Tulisan-tulisan penulis tentang ulama Betawi yang masih terpampang di dunia maya telah menarik perhatian salah seorang pemikir muda Islam yang dimiliki Indonesia, Ismail Fajrie Alatas. Ia dosen sejarah di National University of Singapore (NUS). Tesis S-2-nya mengupas tentang tokoh-tokoh habaib di Betawi.Topik menarik yang dibicarakan dengan penulis adalah persoalan pola interaksi habaib dengan ulama di Betawi.
Salah satu kata kunci dari pembicaraan ini adalah habaib. Habaib merupakan bentuk jamak dari kata habib yang menurut kamus Wikipedia diartikan sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW melalui Fatimah az-Zahra. Masih dari kamus yang sama, Indonesia merupakan negara yang memiliki habib terbanyak di dunia, yaitu sebanyak 2 juta, sedangkan yang masih hidup sebanyak 1,2 juta. Sementara di seluruh dunia tercatat 20 juta habib (muhibbin) yang terbagi 114 marga. Hanya keturunan laki-laki saja yang berhak menyandang gelar habib. Di Betawi, habaib memiliki arti sebagai orang-orang Arab dari Hadramaut, Yaman yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW dan menguasai ilmu-ilmu keislaman.
Di dalam kajian genealogi intelektual, mengetahui pola interaksi dapat mengungkapan bahan dasar atau orisinalitas ide yang mempengaruhi corak pemikiran habaib dan ulama di Betawi hingga sekarang ini. Misalnya, sebagian besar kitab-kitab yang digunakan oleh guru-guru dari Syekh KH Mohammad Muhadjirin Amsar Ad-Dary, diantaranya Guru Asmat, H Mukhoyyar, mu`alim H Ahmad, mu`alim KH Hasbialloh, mu`alim H Anwar, H Hasan Murtaha, Syekh Muhammad Tohir, Guru Manshur Jembatan Lima, Ahmad bin Muhammad, KH Sholeh Ma`mun (Banten), dan Syekh Abdul Majid yang sangat bercorak hadrami ( berasal atau dipengaruhi oleh pemikiran para habaib).
Namun demikian dalam interaksi keduanya, polanya berbeda dengan yang terjadi di tempat-tempat lain, dan ini mengubah hipotesis yang dipegang Ajie bahwa ulama di Indonesia adalah cultural brokers dari para habaib, ulama adalah kepanjangan dan promotor dari habaib, sebagaimana yang diteliti Ismail di Jawa Tengah. Dengan kata lain, ada stratifikasi dalam bentuk hierarki status dimana habaib memiliki posisi yang lebih tinggi dari ulama.
Di Betawi, tidak ada hierarki status, posisi habaib setara dengan ulama. Bahwa benar banyak ulama besar Betawi, seperti KH Abdullah Syafi`i, KH Tohir Rohili, KH Fatullah Harun, KH Hasbialloh, KH Ahmad Zayadi Muhajir, KH Achmad Mursyidi, Syekh KH Muhammad Muhadjirin Amsar Ad-Dary, mu`allim KH M Syafi`i Hadzami, dan mu`allim Rasyid berguru kepada habaib terkemuka di Jakarta, yaitu kepada Habib Ali Bin Abdurrahman Al-Habsyi (dikenal dengan nama Habib Ali Kwitang) dan kepada Habib Ali Bin Husien Al-Attas (dikenal dengan nama Habib Ali Bungur).
Ulama Betawi lainnya berguru juga kepada Habib Salim Bin Jindan, Otista, Jakarta Timur. Tetapi pada saat yang sama, ulama Betawi tersebut juga berguru kepada para kyai dan tuan guru yang asli Betawi yang sebagian besar tidak pernah berguru kepada habaib di Indonesia. Bahkan, dari kalangan habaib ada juga yang berguru kepada ulama Betawi.
Interaksi yang terjadi antara habaib dan ulama di Betawi sangat cair dan harmonis dalam konsep kesetaraan. Sehingga seperti bukan persoalan (padahal ini persoalan besar) ketika mu`allim Radjiun Pekojan, seorang ulama Betawi, dapat menikahi seorang syarifah dari keluarga habaib. Sesuatu yang sulit terjadi di tempat lain. Begitu pula dengan masyarakat Betawi. Kualitas penghormatan mereka terhadap habaib sama saja dengan kualitas penghormatan mereka terhadap ulama. Misalnya, di rumah-rumah orang Betawi, foto-foto yang terpasang bukan hanya foto para habaib tetapi juga ulamanya. Haulan seorang habib sama ramainya dengan haulan seorang ulama Betawi. Pola interaksi inilah yang menjadi warisan berharga untuk para penerusnya.
Tulisan 12 tahun lalu (2007) ketika dikunjungi dan diwawancarai Ismail Fajrie Alatas, pernah dimuat Republika online, 2 November ’07
Nantikan Tajuk Khusus “Ulama Habaib Betawi” ..
No responses yet