“Berapa menantu njenengan Gus”?, kataku mengawali bicara lebih focus atau sekedar bahan untuk memulai “temu kangen” itu. 

GM menjawab santai. “Pada awalnya saya sama dengan Gus Dur (GD). Saya punya empat anak perempuan. Gus Dur juga. Setiap  GD menikahkan putrinya,  saya juga menikahkan putriku. Sesudah itu kami dianugerahi anak laki-laki. GD tidak.

“Anakku lebih dari empat, lebih banyak dari anak-anak Gus Dur”. Lalu GM menyebut nama-nama mereka satu persatu : Ienas Tsuroiya, Kautsar Uzmut, Raudlah Quds, Rabi’atul Bisriyah,  Nada Fatma, Almas Mustofa dan Muhammad Bisri Mustofa. 

“Saya sebenarnya sedih sekali, Kiyai”, GM meneruskan seperti curhat. “Anak-anakku yang perempuan semuanya dibawa orang. Mereka tidak lagi bersama kami di rumah ini. Lha, bagaimana tidak sedih, sejak mereka di kandungan sampai usia dewasa  kami “rumat” dan jaga dengan baik-baik, sepenuh kasih, sepenuh sayang, sepenuh cinta, sesudah dewasa mereka harus  meninggalkan kami untuk waktu yang panjang entah sampai kapan. Mereka adalah buah hati kami, cahaya mata kami. 

“Yang pertama, itu si Ulil (Ulil Abshar Abdallah) Ia membawa anakku, Ienas Tsuroiya , ke Jakarta dan hidup di sana. Tepatnya di daerah Bekasi”. GM lalu menyebut nama-nama dan tempat-tempat anak-menantunya di mana-mana, sambil bersyukur bahwa mereka dalam keadaan sehat wal Afiat dan bermanfaat.  GM kemudian menjelaskan singkat saja tentang anak-anak dan menantunya yang lain. “Sekarang saya di rumah ini hanya berdua bersama isteriku tercinta”. GM tidak menyebut namanya. Tetapi di banyak tempat beliau menyebutnya  : Ny. Hj. Siti Fatmah. 

Aku mendengarkan cerita GM dengan seksama. Terus terang, sebelum pertemuan ini aku tidak mengenal mereka semua, kecuali Ulil Abshar Abdallah, teman baik saya yang termasyhur dan menghebohkan dunia Indonesia itu. Aku memanggilnya Mas Ulil. Isterinya, Ienas Tsurayya, adalah teman baik almarhumah Aliyyah Himmah, misananku, isteri temanku Marzuki Wahid. Mereka berdua sama-sama mondok di Pesantren Kiyai Haji Ali Maksum, Krapyak, Jogjakarta.

“Bagaimana keluarga sampeyan, Kiyai?”, tanya balik GM, 

Aku menjawab : “Saya juga Gus, sama, sedih. Adik-adik saya tiga orang perempuan. Semuanya dibawa orang dan meninggalkan rumahnya, ya rumah kami. Ada yang di Lasem, ada di Lirboyo dan di Langitan. Tuban”.

Sebagaimana GM menyebut nama-nama anaknya dan menantu-menantunya, aku juga mengenalkan keluargaku, saudara-saudaraku. Lalu bercerita singkat keberadaan mereka. 

Sebenarnya banyak orang kampung yang protes, keberatan. “Kami rugi. Sejak bayi sampai remaja kami bersama-sama dan berharap-harap kembali kumpul bersama kami. Kenapa gak mau tinggal di desanya?”, kata mereka. 

Sambil menceritakan hal itu, aku teringat lagi apa yang aku katakan kepada anakku  : “Setiap diri akan pergi dari rumahnya untuk mencari dirinya sendiri. Orang tua hanyalah tempat berlabuh. Rumah hanyalah tempat singgah sementara. Anak adalah amanah, titipan atau kepercayaan Tuhan kepada orang tua agar dirawat dan disayangi sampai mereka bisa berdiri sendiri dan mencari jati dirinya masing-masing”. 

Kahlil Gibran bilang : 

Anakmu bukanlah anakmu

dia anak kehidupan 

yang merindui dirinya sendiri

Dia terlahir melaluimu 

tapi bukan darimu

Meski dia bersamamu 

tapi dia bukan milikmu

Kau bisa bikinkan rumah untuk tubuhnya 

tapi tidak untuk jiwanya

Jiwa adalah penghuni rumah masa depannya 

yang tak bisa kau kunjungi, 

meski dalam mimpi. 

17.07.21

HM

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *