Pagi ini terasa aneh bagi Paijo, hatinya begitu resah sebelum dia berangkat ke warung Yuk Tin. Apalagi semalam dia merasa bermimpi didatangi para gurunya Yuk Tin yang sudah wafat. Dalam perjalanannya yang singkat Paijo semakin resah dan berdebar-debar hatinya. Betul saja ternyata warung Yuk Tin sudah terbuka pintunya. Segera saja dia mempercepat langkahnya, hanya dia dan Yuk Tin sendiri yang punya kunci pintu warung itu. Benar saja begitu di depan pintu, Paijo mendapati Yuk Tin duduk di bale dalam dan langsung memanggil Paijo agar segera duduk menghadapnya.
Yuk Tin : “Jo cepat duduklah aku tergesa-gesa sekali dan waktuku tak banyak. (Tanpa menjawab Paijo segera duduk sambil menunduk dihadapan gurunya) Kamu tahu Jo, sejak wafatnya guru dua tahun lalu aku sudah jarang mendatangi warung. Kamulah yang sering membadali posisiku. Kamupun sudah paham, bahwa sejak dua tahun itu pula banyak sekali saudara seperguruanku yang juga menyusul guru. Bukan hanya itu, tiba-tiba banyak sekali kiai yang wafat, ada yang masih begitu muda ada pula yang sudah sangat sepuh. Bahkan konon para waliyullah yang selama ini kurang dikenal ummat pun dipanggil sang Kekasih dalam keheningan. Ketahuilah Jo jumlah mereka yang wafat sudah ribuan, itupun nama-nama populer yang selama ini muncul di arena publik. Sedangkan nama-nama yang tak populer juga ikut dipanggil dalam jumlah yang tak kalah besar. Kematian itu sebenarnya hal yang biasa dan alamiah. Kalau kita hitung jumlah kematian secara umum (Sejak sebelum dan sesudah munculnya Pandemi) sebenarnya tidak terlalu signifikan pertambahannya. Namun dilihat dari siapa yang wafat itulah yang menarik. Selama hampir dua ahun ini jama’ah kita yang wafat sudah ada 7 orang, mereka adalah jama’ah yang rajin dan Istiqomah ikut kajian di warung kita. Tanpa gejala sakit yang berarti tiba-tiba wafat. Kita tahu mereka adalah jama’ah yang baik, sangat menonjol dan berpengaruh dikelompoknya.”
Tetiba Yuk Tin diam tak meneruskan pembicaraan. Paijo mulai tak sabar ingin tahu apa sebenarnya yang akan dikatakan Yuk Tin untuknya. Tapi dia cukup kuat untuk menahan diri sampai kemudian Yuk Tin meneruskan pembicaraan. “Jo, ketahuilah Ilmu itu cahaya. Jika dia (ilmu) itu melekat pada seseorang, maka akan ada banyak ciri yang tampak dan yang sirri atau tak tampak. Namun semua ahli ilmu itu memiliki mobilitas tinggi entah secara horizontal atau vertikal. Interaksi sosial orang berilmu jauh intens dan beragam dibandingkan dengan orang kebanyakan. Maka ketika ada Pandemi mereka inilah pihak yang paling rentan terkena. Para Kiai, dokter, guru, dosen, pejabat dan juga penyuluh, di antara sebagian dari mereka yang berilmu dan tampak. Dari kelompok ini, hanya kiai yang susah membatasi ruang dan waktunya, serta jarang menerapkan secara ketat protokol sosialnya. Kalau tenaga kesehatan mereka dikenal sangat ketat soal protokol kesehatan. Tapi kiai dan guru ngaji, bahkan banyak yang tidak mengindahkan protokol. Mereka juga jarang melakukan pembatasan siapa yang datang dan kapan datangnya. Semua dilayani tanpa “kecurigaan”. Bahkan ketika egoisme kita sebagai santri untuk mendapatkan “berkah” ilmu sang kiai atau guru lebih tinggi ketimbang kesadaran “menjaga” ilmu beliau, kita tetap dilayani dengan ikhlas. Kita hanya berpikir yang penting kita dapat berkah dan foto bersama, untuk kemudian kita pamerkan di medsos. Bahkan ketika sang kiai wafat dengan bangganya kita pamerkan sebagai ekspresi “kesedihan” (sekaligus kebanggaan) di dunia sosmed. Begitulah kita selama ini memperlakukan “ilmu”. Alih-alih menjadikannya cahaya, justru kita “menggelapkan” dunia dengan egoisme sehingga membuat sang pembawa ilmu dipanggil sang Kekasih dengan perantaraan kejahilan kita.”
Yuk Tin menghela nafas panjang dna kemudian melanjutkan ; ” Ketahuilah Jo, Pandemi ini bukan penyebab satu-satunya kenapa banyak orang berilmu yang dipanggil pulang. Salah satu sebab utamanya adalah karena ummat menempatkan ilmu dan mereka yang diamanahinya pada tempat yang salah. Kita telah melakukan kedholiman pada ilmu yang dijadikan Allah sebagai cahaya penerang dunia. Ilmu yang merupakan mutiara dunia paling mahal, sehingga Allah menggratiskannya lewat para rasul dan juga ulama (karena hakekatnya tidak akan ada yang mampu membeli ilmu). Sekarang dengan dholim kita “perjual belikan” ilmu dengan beragam kemasan. Bahkan kita “mengatur” orang-orang berilmu itu dengan nafsu kita. Kita paksa mereka mengemas ilmunya agar lebih “mewah dan mahal”. Ada kemasan dakwah, kemasan artikel, kemasan publikasi ilmiah, kemasan seminar, workshop dan pendampingan. Dahulu hampir semua pesantren itu “gratis”. Sekarang TPQ saja ada yang berbayar ratusan ribu perbulan. Bahkan ada ngaji eksklusif yang tiketnya saja bisa untuk kasih makan satu keluarga miskin sebulan. Dahulu para kiai dan wali itu punya “profesi” entah sebagai petani, pedagang, tukang reparasi jam, tukang jahit ataupun penjual roti untuk menunjukkan bahwa mereka itu orang biasa kayak manusia kebanyakan. Disamping agar mereka bisa khusu’ dalam bercinta dengan sang Kekasih. Entah kenapa tiba-tiba sekarang banyak yang ngaku kiai, ulama dan ustadz tetapi seolah menjadi orang yang bahkan lebih sibuk dari nabi dalam berdakwah. Bahkan anehnya tidak sedikit kemudian para “penggemarnya” bercerita bangga bahwa sang tokoh bisa “mengatur” Tuhan. Nama Tuhan pun “dikomersilkan”. Inilah gejala menuju puncak hilangnya ilmu. Jika kita masih saja membantah kerusakan tatanan ini dengan segala argumen rasional dan dalil-dalil yang diotak-atik matuk, maka sempurnalah matinya ilmu itu Jo.”
Tetiba Paijo menangis dan tidak tahu sebabnya kenapa dia menitikkan air mata. Yuk Tin menghentikan perbincangannya sambil menunggu Paijo tenang kembali. Sesat kemudian dia berujar : “Jo aku titipkan warung ini sepenuhnya kepadamu. Kamu sudah tahu apa yang harus kamu lakukan. Kamu harus tetap menggratiskan semua menu di warung ini. Tuhan Maha Kaya Jo, kamu jangan tersilaukan oleh kemilau bungkus ilmu yang dijual itu. Itu semua lebih banyak berisi sampah dan hanya sedikit sekali cahaya yang dibawanya. Bayangkan saja seandainya tidak ada ilmu yang digratiskan para guru kita untuk kita raih cahayanya. Tentu aku dan dirimu tidak akan melangkah sejauh ini. Kita akan digelapkan dengan angan-angan kosong, seolah kita sudah berbuat kebaikan. Kamu tahu guruku hanya tukang cukur pinggir jalan. Tetapi ketika wafat semua pelanggannya merasa kehilangan guru. Dirumahnya kami hanya mengaji satu ayat, tapi sampai sekarang aku sendiri belum bisa mempraktekkan semua pesan tersirat satu ayat itu dalam kehidupan. Itulah bismillah Jo. Sebelum wafat guru berpesan bahwa beliau hanya bisa mengamalkan bismilah dengan ikhlas ketika memulai mencukur rambut langganannya sambil istighfar kadang bertakbir karena memikirkan betapa besarnya Kuasa Tuhan bisa terus menumbuhkan rambut pelanggannya demi merahmati dan memberi rizki dirinya. Karena itulah beliau selalu mengakhiri dengan bacaan Alhamdulillah, setiap kali selesai merapikan rambut sang pelanggan. Beliau nggak pernah masang tarif, bahkan untuk anak-anak beliau menggratiskan.” #SeriPaijo
Tawangsari 3 Desember 2021.
No responses yet