Oleh : Sofiuddin, MA. (Penulis)
Ratusan bahkan mungkin ribuan statement, argumen-argumen, berbagai metode dan pendekatan yang dibangun oleh HTI sebetulnya dapat disimpulkan hanya bermuara pada satu titik yaitu keinginan untuk menegakkan Khilāfah Islāmiyah di Indonesia. Oleh karena itu, apapun tesis, anti-tesis dan sintesisnya sudah dapat dipastikan akan terus terjadi debatable.
Menegakkan Khilāfah Islāmiyah di Indonesia didasari oleh beberapa faktor, di antaranya; Pertama, keinginan kuat untuk melaksanakan syariat dalam negara ini secara totalitas karena NKRI dinilai bukan produk syar’i. Kedua, sikap militan untuk melakukan perlawanan terhadap para penjajah, kapitalisme, liberalisme dan lain sebagainya, baik bersumber dari “asing maupun aseng”.
Ketiga, ketidak-puasan terhadap suatu kekuasaan yang dinilai lamban dalam menyelesaikan masalah-masalah umat, bangsa dan negara. Keempat, banyaknya para pemangku kebijakan yang dianggap sudah berulangkali melakukan kedustaan. Kelima, romantisme masa lalu sebagai barometer kesuksesan dan lain sebagainya.
Di samping itu, HTI seringkali menyampaikan hadis yang artinya; “Akan datang kepada masyarakat tahun-tahun yang penuh tipuan. Pada tahun-tahun itu pembohong dipandang benar, orang yang benar dianggap bohong. Pada tahun-tahun tersebut penghianat diberikan amanat, sedangkan orang-orang yang amanat dianggap penghianat. Pada saat itu yang berbicara adalah Ruwaibiḍah. Para sahabat Nabi bertanya: Apakah Ruwaibidhah itu?
Nabi menjawab; Ruwaibiḍah adalah orang-orang bodoh yang berbicara atau yang mengurusi urusan umum atau publik. Disebutkan dalam riwayat lain, Ruwaibiḍah adalah orang fasik yang berbicara atau yang mengurusi urusan umum (publik)”. Hadis ini merupakan salah satu hadis andalan dari HTI untuk menyatakan bahwa kelompoknya adalah yang paling benar, sedangkan yang lainnya dianggap salah.
Pemahaman tersebut penting untuk diluruskan karena untuk merealisasikan bentuk dan format negara Indonesia yang ideal dan relevan adalah merujuk kembali pada substansi Piagam Madinah yang sangat memerhatikan dan melindungi pokok-pokok ajaran Islam, yakni negara bersedia melindungi agama, suara agama diperhatikan oleh negara serta memberikan ruang agar agama dapat bergerak bebas. Interpretasi substansi tersebut melahirkan negara bangsa (nation state) yang berdasarkan Pancasila.
Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah yaitu melalui pendekatan konsolidasi dan rekonsiliasi dengan HTI secara damai dan berjalan dengan tetap mengindahkan prosedural UU dan hukum, sosialisasi dalam bentuk seminar, lokakarya, simposium, workshop, training, penelitian dan lain sebagainya yang mengarah pada keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Barisan keamanan dan militer cenderung menggunakan soft approach untuk menanggulanginya, dibandingkan hard approach yang dapat dipastikan akan menimbulkan konflik dan banyak korban berguguran.
Menyikapi fenomena demikian, para ulama dan cendekiawan pun turut serta merumuskan dakwah Ahli al-Sunnah wa al-Jamā’ah (Aswaja) yang berisi; substansi dan jabaran materi dakwah Aswaja kebangsaan, strategi, metode dan macam-macam pendekatannya, pengelolaan dakwah bi al-ḥāl bela negara, menyusun rencana dakwah yang diperbaharui setiap tahun, merumuskan hubungan Islam dan Pancasila, UUD 1945, ke-Bhinneka-an dan NKRI, merumuskan prinsip-prinsip Piagam Madinah yang dikorelasikan dengan konteks ke-Indonesia-an, Islam Raḥmatan li al-Ālamīn, nilai-nilai Aswaja berikut implementasinya dalam realitas kebangsaan.
Langkah pemerintah dan para ulama tersebut bertujuan agar eksistensi NKRI dapat teguh kembali. Di samping itu, diharapkan bagi umat Islam Indonesia untuk kembali pada ajaran Islam yang santun, bijak, toleran dan tegas dalam bersikap sebagaimana yang sudah diteladankan oleh Rasūlullāh Muḥammad SAW dan diteruskan oleh ulama Aswaja.
Permasalahan-permasalahan umat, bangsa dan negara Indonesia sebetulnya sangat kompleks, yakni meliputi; serangan narkoba, meningkatnya kemiskinan, kelaparan dan pengangguran yang belum teratasi dengan baik oleh pemerintah. Korupsi yang semakin merajalela, banyaknya oknum-oknum birokrasi yang saling lempar tanggung jawab, prostitusi dan lokalisasi, eksploitasi yang sudah dan terus dilakukan asing dan aseng terhadap Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia, meluasnya Kristenisasi yang tidak suportif, ancaman neo-liberalisme, kapitalisme dan neo-komunisme, hukum yang masih lemah, ekonomi yang belum mensejahterakan rakyat, krisis kepemimpinan, proxy war, degradasi moral, keberpihakan media terhadap kepentingan tertentu, derasnya aliran-aliran yang dianggap menyesatkan dan lain sebagainya.
Berdasarkan paparan di atas, tentu common enemy kita bersama bukanlah NKRI sebagai musuh bebuyutan HTI ataupun sebaliknya, yaitu HTI sebagai musuh bebuyutan NKRI. Common enemy yang sesungguhnya adalah berbagai masalah di atas yang perlu disikapi dengan cara yang bijak, bukan justru melakukan pembongkaran NKRI, kemudian menegakkan negara baru di dalam negara.
Upaya-upaya untuk terus mencari rumusan yang kritis, sistematis, holistik, integral, ideal dan relevan terkait harmoni para pendukung NKRI-HTI, pada hakikatnya adalah tugas semua orang, baik atas nama para pemangku kebijakan, para pendukung NKRI dan para pendukung HTI, karena semuanya memiliki misi yang sama yaitu membangun negeri ini menjadi kuat, maju, berperadaban, tegaknya supremasi hukum, rakyat yang sejahtera dan ajaran Islam bisa dilaksanakan dengan baik sehingga menciptakan baldatun tayyibatun wa rabbun ghafūr.
Kuatnya semangat juang dan misi militan dari para aktivis bela NKRI dan HTI merupakan modal besar untuk kesuksesan agama Islam dan negara ini apabila berhasil diharmonisasikan. HTI mempunyai misi mengubah kemustahilan menuju keajaiban dengan mendirikan Khilāfah Islāmiyah di Indonesia.
Lain halnya dengan penulis yang mempunyai misi mengubah kemustahilan menuju keajaiban dengan mengharmonisasikan antara NKRI-HTI agar persatuan dan kesatuan umat Islam dan bangsa ini menuju keutuhan NKRI dapat terwujud. Meskipun hal ini akan sulit terealisir, penulis sangat berharap bahwa ma’unah Allāh SWT dan syafaat Rasūlillāh Muḥammad SAW akan datang di hari kelak nanti.
Buku ini merupakan kompilasi pemikiran KH. Ahmad Hasyim Muzadi terkait Hizbut tahrir (HT) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang penulis perkuat dengan tinjauan literatur dan pandangan-pandangan dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Republik Indonesia dan lain sebagainya.
Di samping itu, penulis juga menghadirkan pandangan dari para pengurus HTI, adobted book (manshūrāt) yang menjadi rujukan utama HTI dan pandangan dari para aktivis-aktivisnya. Tujuan utamanya adalah agar tinjauan melalui dua sisi tersebut dapat ditemukan problem solving-nya sebagaimana grand design yang penulis promosikan yaitu “NKRI membimbing HTI, HTI membimbing umat”. Di samping itu, dikaryanya buku starter ini sebagai salah satu upaya seorang santri untuk melaksanakan wasiat dari guru tercinta KH. Ahmad Hasyim Muzadi yang menyatakan;
“Perjuangan Ahli Sunnah wa al- Jamâ’ah (Aswaja) al-Nahdhiyyah bela negara sampai titik penghabisan. Saya mengingatkan kepada para ulama pesantren dan semua yang hadir, sekaranglah saatnya untuk melakukan bela agama dan negara. Keduanya harus bersama-sama, berjalan dalam korelasi yang sehat antara kepentingan agama dan negara. Kuatkan Aswaja al-Nahdhiyyah, hubungkan Aswaja al-Nahdhiyyah dengan perilaku masyarakat dan Aswaja al-Nahdhiyyah dengan bela negara dengan tidak meninggalkan al-al-amru bi al-ma’rûf’ wa al-nahyu ‘an al-munkar”.
Tanda-tanda Indonesia tidak selamat sudah tampak, tanda-tanda tidak jelas nya akar masalah pun sudah nampak. Merapatkan barisan menjadi hal urgen saat ini, melepaskan egoisme pribadi untuk kepentingan masyarakat Indonesia”.
DATA BUKU :
Judul Buku : Gerakan Politik Hizbut Tahrir Indonesia: Mampukah Menjadi Gerakan Dakwah?
Penulis : Sofiuddin
Penerbit : Pustaka Compass tahun 2017
Tebal : 14,7 x 20,8 cm + 192 halaman
INFO / Pemesan Buku, Hub. 081384478968 (Lia)
LIhat Cuplikan VIDEO Diskusi Buku “Gerakan Politik HTI : Mampukan Menjadi Gerakan Dakwah?”
No responses yet