Habib Muhammad bin Idris Ba’bud yang dikenal sebagai Tuan Jamahat, karena saat tiba di kerajaan Kutai Kertanegara tepat di hari yang mulia yakni hari Jum’at yang dalam bahasa Kutai Jamahat (dalam bahasa Banjar Jumahat. Beliau Seorang Pendakwah Islam dari Amuntai Kalimantan Selatan. Berdakwah di Kerajaan Kutai pada masa Sultan Aji Muhammad Salehuddin Sultan Kutai Kertanegara ke 17.

Pada saat Sultan Aji Muhammad Salehuddin memerintah, Pemerintahannya berjalan dengan lancar dan masyarakat merasa terjamin kehidupan dan keamanannya. Tapi suatu waktu keamanan ini terganggu dengan adanya kekacauan dan perampokan terhadap harta benda rakyat di daerah-daerah Ulu Mahakam seperti Long Iram, Melak, Muara Pahu, dan Kota Bangun, oleh segerombolan orang Dayak Iban dari Serawak yang dipimpin oleh “ Sumbang Lawing.” Gerombolan ini berhenti dan bermarkas di Muara Sungai Belayan, dengan tujuan mencari hari baik untuk melakukan serangan ke ibukota Kerajaan Kutai.

Menurut cerita, konon Sumbang Lawing ini bertubuh besar dan tinggi serta kebal dengan senjata tajam apapun. Sumbang Lawing jika berkelahi tak pernah berhenti. Datang lima, sepuluh, bahkan datang duapuluh, semuanya tewas di tangannya. Menurut cerita senjata “Mandau“-nya saja selebar papan dengan panjang dua meter, sehingga sekali tebas paling sedikit lima orang yang melayang jiwanya.

Celakanya lagi, Sumbang Lawing ini suka pula dengan perempuan. Baik yang masih perawan maupun sudah bersuami. Perempuan mana saja yang dikehendakinya pastilah harus didapatnya. Kalau si suami keberatan, maka tak ayal si suami pastilah menemui ajalnya.

Konon kabarnya, Sumbang Lawing yang dianggap sangat sakti ini mempunyai tempurung kepala terbuat dari tembaga, serta gigi yang penuh dengan emas. Kalau dia lagi menginang (makan sirih) pinangnya terdiri dari Putting Beliung (Kapak kecil) sedang kapurnya terbuat dari kapur gamping.

Keamanan wilayah Kutai jadi kacau dan menakutkan. Hal itu, diberitakan dan dilaporkan kepada Raja Kutai, Aji Muhammad Salehuddin, yang serta merta mengumpulkan para pembesar Istana. Aji Sultan meminta masukan dari para Panglima daerah yang pernah dikacaukan oleh Sumbang Lawing. Semua perbuatan disampaikan secara terinci, begitu pula dengan kekebalan dan kesaktian Sumbang Lawing yang hampir tak tertandingi oleh siapapun juga. Namun oleh seorang Pandai mengatakan kalau Sumbang Lawing itu pematinya hanya ada di mulut bagian langit-langitannya. Kalau di lain jangankan senjata tajam biasa, peluru meriam sekalipun tak akan mampu menembus tubuh Sumbang Lawing. Karenanya percuma saja melawan Sumbang Lawing dengan mengerahkan pasukan senapang Kerajaan Kutai Kartanegara.

Mendengar ini akhirnya dari pada membuang buang waktu dan mengorbankan banyak prajurit, Aji Sultan lalu bermusyawarah dengan Seorang Ulama asal Palembang bernama Habib Abdurrahman As Seggaf (Mertua Habib Ja’far bin Ahmad Baraqbah) untuk mencari jalan keluar dan memecah permasalahannya.

Aji Sultan mengatakan berapa kira-kira pasukan yang dibutuhkan untuk menyerang Gerombolan Sumbang Lawing. Habib Abdurrahman As Seggaf kemudian mengajukan 2 Orang hebatnya yakni Habib Muhammad bin Idris Ba’bud (Makam Mangkupalas) dan Habib Muhammad bin Ahmad Al Khirid yang didatangkan dari Amuntai, Kalimantan Selatan. Diambillah suatu keputusan untuk melawan Sumbang Lawing dengan cara mengutus keduanya tanpa melibatkan prajurit yang banyak. Mereka berdua tidak meminta pengawalan prajurit secara resmi, mereka hanya minta satu buah keris kecil yang sangat beracun bernama “Burit Kang“ dan segendongan kain berwarna warni serta peralatan dagang seperti sisir dan cermin. Keduanya lalu diberi izin dan dipenuhi segala permintaannya.

Dengan berperahu mereka menyusuri sungai dan sampai ke Muara Belayan di mana gerombolan Sumbang Lawing berada. Oleh Sumbang Lawing yang melihat kedatangan perahu lalu meminta agar mendekat ke perahunya. “Siapa Kalian..? dan mau kemana..?!“ tanya Sumbang Lawing.“Kami adalah pedagang kain yang hendak berjualan ke kampung sana,” jawab kedua Habib tersebut, sambil merapatkan perahunya ke perahu Sumbang Lawing.

Sumbang Lawing lalu membuka bungkusan yang dibawa oleh Habib Muhammad Ba’bud. Satu-satu kain tersebut dibukanya hingga habis berhamburan di atas lantai perahunya. Setelah kain habis, maka terlihatlah sebuah cermin yang terletak di bawah lipatan. Sumbang Lawing yang seumur hidup tak pernah melihat wajahnya melalui cermin. Jadi terpekik ketika cermin itu diarahkan kemukanya.

Dia kaget melihat ada orang berwajah jelek berada di dalam cermin tersebut. Sumbang Lawing lalu bertanya siapakah yang ada dalam cermin tersebut.? Oleh Habib Muhammad, dijawab kalau itu adalah cermin dan yang dilihatnya adalah bayangan dirinya sendiri. Melihat ini dia tidak puas berkali kali dia melihat wajahnya di dalam cermin tersebut.

Akhirnya Sumbang Lawing tertawa melihat wajahnya yang belum pernah dilihatnya. Setiap kali dia melihat wajahnya di dalam cermin dia tertawa terbahak bahak. Saat itulah kesempatan Habib Muhammad Ba’bud menghunjamkan keris kecil bernama Burit Kang itu ke langit langit mulut Sumbang Lawing. Dengan terperanjat dan kesakitan Sumbang Lawing meronta dan melompat lompat hingga akhirnya jatuh ke dalam sungai .

Melihat kesempatan ini dengan cepat Habib Muhammad Ba’bud melompat pula ke dalam sungai sambil membawa mandaunya. Karena racun dari keris tersebut Sumbang Lawing jadi tak berdaya dan kekebalannyapun hilang. Dengan cepat Habib Muhammad Ba’bud memenggal Kepala Sumbang Lawing yang kemudian dibawanya naik ke daratan.

Sedang Habib Muhammad Ba’bud bertarung dengan para pengawal Sumbang Lawing. Namun karena melihat Sumbang Lawing tewas, maka tanpa dikomando anak buah Sumbang Lawing berlarian ke dalam hutan dengan cerai berai. Dalam pertempuran dengan anak buah Sumbang Lawing tak satupun ada anak buah Sumbang Lawing yang dibunuh oleh kedua ksatria zuriat Rasulullah Saw ini. Tujuan mereka hanyalah untuk melumpuhkan dan membunuh pemimpinnya. Karenanya para gerombolan yang lari tak mereka kejar.

Para tawanan wanita dari berbagai daerah yang dibawa oleh gerombolan Sumbang Lawing lalu dibawa ke perahu oleh kedua Habib untuk dipulangkan ke daerah masing masing.

Tidak lupa, Kepala Sumbang Lawing dibawa ke Tenggarong dan diserahkan pada Aji Sultan Salehuddin sebagai bukti kalau mereka telah mengalahkan musuh yang telah mengacau negeri Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

Setelah Peristiwa tersebut keduanya sempat ditawarkan jabatan di Kerajaan Kutai Kertanegara. Namun keduanya menolak dengan halus, mereka hanya ingin mengabdi di masyarakat sebagai Pendakwah Islam.

Habib Muhammad bin Idris Ba’bud kemudian menetap di Samarinda hingga akhir usianya dan dimakamkan di Mangkupalas Samarinda. Sedangkan Habib Muhammad bin Ahmad Al Khirid diberikan Tanah oleh Aji Sultan di Kutai Lama dan menetap disana, akan tetapi makamnya sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya. Sementara Habib Abdurrahman As-Segaf kembali ke Palembang.

Dari kejadian ini kemudian banyak orang Amuntai merantau dan kemudian mukim alias madam ke wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Wallahu A’lam.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *