Ghettoisasi sosial seperti sekarang, dengan aparatus-aparatus mentalnya — isolasi diri, distansiasi fisik, lockdown, pembatasan sosial berskala, kampanye ‘di rumah saja’, dst. — seakan memunculkan paradoks di tengah masyarakat kita hari ini. 

Orang seakan menemukan ketenangannya di balon-balon ruang pribadinya di rumah masing-masing, seakan mengatakan: biarpun “di luar sana” tak aman, yang penting kita “di sini” aman. Plusnya, barangkali ada sedikit kesejukan berkumpul dengan keluarga. Ada keintiman baru yang dirasakan. Namun minusnya, ada ilusi pembiaran atas nasib “orang di luar sana”: orang tiba-tiba menjadi tak berperasaan, dingin, asosial. Dia tak tahu atau terkadang tak mau tahu, di luar sana ada jutaan saudaranya yang sedang mengalami ketakutan dan kecemasan karena kehilangan pekerjaan, terancam kelaparan. Dia tak tahu atau tak mau tahu, di luar sana sedang terjadi “chaos”.

Individualisme masyarakat modern, sepanjang Covid-19 ini, perlahan berubah menjadi immoralitas, bahkan kadang kebiadaban. Ilustrasinya yang ekstrem, dalam sejarah kebiadaban bangsa-bangsa modern, adalah pembiaran sebagian masyarakat Jerman pada Perang Dunia menyaksikan warga Yahudi satu per satu dikirim ke kamp-kamp gas; hanya menyaksikan dari jauh tanpa protes moral.

Indonesia barangkali sedang mengarah kepada potensi “chaos”. “Chaos” itu mulai dipicu oleh frustrasi yang dirasakan kaum miskin kota dari para buruh yang di-PHK yang kini jumlahnya 1 juta lebih, juga basis-basis warga yang tak tersentuh skema bantuan “sosial” pemerintah (yang sering kali salah sasaran dan masih dikorupsi pula). Pemerintah baru menetapkan anggaran jaminan sosial untuk 3 bulan. Belum ada jaminan selepas 3 bulan. Potensi “chaos” itu bisa terus melebar.

Sebagian kita yang berpedoman “lebih baik di rumah daripada memperburuk keadaan” tak bisa sepenuhnya disalahkan. Kita memilih sikap itu karena keterbatasan situasi. Namun, prakondisi apa yang membuat situasi sempit dan terbatas? Itu jarang disentuh. 

Sebagian kita tak punya pilihan karena memang dibuat tak punya pilihan oleh dua hal: pemerintahan yang buruk dan sok otoriter (kurang demokratis), yang memaksakan diri bertindak sebagai penyelamat, serta spirit moral kapitalisme yang membatasi pilihan moral sebagian kita hanya sebagai “penonton” daripada agensi aktif perubahan, khas masyarakat konsumeris yang “pasif” dan “mudah dibuat percaya (dihipnotis)” sehingga tidak memiliki kesadaran kritis  (lagi) atas pilihan-pilihan tindakannya (selain hanya memikirkan keuntungan dirinya). 

Keberagamaan yang tekstualis dan hanya sibuk dengan klaim keselamatan, hanya akan memperkuat kedua faktor ini. Kepada yang pertama, keberagamaan ini akan melegitimasi: “ikutilah anjuran pemerintah untuk lockdown”. Titik, tanpa ada tawaran utuh mengatasi krisis yang akan menimpa kaum Mustadl’afin — kecuali beberapa upaya menggalang donasi yang patut diapresiasi. Kepada yang kedua (spirit moral kapitalisme), keberagamaan ini memberi dukungan: “berpasiflah selama wabah, cukup di rumah saja, memperbanyak doa”. Doa sangat diperlukan, sebagai ketahanan batin dan upaya pertolongan kosmik yang paling luas dan berdimensi jauh, namun perlu ikhtiar lebih untuk membantu mereka yang benar-benar sedang terlilit lapar. Seperti Sayyidina Umar yang memikul berkarung makanan kala mendengar suara kelaparan dari bilik rumah rakyatnya, kala musibah kemiskinan menimpa kota Madinah.

Bagaimana meretas ghettoisasi ini? Tuntutlah lebih keras pemerintah untuk benar-benar melaksanakan program jaminan sosial terus-menerus, sebagaimana amanat konstitusi. Menanggung kebutuhan jutaan rakyat dengan sembako murah (atau gratis), uang belanja pokok, kesehatan gratis, dst. Hilangkan mentalitas culas, korup, dan oportunis dalam amanat jaminan sosial.

Ada yang ganjil. Sementara di dalam negeri ribuan pekerja kesehatan butuh APD menghadapi Covid-19, pemerintah dengan entengnya menjual APD ke luar negeri untuk dikomersialkan. Contoh mentalitas korup-kapitalistik.

Di sisi lain, sia-sia jika amanat jaminan sosial dibebankan lagi kepada rakyat melalui pinjaman hutang kepada IMF atau Bank Dunia. Musibah rakyat tahun 2020 janganlah menjadi musibah bagi rakyat tahun 2030 atau 2050. Dana jaminan sosial harus diambil sekarang juga dari semua laba yang dikumpulkan para pengusaha melalui pungutan wajib selama krisis. Termasuk alokasi pembangunan ibu kota baru dan infrastruktur- infrastruktur boros (tol, bandara, dll). Semua yang berlebih harus dipangkas untuk (dipaksa) berbagi dengan yang kekurangan.

Problem di masa krisis hanya satu, seperti 1998: terlalu banyak uang yang hendak diselamatkan oleh segelintir kecil orang untuk kepentingan mereka di masa depan, saat terlalu sedikit uang yang dimiliki banyak sekali orang untuk kebutuhan mereka hari ini. 

Ghettoisasi — mengurung diri bahkan hingga setahun ke depan — hanya upaya cari selamat. Tapi tidak akan menyelamatkan bangsa ini. Kita butuh agama dan politik yang tak hanya mengajarkan “cari selamat”, tapi juga “menyelamatkan”. Agama dan politik yang menjadi “syafa’at” (pertolongan) bagi kemanusiaan.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *