A Ginanjar Sya’ban

~ Tahun 1955, Presiden Soekarno mengundang dua orang pelantun al-Qur’an (qari) termasyhur di dunia pada masa itu, yaitu Syaikh Abdul Basith Abdul Shamad dan Syaikh Muhammad al-Minsyawi. Keduanya berasal dari Mesir.

Semua umat Islam di muka bumi pada waktu itu bisa dipastikan mengenal dua syaikh legendaris tersebut. Syaikh Abdul Basith dijuluki dengan “pemilik suara langit”, sementara Syaikh Muhammad al-Minsyawi dijuluki dengan “syaikh yang bacaan al-Qur’annya akan membuat menangis siapapun yang mendengarnya”, saking merdu, syahdu, dan indah suara bacaan tersebut.

Saat itu adalah kunjungan pertama kalinya baik bagi Syaikh Abdul Basith ataupun Syaikh Muhammad al-Minsyawi ke Indonesia. Kedua ulama besar itu mengunjungi dan melantunkan bacaan al-Qur’an dalam majlis yang ramai sesak dihadiri ribuan Muslim Indonesia di beberapa tempat.

Tahun-tahun masa pemerintahan Presiden Soekarno ada banyak ulama besar al-Azhar dari Mesir yang datang mengunjungi Indonesia atas undangannya. Hal ini karena Mesir pada masa itu adalah salah satu sahabat terdekat Indonesia.

Syaikh Muhammad al-Minsyawi sangat terkesan dengan kunjungannya ke Indonesia waktu itu. Hal ini sebagaimana ia kemukakan dalam surat yang ditulis dan dikirimkannya kepada putranya di Mesir dari Indonesia, yaitu Saudi al-Minsyawi. Dalam surat itu, Syaikh Muhammad al-Minsyawi menulis:

لم أر استقبالًا لأهل القرآن أعظم من استقبال الشعب الإندونيسي الذي يعشق القرآن، بل ويستمع إليه في إنصات شديد، ويظل هذا الشعب واقفًا يبكي طوال قراءة القرآن؛ مما أبكاني من هذا الإجلال الحقيقي من الشعب الإندونيسي المسلم وتبجيله لكتاب الله

(Aku tidak pernah melihat sambutan yang lebih agung terhadap para ahli al-Qur’an daripada sambutan Muslim Indonesia. Mereka adalah para perindu dan pecinta al-Qur’an. Mereka mendengar lantunan bacaan al-Qur’an [yang aku kumandangkan] dengan demikian khusyuk [seksama]. Sepanjang aku melantunkan bacaan al-Qur’an, mereka tak henti-hentinya menangis. Hal ini menjadikanku ikut menangis oleh sikap takzim mereka yang tulus dan pengagungan mereka yang demikian besar terhadap al-Qur’an)

Saya belum mendapatkan data lebih jauh, apakah kedua syaikh al-qurra dari Mesir itu juga mengunjungi beberapa pesantren al-Qur’an tua di Jawa atau tidak, seperti pesantren Yanbu’ul Qur’an di Kudus asuhan KH. Arwani Amin, pesantren al-Qur’an di Betengan Demak asuhan KH. Muhammad b. Mahfuzh Tremas (putra Syaikh Mahfuzh Tremas yang wafat di Makkah), juga pesantren al-Munawwir di Krapyak Yogyakarta asuhan KH. Munawwir. Tiga pesantren tersebut pada masa itu bisa dikatakan sebagai “induk semua pesantren al-Qur’an di Jawa”.

Kunjungan dua ulama besar al-Qur’an pada tahun 1955 ke Indonesia itu telah berlalu 63 tahun yang lalu (saat ini tahun 2018). Ada banyak yang berubah dari umat Muslim negeri ini. Ada banyak juga yang hilang. Di antaranya adalah: “ilmu, adab, dan rasa saling cinta serta saling asuh terhadap sesama mereka”.

يا ريت تعود يا زمان
بيرجع حبيبي وبيرجع حبيبي متل ما كنّا من زمان

(Ah andai saja engkau memutar waktu kembali duhai masa.
Mengembalikan kekasihku, mengembalikan kekasihku, sebagaimana kita mesra dahulu kala)

Bandung, Safar 1440 Hijri/ Oktober 2018 Masehi
Alfaqir A. Ginanjar Sya’ban

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *