Gus Dur menyebutkan:

“Seorang muslim yang menyatakan bahwa Ulil itu anti muslim, akan terkena sabda Nabi Muhammad shollallohu `alaihi wasallam: “Barangsiapa yang mengkafirkan saudara yang beragama Islam, justru ia kafir” (man kaffara akhohu musliman  fahuwa kafir).

Gus Dur, Sekadar Mendahului, hlm. 290; Islamku Islam Anda Islam Kita, hlm. 143.

Pernyataan Gus Dur tentang “man kaffara akhohu musliman fahuwa kafir”, saya belum bisa  menemukan redaksi demikian dalam beberapa ensiklopedi hadits. Hanya saja, substansi isinya dapat ditemukan dari beberapa hadits yang berhubungan dengan ini:

  1. Nabi Muhammad bersabda: “Man kaffara akhohu  faqod ba’a bihi ahaduhuma” (barangsiapa yang mengkafirkan saudaranya maka sungguh kembali kepada salah satu di antara keduanya). Hadits ini disebut Khatib Baghdadi dari jalur sahabat Ibnu Umar, dalam Tarikh Baghdad IX: 63, No. 4647, sebagaimana dijelaskan dalam kutipan catatan kaki pada kitab Jam’ul Jawami, jilid X: 118.
  2. Nabi Muhammad juga bersabda: “Ayyuma rojulin qola li akhihi ya kafir faqod ba’a biha ahaduhuma” (siapa saja seorang yang berkata kepada saudaranya “hai kafir”, maka perkataan itu kembali kepada salah satu di antara keduanya). Hadits ini diriwayatkan Imam Bukhari pada  No. 6104.
  3. Nabi Muhammad juga bersabda: “Idza qola  ar-rojulu li akhihi  ya kafir faqod ba’a bihi ahaduhuma” (Tatkala seseorang berkata kepada saudaranya “hai kafir” maka sungguh kembali kepada  salah satu di antara keduanya). Hadits ini diriwayatkan Imam Bukhori, pada No. 6103.
  4. Nabi Muhammad juga bersabda: “Janganlah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan, dan tidak pula menuduhnya dengan kekafiran, melainkan akan kembali kepadanya, jika orang yang dituduh tidak seperti itu.” Hadits ini diriwayatkan Imam Bukhari, pada No. 6045.
  5. Ada juga hadits Nabi bersabda: “…barangsiapa melaknat seorang yang beriman, maka ia sama seperti membunuhnya, dan barangsiapa menuduh seorang mukmin sebagai kafir, maka sama seperti membunuhnya.” Hadits ini diriwayatkan Imam Bukhari, pada No. 6047.

Hadits-hadits di atas, intisarinya adalah larangan mengkafirkan kepada saudaranya, yang muslim. Kufur sendiri itu maknanya menutupi, yang kemudian digunakan untuk konteks menutupi kebenaran. 

Sembarangan mengkafirkan saudaranya yang muslim  sangatlah fatal, karena jangan-jangan kita sendiri lebih buruk dari apa yang dikatakan, maka pengkafiran itu jatuh kepada diri kita sendiri. Selama seorang masih bersyahadat dan mengaku sembahyang itu wajib, maka dia adalah seorang muslim, karena seseorang itu bisa disebut muslim manakala dia bersyahadat. Puasa zakat dan lain-lain, adalah tiang-tiang yang menyempurnakannya sebagai seorang muslim. 

Bahkan Imam Abu Hasan al-Asyari, imam Aswaja, pun tidak mau melakukan pengkafiran kepada seseorang Ahlul Qiblah (orang yang masih sholat menghadap ke kiblat). Diriwayatkan  pada saat beliau menjelang wafat, melalui jalan Ibnu Asyakir, dalam kitab Tabyinu Kidzbil Muftari disebut begini:

“Saya mendengar dua guru: Abu Muhammad Abdul Jabbar bin Ahmad bin Muhammad al-Baihaqi al-faqih dan Abul Qosim Zahir bin Thahir al-Muadil di Nisabur, keduanya berkata: Kami mendengar Syaikh Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali al-Baihaqi berkata: saya mendengar Abu Hazim Umar bin Ahmad al-Baghdadi al-Hafizh berkata: saya mendengar Abu Ali Zahir bin Ahmad as-Syarkhsyi berkata: Tatkala dekat hadirnya ajal Imam Abul Hasan al-Asyari rohimahulloh di rumahku, di Baghdad, dia memanggilku dan saya mendatanginya, maka Imam al-Asy’ari berkata: 

“Asyhadu (saya bersaksi) `ala anni (sesungguhnya aku) la ukfiru/ukaffiru ahadan min ahli hadzihil qiblah (saya tidak mengkafirkan seseorang dari kalangan ahlil qiblah ini, mereka yang sembahyangnya menghadap kiblat), li annal kulla yasyiruna ila Ma’budin Wahidin… (karena sesungguhnya, semuanya mengisyaratkan kepada Sesembahan Yang Satu….).” (Abul Qosim Ali bin Hasan Hibatullah Ibnu Asyakir ad-Damsyqi, Tabyinu Kidzbil Muftari fima Nusiba Ilal Imam Abil Hasan al-Asya`ri, versi Mathabaah at-Taufiq, Damsyiqusy Syam, 1347, hlm. 148-149).

Bagi kalangan Ahlussunnah Waljama`ah, orang yang berdosa besar, atau melakukan maksiat, seperti berzina, meninggalkan puasa, dan lain-lain, bukanlah orang kafir, yang mengeluarkan dia dari Islam, akan tetapi dia dianggap sebagai muslim yang fasiq. Sebagai muslim yang fasiq, dia masih memiliki peluang husnul khatimah, peluang bertaubat, dan diterima di sisi Allah, sebagai ahluth tho`ah, manakala ia terus bertaubat, menyadari kesalahannya, dan dibimbing ke jalan yang baik dengan cara yang baik, sebelum ia meninggal.

Meski begitu, sebagian umat Islam, dari kalangan Khawarij, kaum ekstremis, menganggap bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah keluar dari Islam. Pakar teologi Islam klasik, Imam asy-Syahrastani dalam al-Milal wa an-Nihal, menyebutkan di antara mereka dari kalangan al-Muhakimiyah Khawarij  “mengkafirkan Imam Ali dengan alasan bahwa Imam Ali telah mengabaikan hukum Allah dan menerima hukum buatan manusia,” ketika Imam Ali menerima inisiatif arbitrasi dengan Muawiyah. Mereka juga mengkafirkan Sayyiduna Ustaman, setelah 6 tahun memerintah.

Dari kalangan Azariqah Khawarij, juga mengkafirkan Imam Ali, dan membenarkan tindakan Abdurrahman bin Muljam yang membunuh Imam Ali. Mereka juga mengkafirkan Sayyiduna Utsman, sahabat Thalhah, sahabat Zubair, Sayyidah Aisyah, sahabat Abdullah bin Abbbas dan kaum muslimin yang tidak sependapat dengan mereka, dan menganggapnya sebagai musuh serta kekal di neraka. Mereka juga mengkafirkan orang yang tidak ikut bertempur bersama mereka. Menurut asy-Syahrastani dalam al-Milal wan an-Nihal begini: “Semua kelompok Azariqoh berpendapat orang yang melakukan dosa besar hukumnya kafir, dianggap keluar dari agama Islam.”

Tradisi mengkafirkan sesama muslim ini, merupakan tardisi kaum Khawarij, yang tidak relevan untuk dicontoh pada hari ini. Sebabnya: pertama, pengkafiran akan mendorong orang saling memusuhi dan membenci, juga menimbulkan adu domba dan kericuhan, lalu terjadi perkelahian dan perang; kedua, setiap muslim, harus selalu waspada dan mengawasi dirinya, juga menyadari bahwa dia selalu memiliki kelemahan, tidak bisa menentukan apakah dirinya akan khusnul khatimah atau tidak karena itu takdir dalam ilmu Alloh; dan karenanya dia harus senantiasa melakukan mujahadah, berdoa dan melakukan amal-amal baik, dengan niat yang ikhlas, dan tidak memburukkan orang lain.

Dalam soal ini, Gus Dur sering mengutip Syiir Tanpo Waton yang menyebut: “Akeh kang hafal Qur’an hadise, seneng ngaferke marang liyane, kafire dewe nggak digaktekke, yen isih kotor ati aqale.” Gus Dur seperti mengatakan, orang yang suka mengkafirkan itu, orang yang juga pinter berdalil dengan mengutip Al-Qur’an dan hadits, tetapi disadari bahwa pinter saja tidak cukup,  dia bisa saja tergelincir; karena di dalam hatinya dan aqalnya ada kekotoran. Salah satu kekotoran hati adalah sombong, merasa bersih, merasa sempurna di hadapan Alloh. Sementara orang lain, dilihat dengan rendah. Dia sendiri tidak sanggup meninjau dirinya sendiri, tentang kekafiran-kekafiran yang ada pada diri mereka sendiri.

Kalau merujuk pada penjelasan tentang kufur, pada dasarnya setiap muslim tidak gampang terlepas dari noda kufur, dengan melihat beberapa hal ini:

  • Kekufuran yang bermakna maksiat, seperti disebutkan dalam Shahih Bukhari riwayat Ibnu Abbas, Nabi Muhammad bersabda begini: “Diperlihatkan kepadaku neraka. Ketika itu aku melihat di antara penghuninya adalah (sebagian) wanita pendurhaka.” Kemudian seseorang bertanya kepada Rosulullah: “Apakah mereka durhaka kepada Alloh?” (Ayakfurna billah). Rosulullah menjawab: “Mereka durhaka kepada suami dan tidak berterimakasih…” (HR. Bukhari, No. 29).  Ini adalah hadits yang menyebutkan istri yang durhaka, tetapi almaskut anhu, juga sebaliknya bila suami melakukan hal sama, karena ada prinsip L-mu`asyarah bil ma’ruf, yang menimbulkan timbal balik perlakuan.

Ibnu Hajar al-Asqolani dalam Fathul Bari mengomentari hadits ini begini: “…perbuatan tersebut merupakan bukti  dapat dikategorikan  sebagai kekufuran, sebagaimana taat disebut iman, hanya saja kekufuran tersebut tidak sampai menyebabkan seseorang keluar dari agama.”

  • Tidak bersyukur kepada Alloh itu adalah kekufuran, sebagaimana disebutkan dalam QS. Ibrahim [14]: 7 yaitu:  “Sungguh jika kalian semua mau bersyukur (atas nikmat-Ku) pasti aku tambah pula nikmat-Ku kepadamu, tetapi apabila engkau kufur (atas nikmatku), sungguh adzab-Ku itu pedih.”

Syukur atas berbagai karunia yang diberikan Alloh di sini diwujudkan, menururt Imam Hasan al-Bashri, Ibnu Abi Hatim dan Imam Sufyan ats-Tsauri melalui: “Fi tho`ati’/Ketaatan kepada-Ku”, artinya tambah ketaatan dan dekat dengan Alloh melalui amal-amal baik. 

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *