Imam Al-Ghazali adalah seorang tokoh sufi yang terkenal pada abad ke-5 H, dan hidup dibawah pemerintahan dinasti Abbasiyah. Beliau lahir di suatu daerah bernama Thus yang pada saat sekarang merupakan bagian dari negara Iran. Nama lengkap Imam AL-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali At-Thusi Asy-Syafi’i. Nama “Al-Ghazali” merupakan nisbah dari pekerjaan ayah beliau yang berprofesi sebagai pemintal wol.
Kehidupan imam Al-Ghazali dapat dibagi menjadi 3 fase. Pada fase awal hidupnya, ia merupakan seorang yang sangat bersemangat dalam menimba ilmu dan menjadi pengajar di perguruan Nizamiyah. Pada fase selanjutnya , ia sempat mengalami penyakit syak, yakni ragu terhadap ilmu yang selama ini ia pegang, penyakit ini menyebabkan ia meras gundah dan gelisah. Kemudian fase terakhir dimana ia menemukan tasawuf. Melalui pengamalan tasawuf, jiwa imam Al-Ghazali terobati dari penyakit syak yang menerpanya.
Imam Al-Ghazali turut menyumbang pemikiran-pemikiran dalam dunia Islam. Beliau menjadi tokoh yang mempelopori tasawuf sunni, dan dikenal dengan julukan Hujjatul Islam. Ia telah menulis banyak kitab, salah satu diantaranya adalah kitab dengan judul Bidayatul Hidayah.
Kitab Bidayatul Hidayah merupakan karya imam Al-Ghazali dalam bidang tasawuf. Kitab ini sendiri merupakan intisari dari karya beliau yang agung yakni Ihya ‘Ulumuddin. Kitab ini berisikan pembahasan dan panduan bagi seorang hamba pada jalannya dalam mendapatkan hidayah dari Allah SWT.
Dalam kitab Bidayatul Hidayah ini, disamping pembahasannya Imam Al-Ghazali juga turut menulis dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadis. Menariknya, dalil-dalil ini telah dihimpun secara khusus dalam manuskrip nusantara, dan mendapat penjelasan kembali dalam bahasa Melayu. Manuskrip ini dapat ditemui di perpustakaan nasional Republik Indonesia, dan telah dilakukan digitalisasi dengan judul “Dalil dan Hadist” kode W 44.
Tentang Manuskrip “Dalil dan Hadist”
Kitab ini tidak diketahui siapa pengarang, penerbit, maupun sejarah dari penulisannya. Naskah ditulis dengan kertas yang kemungkinan telah berusia lebih dari 50 tahun. Berdasarkan ilmu Filologi, bahwa naskah atau tulisan yang telah berusia lebih dari 50 tahun dapat digolongkan sebagai manuskrip atau naskah kuno.
Manuskrip ini menggunakan 2 warna dalam penulisannya, yakni merah dan hitam. Warna merah digunakan untuk menulis dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadis yang dikutip dari kitab Bidayatul Hidayah, dan warna hitam digunakan sebagai penjelasan dari dalil-dalil tersebut. Pada halaman depan manuskrip ini tertulis judul dari manuskrip yakni “Haditz dan Dalil atas Kitab Bidajatoe Lhidajah”. Manuskrip ini berjumlah 56 halaman bersama covernya, dan didapati dalam kondisi utuh dan baik.
Selain terpampang pada judul kitab yang telah disebutkan diatas, pengarang dari kitab ini telah menuliskan secara implisit bahwa manuskrip tersebut menghimpun dalil-dalil yang ada dalam kitab Bidayatul Hidayah. Hal ini disebutkan dalam bahasa melayu.
Berikut kutipannya:
Bismi-llāhi ar-raḥmāni ar-raḥīmi. Adapun dalil dan hadis ini keluar daripada kitab Bidayatul Hidayah Imam Hujjatul Islam Al-Ghazali…
Kemudian dilanjutkan dengan kutipan dalil Q.S. Al-Baqarah [1]:197 beserta penjelasannya
wa tazawwadụ fa inna khairaz-zādit-taqwā, artinya dan ambillah kamu akan bekal akhirat maka yang terlebih baik bekal akhirat itu yaitu takut akan Allah ta’ala…
Penulis amati, ayat-ayat Al-Qur’an yang terkandung didalam naskah ini hanya berupa potongan-potongan ayat saja. Selain memuat potongan dari ayat-ayat Al-Qur’an, manuskrip ini juga terkandung hadis didalamnya. Sama seperti ayat-ayat Al-Qur’an, hadis didalam manuskrip ini hanya berupa potongan-potongan saja, yang disertai dengan penjelasannya.
Diantara kutipan hadis tersebut:
….Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Thalabu al-‘ilmi afdhalu ‘indallahi min ash-sholawati wa ash-shiyami wa al-hajji wa al jihadi” artinya menuntut ilmu yang memberir manfaat itu terlebih afdhal pada Allah ta’ala daripada sembahyang sunnah dan daripada puasa sunnah dan daripada mengerjakan haji yang sunnah dan daripada perang fi sabilillah….
Hadis yang dikutip dalam naskah ini hanya berupa matan saja, tanpa menyebutkan sanad maupun perawi dari hadis. Lalu bagaimana ke autentisitasannya?. Akan susah untuk menentukan apakah hadis yang terkandung dalam naskah ini autentik ataupun tidak. Cara yang paling mungkin dilakukan adalah dengan kembali kepada kitab-kitab induk hadis, kemudian mencari hadis dengan lafadz yang sama. Hadis-hadis yang tidak memiliki sanad seperti dalam naskah ini dapat dikategorikan kedalam hadis mu’allaq, yakni hadis yang dihilangkan awal sanad hingga akhir sanad. Hadis seperti ini dapat dihukumi dha’if.
Meskipun hadis dalam manuskrip ini dikutip tanpa menyertakan sanadnya. Kemungkinan pengarang dari kitab ini bertujuan untuk meringkas karangannya, sehingga dapat menjadi konsumsi masyarakat awam yang tidak terlalu memahami perihwalan sanad dan dalil. Di sisi lain, meskipun hadis yang dikutip dapat dikatakan ‘dha’if’, menurut para ulama, hadis dha’if tetap dapat diamalkan selama masih dalam kawasan fadha’il al-a’mal dan bukan hukum halal haram.
Secara keseluruhan naskah ini mengandung dalil-dalil seputar adab, meninggalkan maksiat, dan muamalat. Berdasarkan isinya naskah ini dapat digolongkan kedalam corak tasawuf. Tulisan bercorak tasawuf akan cukup sering ditemui ketika kita mencoba mengkaji manuskri-manuskrip yang ada di Nusantara. Hal ini barangkali disebabkan oleh semangat para sufi yang juga turut berperan aktif dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Sehingga mewariskan pemikiran-pemikiran mengenai kajian ilmu tasawuf.
Manuskrip ini perlu mendapat pengkajian lebih lanjut, karena materi yang terkandung didalamnya sederhana dan dapat bermanfaat bagi umat Islam dalam menjalankan kehidupan sehari-hari berdasarkan syariat Islam, terlebih apabila tulisan didalamnya dapat dikembangkan. Sudah semestinya, semangat keilmuan dan tradisi tulis Islam tidak terputus pada diri kita.
Wallahu a’lam bis-shawab
No responses yet