“….Baramulo syahadat itulah dibagi duo. Manyo nan duo? Paratamo syahadat tauhid, dan kaduo syahadat rasul. Ba a nan syahadat tauhid? Tahu di-tauhid nan ampek. Manyo nan ampek? Paratamu tauhid zat, nan kaduo tauhid sifat, nan katigo tauhid fi’il, nan ka ampek tauhid namo….”

Itulah kutipan dendang Kaji Sifat Duo Puluah, yang dilagukan dengan irama khas Pedalaman Minangkabau. Jama’ah yang hadir sangat antusias, dan bersemangat. Tidaklah mereka ragu dan bimbang, meskipun zaman silih berganti, dan pengajian Sifat Dua Puluh (Asy’ariyah-Maturidiyah) telah dirongrong faham baru. 

Susunan Pengajian Sifat Duo Puluah ini ialah bentuk lokalitas, bagaimana akidah Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah dan Maturidiyah) berurat berakar di Minangkabau. Kita tentu dapat menentukan bahwa konten isi Pengajian Sifat Duo Puluah tersebut disari dari kitab Ummul Barahin dan Syarahnya, yang telah tersebar luas di Minangkabau jauh sebelum zaman modern ini. Hasil sarian, kesimpulan, inti tersebut, disusun ulang oleh ulama-ulama lokal, dalam bentuk dendang, dengan tujuan (1) lebih memudahkan awam untuk mempelajarinya, dan (2) mudah dihafal, dan tentunya karena hafal menjadi lebih memasyarakat.

***********

Malam ini saya diundang mengisi pengajian dalam wirid Halaqah Sifat Dua Puluh di Nagari Taeh. Ini kali yang kedua, saya diundang sebagai pensurah kaji. 

Saya begitu menikmati, dan merasa takjub dengan kearifan lokal yang sarat dengan seni dan kedalaman makna isi tersebut. Acara dimulai sekitar jam 10 malam, dan biasanya selesai baru tengah malam. Mengapa malam? Malam menyiratkan kesyahduan, ketenangan,dan konsentrasi. Sudah lazim, di kampung-kampung, pengajian apalagi yang bersifat khusus, dilakukan malam hari. Meski malam hari, namun antusias dan semangat jama’ah tidak pudar. Apalagi sebelum acara dilantunkan zikir, tentu dengan “hentakan” Thariqat Samman yang menarik jiwa-jiwa yang lalai. Dan acara juga diakhiri, dengan zikir serupa.

Acara dimulai dengan melantunkan Kaji Sifat Duo Puluah, yang dimulai dengan penjelasan syahadat. Irama khas, dan khitmat, begitu menarik hati. Dan luar biasanya, jama’ah melantunkan kaji (yang sangat panjang itu) secara hafalan. Mereka hafal. Setelah melantunkan kaji, baru pengajian umum dilakukan. Tentunya pengajian ini berkaitan dengan tauhid dan tasawuf, khususnya Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah dan Thariqat Sammaniyah Khalwatiyah. Hadir beberapa mursyid dan khalifah.

Acara ini diadakan satu kali seminggu, untuk satu Nagari. Biasanya bergilir dari satu surau ke surau yang lain. Dan malam ini tepat dilaksanakan di Surau Rambai Taeh Bukik, surau yang bangunan asasnya telah berdiri lebih dari seabad yang lalu, dan pernah menjadi basis Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah penting di daerah ini.

Sebelum halaqah dilangsungkan, saya sempatkan ziarah ke makam dua ulama, ayah dan anak, yang meneruka Surau Rambai, di abad silam. Beliau ialah Syaikh Abu Bakar “Datuak Gaek” dan Syaikh Rasyidin. Dua sosok ini ialah kakek dan ayah dari alm. Syaikh Haji Amin Taeh Bukik (w. 1978), ulama Thariqat Naqsyabandiyah dan Thariqat Sammaniyah terkemuka dan termasyhur di abad 20, di Luhak Limapuluh; yang terkenal kiramat bertuah itu.

********

Ilmu akidah Ahlus sunnah wal jama’ah (‘Asy’ariyah dan Maturidiyah), sangat berurat berakar di Kampung saya, Pedalaman Minangkabau. Bagaimana akan merambah akar yang telah masuk ke pitala bumi itu. Setiap dirambah, setiap itu pula tunas-tunas baru muncul. Bukankah itu do’a ulama-ulama kita yang ikhlas berdakwah di masa silam???

Foto: Makam Syaikh Abu Bakar “Datuak Gaek” Taeh Bukik, yang saya foto malam ini, sehabis ziarah.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *