Tangerang Selatan, jaringansantri.com –
Usai Perang Jawa pada 1830, dikiranya Jawa sudah selesai ditaklukkan. Nyatanya tidak. Hal tersebut justru merupakan babak baru yang sangat menentukan bagi sejarah perkembangan Islam di Nusantara.
Pasalnya, pascaperang tersebut, Islam tidak semakin terpuruk karena banyaknya pasukan yang meninggal, justru Islam kian bangkit di Tanah Jawa dan bahkan Nusantara.
“Kebangkitan intelektual Jawa itu mengalami renaisans setelah masa Diponegoro,” ujar Ahmad Ginanjar Sya’ban, Direktur Islam Nusantara Center (INC), saat diskusi di INC Jalan Ir H Juanda, Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (11/5).
Hal tersebut, menurutnya, ditandai dengan persebaran ulama pasukan Diponegoro itu ke berbagai daerah di Jawa dan Madura. Mereka, lanjutnya, mendirikan pusat tradisi keilmuan di sana, seperti Tremas, Ponorogo, Jombang, Lirboyo, dan beberapa pondok di Jawa Barat.
“Itu yang menjadi pusat tradisi pemikiran keilmuan Islam,” kata pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) itu.
Di samping itu, lanjutnya, pascaperang tersebut juga semakin banyak orang Nusantara yang bergerak menuju Mekah guna menggali keilmuan agama dari tanah kelahirannya.
“Setelah perang Diponegoro, arus migrasi orang Nusantara ke Mekah itu berkali-kali lipat,” kata alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir itu.
Hal tersebut, katanya, terjadi setelah tahun 1850-an. Banyak ulama yang menjadi buruan para penjajah pergi ke Mekah. Era awal tersebut merupakan masanya guru-guru Syekh Nawawi al-Bantani, seperti Syekh Ahmad Khotib Syambas, Syekh Abdul Ghani Bima, Syekh Ismail Kholidi Minangkabau, Syekh Arsyad Abdul Fattah Bugis, dan Syekh Muhammad Zen Banten.
Para ulama tersebut menulis untaian kasidah khusus untuk Sultan Turki Utsmani yang menjabat kala itu, Sultan Abdul Majid Khan, dengan judul al-Qaul al-Sadid fi Dzikri Mazaya Maulana Sulthan Abdil Majid. Saat itu, Kesultanan Turki Utsmani sedang terlibat perang dengan Kekaisaran Rusia.
Dalam perang Diponegoro tersebut, para ulama diperangi dengan hebatnya, tetapi tidak malah semakin habis. Di sisi lain, setelah perang, mereka semakin banyak mengingat dua hal tersebut di atas, yakni tumbuhnya pusat tradisi intelektual pesantren dan migrasi para santri dan kiai ke Mekah. (Syakir NF/Abdullah Alawi)
Sumber:  NU Online

One response

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *