Categories:

Andito C. Laksono

Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA

            Bagi kebanyakan orang-orang yang pernah mempelajari ilmu Psikologi, atau memiliki latar belakang pendidikan dengan disiplin ilmu Psikologi, pernah mempelajari teori klasik yang dikemukakan oleh Abraham Maslow yang dikenal dengan piramida “Hierarchy of Needs”. Teori ini sangat terkenal dan kerap kali digunakan dalam berbagai pelatihan motivasi maupun seminar hingga saat ini, walaupun belakangan kalangan akademis mulai meninggalkan teori ini karena dianggap kurang relevan dengan keadaan era modern. Akan tetapi di sini kami tidak akan membahas mengenai teori tersebut maupun pengembangannya, melainkan bagaimana sebenarnya pandangan Maslow tersebut bersinggungan dengan dunia tasawwuf.

            Abraham Maslow, merupakan seorang ilmuwan dengan latar belakang Ilmu Perkembangan, sehingga banyak penelitian yang dikemukakan olehnya adalah terkait dengan perkembangan manusia. Pada tahun 1943, Maslow menerbitkan sebuah tulisan dalam jurnal Psikologi yang memuat pendapatnya terkait tingkatan kebutuhan manusia yang digambarkan dalam sebuah piramida. Dalam piramida tersebut, tingkatan paling rendah dalam kebutuhan manusia adalah kebutuhan fisiologis seperti makan, minum, tidur, reproduksi, dan lain sebagainya. Tingkatan kedua adalah kebutuhan akan keamanan, yang meliputi keamanan lingkungan, kebutuhan kehidupan dan sebagainya. Tingkatan berikutnya adalah kebutuhan akan kasih sayang dan perhatian, yang meliputi hubungan seseorang dengan orang lain, tentunya yang membangun hal positif dalam diri seorang individu. Pada tingkat keempat, ada kebutuhan akan esteem atau kepercayaan diri, di mana kebutuhan ini membuat seseorang dapat melakukan sesuatu dengan penuh keyakinan dan dapat mengeksplorasi dunia sekitarnya. Pada tingkatan tertingginya, adalah aktualisasi diri (Feist & Feist, 2009). Bahkan dalam beberapa piramida yang lebih detil, disebutkan bahwa kebutuhan tertinggi adalah transendensi, akan tetapi yang kami akan bahas adalah piramida yang lebih sederhana di mana tingkatan tertingginya adalah aktualisasi diri.

            Menurut Maslow, aktualisasi diri adalah sebuah kondisi di mana seorang individu menyadari semua potensi yang dimilikinya mencapai tahap kematangan kepribadian (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Kata kunci yang menarik dapat kita ambil dalam konteks ini, yaitu “menyadari”. Dalam kata lain, aktualisasi diri hanya dapat dicapai melalui sebuah kesadaran. Kesadaran yang dimaksud dalam hal ini tentunya adalah terkait kesadaran terhadap pribadi yang diterjemahkan ke dalam sebuah kepribadian matang, baik itu dalam pola pikir maupun emosional. Meskipun begitu, cara mencapai tahapan ini tidak dijelaskan secara teknis dalam pandangan Maslow tersebut. Diyakini bahwa tiap individu dan tiap budaya yang berbeda memiliki caranya sendiri dalam mencapai tahapan puncak dalam hirarki kebutuhan manusia tersebut.

            Uniknya, pandangan mengenai tahapan perkembangan manusia tadi sudah lama dan lebih dahulu dijelaskan dalam dunia Islam, khususnya dalam tradisi Tasawwuf. Masyarakat Muslim secara awam di Indonesia lazim mengenal istilah Syari’at, Tarekat, Hakikat, dan Ma’rifat. Istilah ini menjelaskan tentang tahapan yang harus dilalui seorang Muslim dalam mencapai menggapai ridha Allah. Lebih detil lagi dalam tradisi tasawwuf, dikenal istilah kedudukan (maqamah) yang harus dicapai seorang pengamal tasawwuf atau orang yang sedang bersuluk. Maqamah ini adalah kondisi-kondisi mental yang harus dilalui seseorang dalam perjalanannya untuk mencapai kemuliaan dalam penghambaan kepada Allah. Maqamah yang harus dilalui oleh seorang pengamal tasawwuf memiliki beberapa pandangan dari berbagai kalangan ulama. Menurut al-Ghazali, urutan maqam yakni; Taubah, Shabr, Syukur, Raja’, Khauf, Zuhud, Mahabbah, ‘Asyiq, Unas, dan Ridha. Sedangkan menurut al-Qusyairi, urutan maqam yang harus dilalui adalah; Taubah, Wara’, Zuhud, Tawakkal, Shabr, dan Ridha. Yang menarik adalah bahwa tahapan-tahapan yang harus dilakukan pengamal tasawwuf ini berkaitan dengan kondisi kesadarannya akan posisinya sebagai hamba Allah. Kondisi ini menggambarkan penerimaan dan kecintaan seorang salik (seseorang yang bersuluk) terhadap apa-apa yang menjadi fenomena yang Tuhan berikan kepadanya. Kendati bukan hal yang mudah untuk dicapai, maka dijelaskan pula cara-cara untuk mencapainya oleh Imam Al-Ghazali melalui kitab Ihya’ Ulumuddin, yakni melalui berbagai ibadah, zikir, puasa, dan berbagai amal-amalan yang merendahkan ego dan nafsu kita yang dalam dunia tasawwuf dikenal dengan istilah riyadhoh.

            Berikutnya, marilah kita coba untuk melihat kaitan antara dua pemaparan tersebut, antara pandangan tahap perkembangan kebutuhan manusia ala psikologi dan perkembangan spiritual manusia ala tasawwuf. Sekilas terlihat memang tidak sama akan tetapi bila diselidiki lebih lanjut, ternyata dua pandangan di atas memiliki keterkaitan yang paralel. Pandangan Maslow yang bermazhab Psikologi Positif melihat manusia sebagai makhluk biologis dan sosial, sehingga apa yang menjadi kebutuhan-kebutuhan dasar untuk keberlangsungan hidupnya menjadi pertimbangan sebagai kebutuhan dasar. Dalam tingkatan kebutuhan ini dapat dipahami pula bahwa semakin tinggi kebutuhannya, manusia semakin ingin mencari pemenuhan kebutuhan yang lebih abstrak. Apabila terpenuhi, maka prioritas kebutuhan yang lebih tinggi tersebut dapat mengalahkan kebutuhan-kebutuhan yang lebih di bawahnya. Pada titik ini, ajaran-ajaran dalam tradisi tasawwuf dapat dikaitkan dengan hirarki kebutuhan Maslow. Tasawwuf berkutat pada ranah abstrak dan kognitif, di mana kekuatan utama seorang pengamalnya adalah kondisi mental yang dibangun melalui berbagai riyadhoh yang dijelaskan di atas. Maqamah para salik yang telah dipaparkan di paragraf sebelumnya, mulai dari maqam Taubah, bahkan hingga Mahabbah, merupakan kondisi-kondisi mental yang membuat seorang pengamal tasawwuf, atau kadang disebut sufi merasakan kehadiran Allah dalam diri mereka.

            Seperti pada dijelaskan di awal bahwa aktualisasi diri adalah berkaitan dengan kesadaran seseorang akan potensi dirinya, di mana kata kunci pentingnya adalah kesadaran. Dalam ajaran tasawwuf, terutama melalui jalur-jalur tarekat yang mu’tabar dan musalsal (dijamin kebersambungannya) kepada para masyaikh yang terkenal kealimannya, diajarkan bahwa realitas manusia yang sejati hanya melekat pada Allah. Hal ini pernah dijelaskan oleh Syaikh Abdul Qadir Jilani (QS), yang mana beliau menerangkan bahwa untuk mendapatkan realitas yang nyata tentang kehidupan, jalannya adalah melalui mengingat Sang Pencipta itu sendiri. Oleh karena itu, amalan yang menjadi ujung tombak ajaran tasawwuf adalah zikir, di mana secara makna, zikir sendiri artinya adalah mengingat. Mengingat berarti membangkitkan kesadaran akan semesta yang bersumber pada Dzat Yang Tunggal. Zikir inilah yang membangun kondisi mental, emosional dan kognisi seorang sufi, salik, atau pengamal tasawuf apapun itu kondisinya, untuk membangun kesadaran bahwa realitas yang sejati hanyalah Allah, selainnya adalah fana’. Yang diciptakan tak mungkin menyamai Pencipta, dan yang fana’ tidak mungkin menggapai yang absolut dan kekal apabila tanpa dilandasi oleh kondisi kesadaran tersebut. Itulah yang menjadi landasan berpikir ajaran tasawwuf, bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk spiritual yang bertugas untuk mengabdi menjadi hamba Allah yang berusaha menggapai ridha-Nya.

            Dari sinilah kita memahami bagaimana tradisi tasawwuf mengajarkan aktualisasi diri dalam kaitannya dengan teori Maslow. Tasawwuf mengajarkan bahwa kita bukan hanya sekedar makhluk biologis dan sosial, akan tetapi lebih dari itu, manusia adalah makhluk yang spiritual, secara khusus diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk berakal. Oleh sebab itu, potensi manusia untuk memnuhi kebutuhan spiritual dan abstrak adalah sangat nyata, bahkan mampu mencapai realita kognisi yang dikondisikan melalui perjalanan spiritual dalam usaha mencapai kesadaran. Lebih dari itu, pada suatu keadaan di mana seorang manusia sudah mampu menafikan realita lain selain Dzat Allah, tidak ada dorongan baik biologis maupun emosional yang mampu menggoyahkan keteguhannya, maka itulah tahapan yang disebut Maslow sebagai transendensi, tahapan paling tinggi dalam hierarchy of needs manusia. Tahapan-tahapan tersebut hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang sudah mencapai maqam ridha dan mahabbah, sudah merelakan hidupnya dalam pengabdian penuh cinta kepada Allah semata. Mereka itulah para awliya, orang-orang yang dikasihi Allah.

Daftar Referensi:

Feist, J., Feist, G. J. (2009). Theories of Personality, Seventh Edition. New York. McGraw-Hill International Edition.

Papalia, D. E., Olds, S. W., Feldman, R. D. (2009). Human Development, Eleventh Edition. New York. McGraw-Hill International Edition.

Yakub, I. (1992) Ihya’ ‘Ulumuddin, Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama, oleh Imam Al-Ghazzali.

Ahmad, M. A. (1981). Futuh Al-Ghaib (Revelations of the Unseen), by Hazrat Syaikh Muhyuddin Abdul Qadir Gilani. Lahore. Sh. Muhammad Ashraf Publisher.

Asnawiyah. (2014). Maqam dan Ahwal: Makna dan Hakikatnya dalam Pendakian Menuju Tuhan. Substantia, Vol 16:1. April 2014

Miswar. (2017). Maqamat (Tahapan yang Harus Ditempuh Dalam Proses Bertasawuf). Jurnal ANSIRU PAI Vol 1:2. Juli-Des 2017

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *