Perlu ada jalan ijtihad baru atas masih kuatnya cengkeraman nalar kapitalistik dalam Zakat.

Salah satunya, mencari acuan konstanta Zakat Mal (Zakat Harta) pengganti Emas dan Perak.

Emas dan perak, kita tahu, mendapat keistimewaan dalam hukum Zakat, karena keduanya dinilai paling stabil harganya, sehingga menjadi konstanta acuan Nishab (batas minimal wajib Zakat). Emas dan perak menjadi acuan penentuan wajib Zakat Perdagangan, Zakat Profesi, Zakat Barang-barang Investasi, dan lain-lain.

Mengapa acuan ini tidak berubah sekian lama? Karena tidak ada tinjauan atas latar belakang industri ekstraktif dan kapitalisme di baliknya. Tidak ada tinjauan atas produksi Emas dan Perak itu sendiri, bagaimana ia lahir dan dengan cara apa dilahirkan.

Tanpa tinjauan ini, diam-diam hukum Islam ikut melegitimasi masih terus eksisnya bisnis pertambangan emas dan perak. Terbukti, bisnis itu telah merusak alam dan melanggengkan penindasan dan ketertindasan di mana-mana. 

Ambil contoh, tambang emas di Gunung Tumpang Pitu pada gambar berikut. Selain memakan korban rakyat, bisnis ini benar-benar menjadi sumber bencana bagi keelokan gunung dan pesisir pantai Tumpang Pitu yang kini sumbing oleh kerakusan para kapitalis (PT BSI, Merdeka Gold & Copper).

Contoh-contoh lain dari Sabang sampai Merauke banyak.

Konstanta alternatif pengganti emas dan perak harus memiliki ciri-ciri ini: nilainya relatif setara di berbagai tempat dan stabil, mudah dikonversi, dan punya nilai tinggi. Dalam masyarakat yang dibelenggu kapitalisme sekarang ini, konstanta alternatif ini benar-benar harus dipikirkan.

Hukum Zakat masih berlumur aroma tambang. Umat Islam tidak bisa lagi memakai acuan berabad lampau ketika tambang masih dilakukan secara manual dan emas masih menjadi penanda prestise sosial. Di era ketika tambang hari ini telah menjadi proyek yang solid di bawah kaki-tangan korporasi, dan barang komoditas kapitalistik, perlu perubahan dan kontekstualisasi hukum, demi tegaknya kemaslahatan sejati oleh Syariat Islam.

Setelah sejumlah “kiai poros” seperti Kiai Ali (Agoes Ali Masyhuri) merestui dan mendukung persekawanan yang lebih erat antara NU dan FPI, karena alasan utama mendekatkan NU dengan elemen Habaib, serta rekonsiliasi nasional pasca-Pilpres antara pendukung dua kubu, sepertinya konstelasi upaya “deradikalisasi” di kalangan internal NU, khususnya kaum muda struktural, akan berubah. Mereka akan dipaksa mendefinisikan ulang konsep-konsep kunci seperti “radikal” dan “intoleran” untuk menyesuaikan diri dengan konstelasi baru ini. 

Otomatis, definisi “radikalisme” yang banyak dipungut dari pola pikir liberalisme Islam yang banyak dianut oleh kaum muda struktural ini, pelan-pelan akan ditinggalkan. Akan terjadi bersamaan dengan itu suatu “deliberalisasi” diam-diam. Ini sekaligus sinyal kemenangan kaum tradisionalis  (pro-Salaf, pro-Habaib) atas kaum intelektual Nahdliyin dari unsur muda yang mengadopsi strategi deradikalisasi dari pola pikir liberalisme Islam.

Semua konstelasi ini tentu pergolakan internal yang punya keterbatasan sendiri. Dinamikanya tetap menyimpan ilusi, karena seolah-olah jika NU dan FPI bergandengan tangan otomatis semua persoalan sudah baik. Padahal, dibutuhkan lebih dari itu. Dibutuhkan kesepakatan bersama mengenai visi tentang demokrasi (ketika FPI dalam pengalaman masa lalu banyak memusuhi elemen pro-demokrasi dalam isu-isu HAM, bahkan dicap fasis, dll), tentang kedaulatan rakyat, dan seterusnya. Ukhuwah keagamaan adalah fondasi. Tapi fondasi itu perlu dilanjutkan pada ukhuwah politik berbasis kerakyatan.

Secara politis, persekawanan NU dan FPI akan jadi pergunjingan para pengamat Islam: apakah benar terjadi rekonsiliasi antara Islam Kultural dan Islam Politik? Kalau iya, untuk apa dan kepentingan siapa?

Pandangan Islam Progresif tetap melihat keterbatasan: semua koalisi dan konfigurasi ini hanya akan menguntungkan oligarki, karena basis Islam Populis yang sedang dibangun NU dan FPI hari ini masih terjerat dalam relasi kuasa dengan elite-elite di pemerintahan.

Masih jauh jika Islam Indonesia harus berbicara tentang Bolivia atau nasib demokrasi di dunia. Membereskan demokrasi di dalam negeri, relasi dengan oligarki, dan relasi dengan gerakan rakyat  (pro-demokrasi); hal-hal pokok ini saja “kita” belum selesai. Ini akibat satu hal: kita belum seiya-sekata berkata “tidak” pada kaum elite dan pemodal dan “ya” kepada demokrasi rakyat dan kaum tertindas.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *