Catatan mengenai keberadaan KH Abdul Manan Dipomenggolo, yang dikenal sebagai pembaru (mujadid) abad pertama Pondok Tremas, Pacitan, pernah melakukan rihlah ilmiah hingga ke Al-Azhar University, Kairo, sebagaimana terekam dalam buku berjudul “Jauh di Mata Dekat di Hati; Potret Hubungan Indonesia-Mesir”, terbitan Kedubes RI di Kairo, Mesir tahun 2011, mengacu tulisan Alferd Von Kremer dalam bukunya, Aegypten, tahun 1863.
Disebutkan, bahwa pada medio tahun 1850an telah ada ruwaq, semacam asrama yang dikhususkan bagi para mahasiswa dari nusantara dan kawasan sekitarnya. Ruwaq itu, di mana Abdul Manan berada, dikenal dengan nama Ruwaq Jawi, sebuah nama yang merujuk kepada kawasan Asia Tenggara dan kepulauan nusantara.
Keberadaan kitab Fathul Mubin di nusantara, syarah dari kitab Umm al-Barahin karya al-Bajuri, juga menjadi bukti adanya jejak orang nusantara yang pernah belajar di Mesir. Laporan mengenai ini terdapat pada buku yang ditulis orientalis kelahiran Utrecht Belanda, Martin van Bruinessen.
Jejak mengenai persinggungan beliau dengan salah satu universitas tertua di dunia itu semakin sahih dengan ditemukannya sebuah naskah salinan kitab Tuhfatu al-Murid `Ala Syarhi Jauharatu at-Tauhid Li al-Laqqani karya Syeikh Ibrahim al-Bajuri al-Syafi’i (w. 1861 M) yang dikenal sebagai Grand Syeikh ke 19 Al-Azhar University, Kairo periode 1847 – 1860 M. Sementara Abdul Manan Dipomenggolo berada di Al-Azhar sekitar tahun 1850 hingga pertengahan tahun 1850an, tepat pada periode al-Azhar di bawah kepemimpinan al-Bajuri.
Naskah atau manuskrip yang ditemukan saudara Akhmad Saufan (w.2018) di kampung kelahiran Kiai Abdul Manan, Semanten, sebuah desa yang berjarak sekitar 8 kilo arah selatan dari Pondok Tremas, seakan menjadi petunjuk tentang adanya relasi antara Kiai Abdul Manan dengan Grand Syeikh al-Azhar ke-19 tersebut. Di desa Semanten itulah awal mula beliau merintis keberadaan pesantren sebagai bentuk perlawanan atas kolonialisme barat melalui jalur pendidikan, membina kader agamis yang sadar akan tanggungjawab mempertahankan agama sekaligus tanah airnya dari kesewenangan bangsa asing.
Tentang Manuskrip yang diperoleh Saufan dari sahabatnya yang masih keturunan Bani Abdul Manan tersebut, kondisi manuskrip relatif bagus dan bisa dibaca. Sayang pada bagian belakang kitab/manuskrip ini (kolofon) tergunting, hingga penggalian keterangan tentang naskah langka ini menjadi terkendala. Namun bisa dipastikan, sebagaimana keyakinan sang penemu, bahwa kitab ini adalah salinan atau koleksi dari KH. Abdul Manan.
Dengan ditemukannya naskah ini, menjadi bukti kuat akan keberadaan beliau di Al-Azhar, Kairo, Mesir saat berguru kepada Syeikh Ibrahim al-Bajuri.
Sebagaimana diketahui, kitab “Tuhfah al-Murid” merupakan Syarah atau anotasi dari kitab matan “Jauhar at-Tauhid” karya Syeikh Burhanuddin Ibrahim bin Ibrahim bin Hasan al-Laqanni (w. 1041 H). Nama al-Laqani dinisbatkan kepada sebuah desa bernama Laqqanah di Bukhaira, salah satu provinsi di Mesir.
Kitab ini merupakan salah satu kitab favorit yang banyak dikaji dan menjadi standar di pesantren-pesantren nusantara, beraliran teologi Asy’ariyyah dan Maturidiyyah, sebagaimana umumnya dianut oleh kalangan Ahlussunnah wal-jamaah di Indonesia.
Kitab ini juga dapat dengan mudah dihafal oleh para santri karena menggunakan nazham (manzhumah) dan terdiri dari 144 bait nazham. Dengan mengunakan bahar rajaz, langgam dengan menggunakan ketukan mustafilun empat kali, menjadikan kitab ini mudah dihafal dan dilagukan dengan banyak variasi yang indah.
Melalui naskah temuan yang tak ternilai ini, jejak penelusuran perjalanan intelektual KH Abdul Manan, menemukan kebenarannya dan menjadi bukti keberadaan beliau sebagai salah satu pioner lahirnya tradisi rihlah ilmiah ke negri piramida tersebut.
Wallahu a’lam.
No responses yet