Pendiri NKRI bukan PDIP, bukan PKS, bukan PKB, bukan PAN, PBB, GOLKAR, GERINDRA, Demokrat atau NASDEM apalagi pendatang baru PSI atau Perindo. Dan bukan pula FPI, PA 212 atau HTI yang ingin mengubah menjadi khilafah. 

Pendiri NKRI itu MUHAMMADIYAH dan NU. Parpol yang berserak itu hanya kawanan generasi penikmat. Mereka semua belum ada saat MUHAMMADIYAH dan NU berdarah-darah mendirikan NKRI. Bukan bermaksud merasa paling, tapi itulah keniscayaan sejarah. 

*^^*

Boedi Oetomo sudah tiada. Sarekat Dagang Islam juga tinggal kenangan. Jong Sumatra. Jong Celebes. Jong Java. Jong Batak. Jong Islamitend Bond. Jong Sumatranen Bond tak lagi bersama. Sementara PKI berkhianat. Praktis hanya MUHAMMADIYAH dan NU yang tinggal. 

Di masa kompeni, MUHAMMADIYAH memerankan perjuangan yang sangat cantik. Kyai Dahlan melawan berbagai kebijakan politik Belanda yang dianggap merugikan umat Islam. Ordonantie Hadji dilawan habis-habisan oleh Kyai Dahlan. Pun dengan Krestening Politiek dan Fremansory. NU juga tak kalah penting para ulama NU yang dimotori Kyai Hasyim dan Kyai Wahab menginisiasi resolusi jihad yang menjadi fundamen perang sabil di Surabaya. 

Pada masa awal kemerdekan menjelang dan usai proklamasi tidak sedikit curahan pikiran dan tenaga para ulama MUHAMMADIYAH dan NU membangun mainstream dan bangunan falsafah kebangsaan (pholosophie-groundslagh). Dihapus nya tujuh kata dalam sila pertama Pancasila dan preambule pembukaan piagam Jakarta adalah pengurbanan besar dan akal cerdas dua ulama Islam: Ki Bagus Hadikusumo dan Kyai Wahid Hasyim agar NKRI tetap terjaga dari perpecahan. Lagi-lagi MUHAMMADIYAH dan NU menjadi penentu. 

*^^*

Kedua organisasi besar ini tetap setia ada bersama menjaga NKRI baik suka ataupun duka. 

Dr Alfian Ketua LIPI menyebutkan dalam Islamic Modernism in Indonesian Politics, the Muhammadiyah Movement during the Dutch Colonial Period 1912-1942 (1989) menemukan bahwa karena Muhammadiyah merupakan gerakan nonpolitik, keterlibatannya berbeda dengan organisasi lain yang menjadikan politik sebagai profesinya. 

Sebagai organisasi non-politik, Muhamamdiyah memang tidak selamanya berada di dalam pusat kekuasaan sebab Muhammadiyah bukan organisasi politik. 

Muhamadiyah mengambil peran politiknya pada saat negara benar-benar dalam keadaan krusial membutuhkan. Pada saat reformasi misalnya, lagi-lagi Muhammadiyah bersama gerakan mahasiswa mengambil peran signifikan melalui ketua PP saat itu. 

Melihat peran besar Muhammadiyah dan NU terhadap keberadaan NKRI maka niscaya bila kemudian setiap penguasa mengakomodasi kepolitikan Muhammadiyah dan NU tanpa syarat sebagai bentuk bukan saja pengakuan tapi juga keniscayaan sejarah. 

Mungkin pasca reformasi ini saja Muhammadiyah mengalami de-legitimasi politik dalam arti kekuasaan. ‘Matahari terbit’ memang sedang tenggelam, tulis Hajryanto Y Thahari salah seorang Ketua PP MUHAMMADIYAH. Diakui atau tidak ‘penenggelaman matahari terbit’ itu dilakukan sejak era SBY. Dua periode tanpa representasi Muhammadiyah bahkan SBY enggan datang saat muktamar. 

*^^*

Diyakini semua pihak bahwa Muhammadiyah adalah salah satu pilar dan jangkar NKRI. Akomodasi politik bagi kekuatan Islam modernis dan moderat (Muhammadiyah dan NU) ini dianggap konvensi atau keniscayaan politik tulis Hajriyanto melanjutkan. 

Muhammadiyah dan NU adalah NKRI itu sendiri melekat di dalamnya baik secara historis maupun substantif. Maka tak ada alasan untuk menafikkan peran Muhammadiyah dan NU apalagi menyamakannya dengan parpol kemarin sore atau gerakan-gerakan lainnya yang mengaku paling berjasa terhadap NKRI. 

Tugas besar pengurus Persyarikatan dan NU adalah menjaga sejarah itu tetap tertulis dibenak semua anak bangsa dan para penguasa yang silih berganti. Sekaligus tak larut dalam riuh politik recehan yang melelahkan. 

*^^**

Kalau-lah tak boleh dikata anak kandung, NKRI adalah buah perjuangan para founding father ulama Persyarikatan Muhammadiyah dan NU. 

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *