan’ filologi yang disebut tidak menarik, tidak seksi, membosankan dan tidak populer akan luntur dengan sendirinya.

Membawa Manuskrip Agama Menuju Peradaban Bangsa

Dalam QS.An- Nisa’; 9 berbunyi…hendaklah orang-orang takut kepada Allah, bila seandainya mereka meninggalkan anak-anaknya, yang dalam keadaan lemah, yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) mereka….Hal ini menjadi petunjuk agar suatu bangsa memperhatikan kesejahteraan generasinya, takut jika generasinya lemah.  Salah satu usaha untuk menjaga kesejahteraaan bangsa yaitu melalui peninggalan keilmuan dan karya-karya.

Manuskrip agama Islam perlu disepakati bahwa disana menyimpan banyak ilmu dan kekayaan yang merupakan identitas bangsa Indonesia. Setelah menyepakati hal itu, seluruh elemen masyarakat perlu mendukung upaya pemerintah dalam menyelamatkan naskah-naskah kuno. Seperti apa yang disampaikan Prof. Dr. Titik Pudjiastuti saat pidato mendapatkan gelar Guru Besar Filologi,  bangsa Indonesia harus sadar betul bahwa naskah merupakan harta pusaka yang harus dirawat dan terus dikaji oleh bangsa Indonesia. Sehingga tidak akan terjadi jual beli naskah kuno ke orang asing, yang justru menghilangkan identitas bangsa kita.  Sedangkan para akademisi dan pecinta naskah terus menggali naskah-naskah yang belum terungkap hingga didigitalisasi.

Semangat yang dibangun untuk menggali  manuskrip agama dan karya ulama-ulama
Nusantara ini sama dengan semangat yang dipakai oleh Syaikh Rifa’ah Badawi Rafi’
al-Tahtawi dalam upaya menggelorakan kebangkitan pemikiran Arab Islam modern,
yaitu mengembalikan akar tradisi yang pernah ada yang bersumber pada manuskrip manuskrip. Proyek awal Tahtawi yaitu mentahqiq kitab-kitab ummahatul kutub,
setelah itu dicetak, disebarluaskan dan ditanamkan kesadaran bahwa itu merupakan
pondasi peradaban, akar kebudayaan dan sebuah identitas. Maka saat itu mulailah
menyebar kembali buku-buku penting seperti Muqaddimah-nya Ibnu Khaldun dan
lainnya[4].

Setelah semuanya bersinergi untuk merawat dan mengembangkan khazanah naskah agama Nusantara, maka peradaban bangsa yang dibangun atas jatidiri Indonesia pasti akan terwujud.

 

 

 

[1] Pamflet Aksara dan Bahasa dalam Literatur Keislaman di Nusantara, pengenalan mengenai Bayt Al-Quran & Museum Istiqlal Lajnah Pentashihan Al-Quran Kementrian Agama RI

[2] Oman Fathurrahman, Filologi Indonesia, Jakarta : UIN Jakarta Press, 2017, hal. 42

[3] Pamflet Aksara dan Bahasa dalam Literatur Keislaman di Nusantara, pengenalan mengenai Bayt Al-Quran & Museum Istiqlal Lajnah Pentashihan Al-Quran Kementrian Agama RI

[4] Disampaikan oleh Ginanjar Sya’ban. Direktur Islam Nusantara Center dalam Kajian
Manuskrip & Keragaman Keagamaan di Indonesia pada 7 April 2018. Bisa cek video dalam facebook
Islam Nusantara Center

17 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *