“Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan….?” (silakan isi sendiri titik-titik tersebut. Dan memang, kita sendiri yang akan mengisinya)
Jika binatang saja, yang tidak diberi akal untuk berpikir, mampu meninggalkan sesuatu yang bisa memberi manfaat bagi yang lainnya setelah mereka mati, maka manusia yang disebut-sebut sebagai mahakarya, ciptaan terbaik Tuhan, harus jauh melebihi binatang dan makhluk lainnya di dunia ini dalam hal memberi manfaat kepada yang lain, tidak saja pada saat hidupnya, tetapi juga kelak ketika sudah meninggalkan dunia ini.
Ironisnya, kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua orang bisa memberi kontribusi positif bagi orang lain semasa hidupnya, lebih-lebih setelah mereka meninggal. Keberadaannya di dunia ini hanyalah numpang lewat saja. Mereka menjalani hidup dan kehidupan ini datar-datar saja. Tidak ada satu prestasi pun yang ditorehkan sepanjang hidupnya. Ada dan tiadanya di dunia ini tidak memberi arti dan pengaruh apa pun bagi yang lainnya.
Tentu, kita tidak ingin menjalani hidup seperti ini. Orang-orang tidak akan pernah peduli dengan kehadiran kita. Ada dan tiadanya kita sama saja. Sungguh, sebuah kehidupan yang tidak ada nilainya.
Jika demikian kenyataannya, lantas apa tujuan Tuhan menciptakan manusia? Bukankah sejak awal penciptaan, Tuhan sudah menahbiskan manusia sebagai khalifah yang akan memimpin bumi ini? Bukankah Tuhan sudah menciptakan manusia dalam bentuk (fisik-psikis, jasmani-ruhani, jiwa-raga) terbaik dari seluruh makhluk-Nya yang ada di dunia ini? Bukankah tidak ada satu pun ciptaan Tuhan yang sia-sia?
Jawaban atas sejumlah pertanyaan tersebut akan menyadarkan kita tentang potensi serta eksistensi kita di dunia ini.
Suatu ketika, Nabi Muhammad Saw. pernah berpesan, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” Petuah singkat tersebut menyiratkan sebuah pesan yang sangat dalam, bahwa nilai seorang manusia ditentukan oleh seberapa besar kontribusi yang diberikannya untuk orang lain. Kualitas diri seseorang, ditentukan seberapa banyak manfaat yang dapat diberikannya kepada sesama.
Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk bisa memberi manfaat kepada sesama. Harta, ilmu, kedudukan dan jabatan, serta apa pun yang kita miliki bisa menjadi sarana untuk berkontribusi kepada orang lain.
Harta terbaik adalah harta yang tidak hanya dinikmati oleh sang pemilik harta saja, tetapi juga bisa dinikmati oleh orang lain yang membutuhkan. Karena, pada hakekatnya di dalam harta yang kita miliki, ada hak orang lain yang harus kita tunaikan.
Ilmu terbaik adalah ilmu yang dapat memberi manfaat tidak hanya kepada si pemilik ilmu saja, tetapi juga kepada sesama. Pun demikian dengan kedudukan dan jabatan. Ia hanya bernilai ketika dapat memberi manfaat kepada orang lain.
Percuma saja seseorang memiliki banyak harta, banyak ilmu, banyak jabatan, tetapi tidak dapat memberi manfaat sedikit pun kepada orang lain.
Apalah artinya harta berlimpah, jika hanya untuk bermewah-mewah, tanpa peduli dengan nasib kaum papa. Yakinlah hdup tidak akan berkah.
Apalah artinya ilmu menjulang tinggi, jika hanya untuk menuai sanjung puji, membuat tinggi hati, tanpa sikap empati kepada sesama. Yakinlah hidup tidak akan mendapat berkah dari Ilahi.
Apalah artinya jabatan bertumpuk-tumpuk, jika hanya untuk membuat orang lain tunduk dan takluk, tanpa pernah berpikir bagaimana agar nasib rakyat tidak kian terpuruk. Yakinlah hidup tidak akan berkah, justru akan semakin buruk.
Singkatnya, apa pun yang kita miliki, hanya akan bernilai dan bermakna ketika mampu menghadirkan manfaat bagi orang lain. Kebahagiaan sesungguhnya adalah ketika kehadiran kita mampu memberi makna bagi orang lain.
Karena hidup ini singkat, tebarlah sebanyak mungkin manfaat…
Karena hidup tak lama, jangan biarkan sia-sia…
Karena hidup cuma sekali, hiduplah yang berarti…..
* Ruang Inspirasi, Selasa, 9 Juni 2020.
No responses yet