Selain berharap berada di lingkaran orang sholeh, kita juga kudu membuat lingkungan yang sholeh. Karena belum tentu orang sholeh mau deket-deket kita.
Gak sih. Maksud saya, kalo kita sholeh dan kesholehan kita diridhoi, Gusti Allah akan mengubah lingkungan kita jadi sholeh. Entah lewat kita yg akhirnya pindah lingkungan atau lingkungan kita yg berubah dgn sendirinya.
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Gusti Allah tidak akan merubah keadaan satu lingkungan sehingga mereka merubah keadaan diri mereka sendiri” (Ar Ro’d 11)
Jadi intinya, kita rubah diri kita sendiri jadi sholeh dulu, biar Gusti Allah yg mengurus cara merubah lingkungan kita.
Ada anekdot.
Besok PSBB akan diberlakukan di kota, Kyai Sarip dan keluarga bergegas pindah ke desa sementara hingga PSBB dicabut. Tapi di batas kota, dia dicegat polisi dan ditanyai.
“Kyai, kenapa anda berniat keluar kota dan pindah ke desa?” Tanya polisi.
“Ada dua alasan, Pak” jawab Kyai Sarip, “Pertama, kalo pemkot ini gagal mengatasi covid, saya sebagai dukun setengah Kyai akan jadi kambing hitam, publik akan bilang para Kyai doanya udah gak manjur,”
“Omong kosong, Kyai” jawab polisi, “Justru semua publik akan berbondong-bondong dan menyesaki rumah anda, buat minta suwuk kuat mental menghadapi wabah ini,”
“Lha, itu alasan kedua,”
Bagi Gusti Allah, rahmat itu murah banget. Dia memberi rahmat pada makhluk itu gak mesti karena amal. Kadang kita berazam aja udah dihitung niat. Niat baik pun dicatet, niat jelek gak dicatet. Jadi, kurang baik apa Gusti Allah pada makhluk?
Diceritakan oleh Imam Ghozali. Dulu ada seorang lelaki suku Bani Isroil yang satu hari berjalan kaki di tengah terik panas di musim kemarau. Di jalan, dia kelaparan dan kehausan. Lalu dia pun mbatin, “Andai di jalan ini aku menemukan makanan dan minuman, pasti akan aku bagi-bagi dengan orang lain,”
Seketika turun wahyu dari Gusti Allah kepada Nabi di masa itu
قل له إن الله تعالى قد قبل صدقتك، وشكر حسن نيتك، وأعطاك ثواب ما لو كان طعاما فتصدقت به
“Katakan pada lelaki itu : sesungguhnya Gusti Allah telah menerima amal sedekahmu, senang dengan niat baikmu dan memberimu pahala karena niat baikmu jika ada makanan, maka pasti akan kamu sedekahkan”
Perhatikan. Lelaki Bani Israil ini baru ‘azam atau nadzar, belum niat. Tapi Gusti Allah sudah menyebut itu niat, bahkan sudah menganggapnya amal yg sudah terlaksana. Padahal baru angan2 si lelaki itu. Ini saking Maha Pemurahnya Gusti Allah.
Artinya, kalau kita ingin mendapat rahmat dari Gusti Allah seperti cerita lelaki Bani Isroil di atas, tiap hari kita kudu terus punya niat untuk berbuat baik. Walaupun kita belum bisa melakukannya, baru rencana saja.
Dawuh Kanjeng Nabi Muhammad SAW
يموت المسلم بين حسنتين ، حسنة قد قضاها وحسنة ينتظرها
“Seseorang dikatakan mati Islam jika berada dalam dua kebaikan, kebaikan yang sudah dilakukan dan menunggu kebaikan yang sudah direncanakan”
Walau makna asli “hasanah” di sini adalah sholat, tapi Imam Suyuthi memasukkan hadits ini dalam Bab Niat. Karena orang kalo bisa menjaga, selalu berpikir dan terus menyambung niat baik dengan niat baik yg lain, sampai dia mati bersama niat baiknya, maka dia orang baik.
Makanya, kita gak usah anggap remeh niat para ahli maksiyat yg sadar kemaksiyatannya, lalu pingin mentas tapi belum mampu mentas. Selama ahli maksiyat itu masih menjaga niat baik untuk mentas walau masih kesulitan untuk bebas dari lingkaran setan, bisa dibilang dia orang baik.
Seperti banyak cerita beredar dari penghuni lokalisasi yg dgn kesadarannya, tiap hari ingin banget mentas. Tapi masih terlilit utang yg mencekik pada germonya. Maka tugas mereka untuk selalu menjaga keinginan buat mentas. Agar punya harapan dicatat orang baik di sisi Gusti Allah.
Tugas kita cuma mendoakan diri kita sendiri dan mereka, semoga semuanya bisa diberi kemudahan untuk bener2 mentas dari lingkaran setan. Aamiin.
No responses yet